Menu

Nyanyian Symphony Hitam | Cerpen Naila Aulia

 

Pagi ini Delisha menghadiri rapat bersama Rao Entertainment untuk membahas novelnya yang akan diangkat ke layar kaca. Ternyata pihak Rao memang sudah lama mengincar novel karya Delisha, sehingga tanpa mengikuti seleksi Delisha langsung terpilih. 

Rahman selaku produser pun mengenalkan kru inti kepada Delisha. Namun ia menyebutkan bahwa sutradara mereka mengalami sedikit kendala sehingga terlambat datang. Mereka pun menyusul rundown penyusunan film, mulai dari casting pemain sampai pemilihan lokasi syuting. 

“Gue nggak telat banget kan?” ucap Nares memecah obrolan tim. Nafasnya naik turun tak beraturan, pertanda dirinya memang terburu-buru. Dengan ramah ia menyalami semua kru termasuk Delisha. Wajahnya terlihat biasa saja seolah memang sudah tahu jika Delisha akan menjadi partner kerjanya.

“Loh Kaka Nares jadi tim juga?” tanya Dania cekatan.

“Ah rupanya kalian udah saling kenal,” terka Rahman. Dania tersenyum malu seolah pertanyaan itu mengandung unsur tebakan bahwa mereka sudah lama dekat. 

“Ya kemarin kami nonton bareng,” jawab Dania tidak tahu malu. Delisha terkejut bukan main, untuk apa saudarinya itu membeberkan hal pribadi? Nampaknya ia memang sengaja menyulut gosip. Semua sontak menyoraki Dania dan Nares secara bergantian. Namun, Nares terlihat tidak nyaman, terlihat dari senyumnya yang seperti dipaksakan. 

“Udah lah kita bahas kerjaan aja. Nggak penting bahas ginian,” putus Nares dengan nada cukup dingin. 

Mereka akhirnya larut dalam obrolan serius soal project film ini. Delisha sendiri terjun juga menjadi script writer di sini. Sebab, sering kali ia temui sebuah film adaptasi novel sering kali tidak sesuai dengan alur inti yang disampaikan penulis. Sehingga pesan penulis kurang tersampaikan. 

“Maka saya jadwalkan meet up buat Delisha dan Nares di cafe Amanda.” putus Rahman.

“Kenapa harus sama Nares, Pak?” sanggah Delisha.

“Karena dia sutradara proyek ini,” jawab Rahman. 

“Skakmat!” maki Delisha dalam hati

***

Mata Nares sibuk memandang objek di depannya, Delisha Alamanda. Delisha terlihat semakin bersinar ketika sedang berdiskusi seperti ini dengan pembawaan yang lugas diimbangi dengan senyuman yang manis. Telinganya seolah tersumpal, seluruh fokusnya hanya tertuju pada paras ayu Delisha. Ia mengenakan pakaian kasual dan riasan tipis, kontras dengan Dania. 

“Res? Halo, masih dengerin aku nggak sih?” Delisha melambai-lambaikan tangannya ke wajah Nares. 

“Cantik,” celetuk Nares tanpa sadar. Matanya bahkan masih fokus menatap Delisha. Semua tim tertawa melihat kekonyolan Nares, kecuali Dania. Ia tidak habis pikir kalau Nares justru memperhatikan Delisha dengan penampilan sederhananya. Padahal, Dania sudah memoles wajahnya hampir satu jam. 

Nares akhirnya tersadar karena cafe ini tiba-tiba menjadi riuh, dan penyebabnya ialah Nares. “Del, kayaknya kamu perlu ngulangi konsep kamu, Deh. Si Nares gagal fokus tuh sama kamu,” ucap Rahman dengan tawa yang masih berderai. 

“Nares baca scriptnya dulu lah. Aku mau istirahat,” kesal Delisha. 

Usai Nares mendalami script, Delisha kembali mempresentasikan konsep adegan dalam project film mereka. Mereka hanyut dalam obrolan serius sampai sekitar dua jam lamanya. Delisha bersyukur direktur Rao mau memberi akses penuh untuk Delisha mengatur alur cerita. Sedangkan Dania yang memang tidak tertarik dengan dunia macam itu memilih menyumpal telinganya dengan headset. 

