Menu

Teka-Teki Kali Kopi

“Ibu Guru, tiga hari lagi tujuh belas Agustus, to? Kita bikin acara yospan e, Bu Guru?”

“Ya, boleh, tapi kita harus upacara dulu ya.”

“Tabur bunga jugakah, Bu Guru?”

“Ya, selesai upacara, tabur bunga dulu di dermaga sebelah barat sana. Mengenang kita pu pahlawan yang gugur di Laut Arafura, seperti tahun lalu. Hayo, masih ingat siapa de pu nama?”

“Yos Sudarso, Bu Guru! Dia mati ditembak Belanda, di atas kapal Macan Tutul” teriak Pengki Matamoa di sudut kelas.

Dia sibuk membuat pesawat-pesawatan. Sudah jadi tiga pesawat dari kertas lipat warna biru, merah, dan putih.

“Haha, pintar kamu, Pengki. Masih ingat cerita Ibu Guru, ya. Eh, kamu pintar juga e bikin pesawat. Untuk siapa pesawat itu kok kamu bikin tiga?”

“Ini yang merah dan putih mau terbang di atas Laut Arafura membawa bunga tabur untuk Yos Sudarso, Bu Guru.”

Ah, imajinatif juga ini anak.

“Lalu yang biru untuk siapa?” tanyaku.

“Yang biru mau saya sopiri sendiri, Bu Guru. Juss…ngeeng… tabrak Bu Guruuu…haha…!”

“Heii … Pengki! Awas kamu ya! Haha…!” seruku sambil mengejar Pengki yang “nakal” sudah menonjok perutku dengan pesawat birunya.

Begitulah aku dan murid-murid. Mereka tidak merasa aku yang asli Jawa berambut lurus ini berbeda dari mereka. Anak-anak memang polos. Apa adanya! Hal ini yang membuat aku betah mengajar di Papua.

Sudah tiga tahun aku akrab bersama murid-muridku kelas lima di SD Inpres kampung terpencil, Amole, Papua. Kampung ini terletak di tepi Kali Kopi, anak Sungai Aikwa, yang bermuara di Laut Arafura. Ini merupakan tahun ketiga aku mengadakan perayaan tujuh belasan. Aku ingin menanamkan rasa nasionalisme pada anak-anak murid di tanah Papua di Kali Kopi.

“Bu Guru, selesai tabur bunga kita yospan to, Bu Guru!” kata Pangkrasia sambil menangkap tangan kananku supaya berhenti mengejar Pengki.

“Sudah tentu, Pangkrasia. ‘Kan kamu janji mau ajari Ibu yospan juga to. Ibu Guru belum pandai menari. Masih suka injak kaki kau waktu itu!”

“Haha, Ibu Guru tra bisa menari! Nanti sa ajar lagi Ibu Guru jadi murid sa, oke?”

“Siap, Bu Guru Pangkrasia! Hahaha.”

Aku gelitik perut Pangkrasia. Dia terbahak senang sekali. Pangkrasia gadis kecil Kamoro yang paling lincah. Bulu mata lentik, bola mata hitam, hidung mancung. Rambutnya selalu diikat ke belakang, tetapi tidak mirip ekor kuda karena keriting kecil-kecil. Manis senyumnya. Kakinya kecil panjang seperti peragawati–ciri khas perempuan Suku Kamoro. Paling lincah jika sudah mendengar musik khas Papua dari alat musik okulele dan tifa. Ia bisa langsung seperti terbius melenggang lincah menari yospan.

Tari yospan adalah tari gabungan dari dua tarian Papua, yaitu yosim dan pancar. Tari yosim berasal dari Waropen. Gerak tarian lebih mengutamakan kebebasan mengekspresikan gerakan dan mengandalkan kelincahan gerak.

