Menu

Nyanyian Symphony Hitam | Cerpen Naila Aulia

 

Once man say

Only fools rush in

Cause i cant tell 

Fallin’ in love with you…

Dania menyanyikan lagu Haley Reinhart itu dengan suara serak basah khasnya. Konser diadakan di Trans Mart Bandung, tepatnya di lantai dasar. Penonton berjejalan berebut tempat untuk menyaksikan Dania dari dekat. Masing-masing mengabadikan momen ini dengan ponsel mereka. Dania senang sekali melihat antusiasme mereka.

 Berbeda dengan Dania, Delisha terlihat begitu risau. Pasalnya ia adalah sosok introvert, ia tidak menyukai keramaian dan lebih menyukai sunyi untuk menjadi teman setianya untuk menulis novel karangannya. Jika disuruh memilih, ia lebih rela dikurung di gudang selama seminggu dari pada harus berbaur dengan keramaian selama satu jam. Jika Dania disebut sebagai pengendali melodi, maka Delisha disebut pengendali pena. Lima tumpuk novel karya miliknya patut menjadi kebanggaan tersendiri. Tapi apalah daya, ketenaran Dania sebagai penyanyi membuatnya harus mengikuti sang kembaran dari satu panggung, ke panggung lain, dari satu cafe ke cafe lain. 

Band milik Dania memang belum sampai ke layar kaca, baru diundang dari satu cafe ke cafe yang lain. Tapi, penggemar mereka cukup banyak, pasalnya suara Dania memang sangat pas untuk menyanyikan semua genre lagu. Apalagi Dania sangat pintar berias dan bermain fashion, sehingga penggemar semakin terpana dibuatnya. Dania menyebut penggemarnya itu dengan sebutan ‘LavDania.’ Lav Dania samakin terpesona dengan perempuan itu karena ia tak pernah malu untuk tetap berkarya walau dengan kondisi bagian dada ke bawah yang selalu menempel dengan saudarinya, Delisha.

Usai pertunjukan, Dania merengek untuk pergi ke studio musik milik bandnya. Sebab, menurut Edwin, manajer Band milik Dania, akan ada seorang produser TV yang akan mengundang mereka ke Melodi. Melodi ialah salah satu program di RCTI TV yang cukup terkenal di Indonesia, ia semacam ajang talk show yang mengundang remaja berbakat di Indonesia. Siapa pun yang berhasil diundang dalam acara itu, sudah pasti akan semakin dekat dengan kata ‘viral’ saking terkenalnya acara itu.

“Ambil dong. Gila banget disia-siain,” pekik Dania girang. 

Edwin menggaruk tengkuknya sebentar. Ia senang saja dengan prestasi anak didiknya itu, tapi ia juga tidak boleh egois dengan Delisha. Perempuan itu terlihat tidak nyaman mendengar kabar dari Edwin. 

“Delisha gimana? Kamu bisa kan kosongin jadwal kamu di penerbitan?” 

“Berapa lama acaranya? Kapan?”

“Senin depan. Di stage-nya setengah hari doang si. Tapi prepare-nya sekitar tiga hari-an.”

Yasmin menggulir ponselnya, berharap tidak ada jadwal penting pada hari itu. Keningnya mengerut melihat berapa padatnya jadwal miliknya Minggu depan. “Aku ada klien dari Rao Entertainment, mereka mau ngadain seleksi buat ngangkat novelku ke film.”

“Terus kamu mau bilang kalo novel kamu itu lebih penting dari acara aku?” sentak Dania dengan penuh emosi. 

“Dania, itu udah fix. Dan kemungkinan berhasilnya udah 80%.”

“Kamu kira aku belum fix?!”

“Lagian kemarin kita udah bikin kesepakatan. Kemarin aku cancel bedah buku aku di Karawang karena kamu ada konser di Surabaya, dan kamu janji bakal ganti waktu aku. Then, i think i wanna take it for now. Ini mimpi aku sejak lama, Dan,” ucap Delisha dengan nada dibuat setenang mungkin. Ia tidak mau terbawa emosi sehingga membuat saudarinya itu sakit hati. 

“Delisha, ini lebih dari hidupku, sungguh. Aku nggak bisa melepaskannya. Gini, deh kalo aku berhasil tenar, pasti novel kamu itu kemungkinan diliriknya besar. Aku bakal cariin produser film yang paling top buat kamu. Dan aku akan bikin dia gimana pun caranya buat nerima novel kamu.”

“Sampai kapan kamu bakal ngehina karya aku terus-menerus, Dan? Dari pada harus sukses karena perantara kamu, lebih baik novel aku tetap tersimpan di laptop tanpa jadi buku sama sekali.”

Dania menjentikkan jarinya. Ia sama sekali tidak menyadari sindiran yang Delisha siratkan dalam ucapannya. “Great! Secara nggak langsung kamu udah membatalkan acara kamu besok Senin.”

“Apa maksud kamu?”

“Membiarkan novel kamu di laptop kan? Yaudah. Berarti Minggu depan acara ku nggak bisa diganggu sama rapat sialan kamu itu,” putus Dania sembari menandatangani surat kontrak yang dibawa Edwin. 

Delisha menghela nafas kecewa. Selalu begitu. Selalu ia yang mengalah. Selalu ia yang harus minta maaf duluan. Selalu kepentingan Dania yang boleh jadi penting. Delisha ingin berlari dari studio itu sekarang juga rasanya. Tapi apa daya?

***

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

No Responses

Tuliskan komentar