Pertemuan yang global dan lokal bukanlah sesuatu yang terjadi baru-baru ini. Kenyataannya, menurut saya, itu merupakan sesuatu yang alamiah, yang lahir justru bersamaan dengan sejarah kesusastraan itu sendiri. Perkawinan yang global dan lokal telah terjadi di La Mancha, itu terjadi pula di atas panggung teater Elisabethian di masa Shakespeare, sebagaimana terjadi di Yogya dalam kesusastraan klasik maupun modern Indonesia. Perkawinan yang global dan lokal inilah yang justru menciptakan kesusastraan.
Dalam cerita-cerita silat S.H. Mintardja, kita bisa saja menemukan suatu tradisi novel-novel wuxia dari China, atau petualangan ala ksatria-ksatria Eropa abad pertengahan, sebagaimana bisa saja menemukan persinggungan dengan kisah-kisah ronin Jepang. Tradisi para petualang, dengan keberanian dan keterampilan bertarung bisa ditemukan di berbagai tradisi di dunia. Yang membedakan mereka hanyalah nama, negeri berpijak, senjata yang dipergunakan, dan tentunya bahasa pengantar yang dipakai oleh penulisnya.
Sebelum ditemukannya internet, dan era jejaring teks yang diciptakan oleh hyperlinks di mana satu teks bisa merujuk ke teks lain dalam keterhubungan yang nyaris tak ada ujungnya, kesusastraan telah membangun itu berabad-abad. Meskipun lebih sering bersifat tak langsung, satu karya sastra terhubung dengan karya sastra lain, melintasi batas-batas teritorial kebudayaan yang menciptakannya, juga melintasi batas-batas bahasanya. Perpustakaan dan toko buku, kritik sastra atau resensi buku, merupakan titik-titik perjumaan tersebut, telah berfungsi sama baiknya dengan internet yang kita kenal sekarang. Melalui buku, yang lokal terhubung kepada yang global, demikian pula sebaliknya.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]