Dinamika Sastra di Dunia Maya | Nanang Suryadi
Dikumentasi Joglitfes. Nanang Suryadi (tengah) saat menjadi pembicara.

Dinamika Sastra di Dunia Maya | Nanang Suryadi

Dikumentasi Joglitfes. Nanang Suryadi (tengah) saat menjadi pembicara.

Ada dua pengertian yang diberikan oleh KBBI daring (2019) tentang “maya”,: (1) a hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan dan (2) n Komp merujuk pada fitur atau peranti yang tidak benar-benar ada,disimulasikan oleh komputer dan dapat digunakan oleh pengguna seolah-olah memang ada. Sedangkan tentang Dunia Maya dijelaskan sebagai: “ruang informasi dan komunikasi dalam internet”. Lalu apa yang dijelaskan KBBI tentang internet? Menurut KBBI daring (2019), internet adalah “jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang terorganisasi di seluruh dunia melalui telepon atau satelit.”

Merujuk pengertian yang diberikan KBBI tersebut, maka saat kita membicarakan “Dinamika Sastra di Dunia Maya” maka yang dimaksud adalah “Dinamika Sastra di ruang informasi dan komunikasi dalam jaringan komunikasi yang terhubung dalam jaringan dan fasilitas komputer yang terorganiasasi di seluruh dunia melalui telepon atau satelit.”

Perkembangan Internet menurut Wikipedia (2019) dimulai tahun 1969 oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, melalui proyek lembaga ARPA yang mengembangkan jaringan yang dinamakan ARPANET (Advanced Research Project Agency Network). Di Indonesia, internet mulai dikenal akhir 1980-an (yang tercatatat antara lain: Internet Protokol pertama kali di Indonesia didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988).

Bagaimana perkembangan Sastra di Indonesia dengan selama 30 tahun kehadiran internet? Dinamika seperti apa yang terjadi?

Dalam catatan archive.org (2019), situs-situs media berita daring seperti: Republika, Kompas, Suara Pembaruan, Tempo, Detik dan Satunet mulai muncul di tahun 1996. Republika, Kompas dan Suara Pembaruan adalah media koran cetak yang sudah ada namun juga membuat portal berita di dunia internet. Sedangkan Detik dan Satunet hanya berbasis di internet, walaupun Detik menggunakan nama yang sama dengan media cetak “Detik” yang dibredel tahun 1994. Wikipedia (2019) mencatat “berbeda dari situs-situs berita berbahasa Indonesia lainnya, Detikcom hanya mempunyai edisi daring dan menggantungkan pendapatan dari bidang iklan.”

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

Perkembangan Sastra Indonesia di Internet di penghujung 90-an dan di awal 2000-an yang menandai transisi millennium ketiga. Saat itu saya mencatat:

“Perkembangan sastra Indonesia kita ke depan akan menemui kemungkinan-kemungkinan baru. Jika selama ini para sastrawan hanya menampilkan karyanya pada buku, majalah, koran yang berwujud kertas, maka saat ini kita bisa menemukan karya-karya mereka tersebar di media Internet, sebuah dunia maya, yang menghubungkan satu komputer dengan berjuta-juta komputer lainnya yang sangat mungkin di belahan dunia yang berbeda. Internet merupakan hal yang baru bagi hampir semua orang.”

Pernyataan tersebut saya tulis 20 tahun lalu, dan saat ini internet sudah bukan hal yang baru lagi bagi semua orang. Internet sudah menjadi “kebutuhan” sehari-hari bagi banyak orang. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi banyak orang tidak terlepas keterhubungannya melalui internet, terutama melalui media social.

Perusahaan penyedia jasa di internet silih berganti datang dan pergi. Di tahun 90-an masih ada geocities dan beberapa situs yang menyediakan hosting gratis, saat ini mereka sudah tidak ada lagi. Banyak karya-karya sastra yang muncul di tahun 90-ann ikut terkubur dengan berakhirnya jasa yang mereka berikan. Namun saat ini masih ada penyedia jasa lain seperti blogspot dan wordpress masih menyediakan lahannya untuk digunakan secara gratis bagi para penulis yang ingin  menampilkan karya-karya sastranya maupun karya sastra dari penulis lain di blognya.

