Dokumentasi Joglitfest

Pertemuan yang global dan lokal bukanlah sesuatu yang terjadi baru-baru ini. Kenyataannya, menurut saya, itu merupakan sesuatu yang alamiah, yang lahir justru bersamaan dengan sejarah kesusastraan itu sendiri. Perkawinan yang global dan lokal telah terjadi di La Mancha, itu terjadi pula di atas panggung teater Elisabethian di masa Shakespeare, sebagaimana terjadi di Yogya dalam kesusastraan klasik maupun modern Indonesia. Perkawinan yang global dan lokal inilah yang justru menciptakan kesusastraan.

Dalam cerita-cerita silat S.H. Mintardja, kita bisa saja menemukan suatu tradisi novel-novel wuxia dari China, atau petualangan ala ksatria-ksatria Eropa abad pertengahan, sebagaimana bisa saja menemukan persinggungan dengan kisah-kisah ronin Jepang. Tradisi para petualang, dengan keberanian dan keterampilan bertarung bisa ditemukan di berbagai tradisi di dunia. Yang membedakan mereka hanyalah nama, negeri berpijak, senjata yang dipergunakan, dan tentunya bahasa pengantar yang dipakai oleh penulisnya.

Sebelum ditemukannya internet, dan era jejaring teks yang diciptakan oleh hyperlinks di mana satu teks bisa merujuk ke teks lain dalam keterhubungan yang nyaris tak ada ujungnya, kesusastraan telah membangun itu berabad-abad. Meskipun lebih sering bersifat tak langsung, satu karya sastra terhubung dengan karya sastra lain, melintasi batas-batas teritorial kebudayaan yang menciptakannya, juga melintasi batas-batas bahasanya. Perpustakaan dan toko buku, kritik sastra atau resensi buku, merupakan titik-titik perjumaan tersebut, telah berfungsi sama baiknya dengan internet yang kita kenal sekarang. Melalui buku, yang lokal terhubung kepada yang global, demikian pula sebaliknya.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

By Eka Kurniawan

Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 November 1975. Ia menamatkan pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia terpilih sebagai salah satu โ€œGlobal Thinkers of 2015โ€ dari jurnal Foreign Policy. Buku Eka Kurniawan yang telah terbit adalah Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (Yayasan Aksara Indonesia, 1999; Penerbit Jendela, 2002; Gramedia Pustaka Utama, 2006), kumpulan cerpen Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000), Cinta tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), dan Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015). Beberapa cerita pendek Eka Kurniawan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Novelnya terbit dengan judul Cantik itu Luka (Penerbit Jendela, 2002; Gramedia Pustaka Utama, 2004; diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Ota dan diterbitkan oleh Shinpu-sha, 2006; dialihbahasakan oleh Annie Tucker (New Directions Publishing, 2015). Disusul dengan novel Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004) dialihbahasakan oleh Labodalih Sembiring dengan judul Man Tiger (Verso Books, 1 Oktober 2015), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014). Pada 2016, Man Tiger masuk nominasi panjang penghargaan The Man Booker International Prize 2016. Kini tinggal di Jakarta bersama istrinya, penulis Ratih Kumala.

Tuliskan komentar