Dua jam berlalu, rapat akhirnya usai. Satu persatu tim berpamitan pulang. Delisha yang masih asyik merevisi script yang ia buat sampai tidak sadar bahwa kini hanya Nares yang tertinggal. “Del. Maaf soal tadi,” ucap Nares membuyarkan fokus Delisha.

Delisha refleks menoleh ke arah Nares lalu mengangguk. Suasana tiba-tiba saja menjadi canggung. Ada rindu yang tersirat dalam pandangan mereka. Sebab, setelah adegan menonton film di rumah Delisha waktu itu, mereka benar-benar tidak pernah berkabar apa pun. Nares akhirnya mengenakan handbag-nya dan bersiap pergi. 

“Tunggu, Res,” panggil Delisha menghentikan gerakan Nares.

“Aku minta maaf soal nonton kemarin. Aku cuma lagi PMS jadi rada pedes omongannya.”  

Nares tersenyum menanggapi Delisha, “Woah! Aku kira apa. Aku malah sampe lupa soal itu.”

“Tapi waktu itu kamu pergi gitu aja,” sanggah Delisha sedih. 

Nares senang mengetahui kenyataan bahwa Delisha peka dengan kejadian waktu itu. Artinya Delisha menganggap peran Nares, “Aku marah karena nggak bisa cari alasan buat ketemu lagi sama kamu.”

Delisha menahan nafas, “Kan aku nggak pentin. Kenapa marah?”

“Aku pikir, aku naksir sama Nona pecinta spongebob di hadapanku,” aku Nares. Lega rasanya bisa menyampaikan kejujuran itu. 

Delisha meremas ujung blousenya erat-erat saking terkejutnya, “Aku?” Jawaban itu disusul anggukan mantap Nares. 

Delisha menyesap green tea miliknya sambil memikirkan berbagai kemungkinan buruk dari kejadian ini, “Kenapa cepet banget? Kita baru tiiga kali ketemu.”

“Emang ada aturannya harus ketemu berapa kali baru naksir?” tanya Nares sembari terkekeh. “Aku serius, Del.”

Singkat cerita malam itu Nares mengungkapkan cintanya kepada Delisha. Nares benar=benar tulus dengan perasaannya. Delsiha terlalu kuat mencengkram hatinya bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Meskipun Delisha tidak langsung memberikan jawaban, tapi sesungguhnya nama Nares juga sudah bersemayam di hatinya. Malam itu dua makhluk itu pulang dengan perasaan membuncah. Namun, seseorang diam-diam tengah merasakan kesakitan luar biasa atas keputusan Nares yang memiliki Delisha.

***

Pagi ini Delisha menghadiri acara bedah buku miliknya di lobi Java Mall, Jakarta Barat. Buku yang dibedah kali ini ialah novelnya yang kedua dengan judul ‘Bintang Jatuh.’ Acara itu dihadiir oleh banyak anggota komunitas menulis se-Jakarta Barat sehingga membuat lobi mall penuh. Satu jam kemudian acara selesai. Kini beralih Dania yang menghibur para peserta dengan suara  merdunya. Sedangkan Delisha sibuk melayani para pemnggemarnya yang meminta tanda tangan di atas novel yang mereka beli darinya. Hingga tersisa seorang pembeli yang berpenampilan misterius. Ia mengenakan kaca mata hitam dan hoodie bertopi. 

“Tanda tangannya, Kak,” ucap laki-laki itu. Delisha langsung bisa mengenali siapa laki-laki misterius ini hanya dengan suaranya. 

“Nares?” laki-laki itu dengan panik mengisyaratkan untuk diam, “Jangan ada yang tahu kalo ini aku. Nanti aku jadi buronan.”

Delisha tertawa melihat kepanikan Nares. Ya memang begitu resiko menjadi publik figur. Tiba-tiba saja musik berhenti, disusul lampu yang tiba-tiba padam. Nares mengeluarkan sebuket bunga mawar yang ia sembunyikan dibalik punggung sejak tadi. Dengan lantang ia berucap bahwa ia hendak menjadikan Delisha sebagai kekasihnya. Seluruh penonton bersorak sorai pada Delisha supaya mau menerima Nares. Akhirnya dengan mentap Delisha menerima bunga itu sembari berkata ‘iya.’Setelah itu baru lah Nares membuka topi dan kacamatanya. Semua penonton terkejut karena ternyata laki-laki misterius yang menembak Delisha ialah Langit Darensi Nareswara. 

***

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

No Responses

Tuliskan komentar