Saat ini tidaklah sulit untuk mencari informasi apapun melalui internet. Melalui mesin pencari, antara lain google.com dan bing.com kita bisa menjelajah mencari informasi yang kita butuhkan. Kita tinggal ketik “puisi” atau “sastra” di mesin pencari maka kita diantarkan ke situs- situs yang berisi :puisi” atau “sastra”. Penggunaan mesin pencari ini juga menjadi hal yang sangat lazim dilakukan banyak orang setiap harinya. Para penggemar sastra akan mencari karya-karya sastra melalui mesin pencari, karena saat ini semakin banyak situs yang memuat karya sastra baik situs berbayar maupun yang gratis. Maka beruntunglah situs-situs yang dapat tampil di halaman pertama mesin pencari dengan kata kunci yang digunakan para pencari, karena kemungkinan untuk dikunjungi dan dibaca lebih besar. Hal tersebut terutama bagi situs-situs yang belum terkenal namanya, karna bagi situs situs yang sudah dikenal namanya, para pengguna akan langsung mengetik sesuai dengan alamat situsnya masing-masing.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

Sosial Media dan Dunia Maya

Saat ini media sosial (antara lain: Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp) banyak digunakan oleh para penulis sastra, walaupun mereka tidak menampilkan karya-karya sastranya di sana, namun digunakan untuk memperluas jaringan antar sesama penulis. Pesatnya penggunaan media sosial ini mendorong penerbitan buku-buku sastra konvensional berupa antologi puisi atau cerpen bersama. Penerbitan buku antologi sastra bersama ini biasanya dibarengi dengan acara peluncuran dalam sebuah festival sastra.. Di media sosial seperti facebook juga banyak muncul grup-grup komunitas sastra yang menampilkan karya-karya sastra yang diposting para anggotanya. Namun saat ini (2019) ada kecenderungan semakin banyak grup yang tidak aktif dan minim interaksi. Beberapa tahun lalu interaksi grup-grup diskusi di facebook ini masih ramai, terutama jika pendiri grup tersebut mendorong para anggotanya untuk berinteraksi dan saling memberikan pendapat tentang suatu karya yang diposting di sana.

Kegairahan berpuisi bersama-sama di twitter pun mengalami penurunan. Akun-akun twitter seperti @sajak_cinta, @syair_malam @puisikita tidak ramai lagi, bahkan cenderung tidak aktif beberapa tahun terakhir. Namun masih banyak pengguna internet lebih menyukai sajak-sajak yang dikutip dalam sebuah gambar di Instagram, misalnya oleh akun kumpulan_puisi, zonapuisi dan wikipuisi. Kecenderungan ini menarik untuk dikaji lebih mendalam.

Sastra Indonesia juga meramaikan situs goodreads dengan informasi buku-buku karya penulis sastra Indonesia, selain juga informasi buku-buku dari penulis dari seluruh dunia. Situs yang juga diramaikan penulis dari Indonesia adalah situs wattpad. Bahkan ada penerbit yang mencari penulis dari wattpad dan menawari penulis tersebut untuk menerbitkan dalam bentuk buku konvensional. Hal lain lain dari perkembangan internet yang digunakan untuk sastra adalah munculnya karya sastra dalam format ebook dan aplikasi android. Selain itu, pemanfaatan youtube dan facebook streaming sebagai media sastra juga menjadi alternative yang perlu dikembangkan lebih lanjut, terutama untuk memberikan pembelajaran sastra bagi pemula (generasi millennial, yang cenderung menyukai youtube).

Karya sastra yang demikian melimpah di media internet dapat menjadi bahan bagi para pengkaji sastra budaya secara langsung berhadapan dengan teks-teks karya sastra dalam berbagai format penyajian. Banyak karya-karya yang tidak pernah muncul dalam format buku konvensional namun bertebaran di berbagai blog dan media sosial yang membutuhkan perhatian peneliti sastra secara langsung, bukan hanya mengulang-ulang kutipan dari buku tentang sastra internet atau cybersastra.

 

 

 

Malang, 15 September 2019

 

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tuliskan komentar