Sedangkan Tari pancar berasal dari Biak dengan gerakan lebih kaku karena harus mengikuti irama tifa dan okulele. Konon gerakan tarian ini terinspirasi oleh pesawat-pesawat bermesin jet yang mendaratkan roda di Biak sekitar 1960-an. Saat itu sedang berlangsung konflik antara Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Indonesia. Banyak pesawat tempur buatan Rusia yang dipacu oleh pilot-pilot Indonesia terbang di atas langit Biak, tepatnya di atas Bandara Frans Kaisiepo sambil melakukan gerakan-gerakan aerobatik. Sebuah proses kreatif yang sangat unik! Sebuah tarian terinspirasi dari bunyi pesawat!

***

Matahari sudah tenggelam. Pemandangan matahari terbenam yang mulai redup di langit sebelah barat masih menyisakan keindahannya. Sinar matahari memancarkan warna lembayung senja. Jika sudah begini, mataku mulai rabun.

Samar-samar aku melihat dua orang berjalan menuju rumahku, seperti tergesa-gesa harus segera bertemu denganku. Sebagai penderita mata minus aku harus lekas mengenakan kacamata agar tidak menabrak orang atau apa pun yang berada di depanku. Lalu terlihat makin jelas siapa yang datang.

“Selamat sore, Ibu Nana,” sapa Pak Dorus, teman guru, dengan suara bergetar.

“Selamat Sore Pak Dorus dan Pak Adrianus! Mari masuk, kok tumben datang ke sini. Ada apa?”

“Ibu Guru siapkan baju dalam tas ransel. Ini gawat! Kami menjemput ibu supaya ikut bersama kami!”

“Aduh! Ada apa ini? Tolong kasih saya penjelasan! Gawat soal apa?”

“Ibu Nana tidak usah banyak bertanya. Waktunya sempit sekali. Ikuti saja yang saya katakan. Saya beri waktu lima menit untuk bersiap!”

Aku jadi ketakutan sekali dan menuruti perintah Pak Dorus.

“Saya sudah siap. Terus bapak-bapak mau bawa saya ke mana?” tanyaku tidak suka dengan caranya memperlakukan aku.

“Kami akan bawa Ibu Nana pergi.”

Aku sudah tak mempunyai nafsu untuk bertanya lagi karena Pak Dorus langsung menyeret tanganku. Pak Adrianus mendorongku dari belakang. Jantungku berdegup kencang sekali seperti hendak lolos dari dadaku. Namun, aku terpaksa menurut. Kami bertiga setengah berlari.

Rupanya aku dibawa untuk naik bus yang diparkir di tempat agak tersembunyi. Tepatnya di simpang jalan yang menjauhi Kali Kopi dan agak masuk di hutan sagu. Kulihat ada empat bus berderet di situ. Di dalam bus yang kunaiki sudah dikumpulkan perempuan dan anak-anak. Tak ada suara. Seolah mereka bisu semua. Aku semakin tidak paham. Pak Dorus dan Pak Adrian kulihat langsung menuju bus lain di belakang bus yang kunaiki.

Ketika aku berdiri hendak menghampiri Bu Robert yang duduk di jok belakang memeluk Pangkrasia, seseorang menegurku.

“Harap tetap duduk di tempat! Untuk memudahkan kami mengatur saudara-saudara!”

Aku menoleh. Suara Pak Darto, seorang tentara yang sudah kukenal dua tahun lalu ketika ia bertugas di sini. Ramah dan baik ketika itu. Ia dari Jawa. Asli Semanu, Gunung Kidul. Setelah itu aku tidak pernah tahu keberadaannya. Baru kali ini aku melihatnya kembali. Ia seperti tidak mengenaliku. Aneh!

Ia memberiku isyarat agar aku segera duduk. Matanya tajam dan sangat serius. Tangannya memegang senapan berlaras panjang. Kemudian tiba-tiba Pak Darto bersuara lagi. Kali ini lebih tegas.

“Saudara-saudara, jika Anda mendengar tembakan, langsung tiarap. Ibu-ibu yang membawa anak-anak harap selalu melindungi anaknya terlebih dahulu. Bila keadaan genting kami akan membawa ke tempat yang aman! Paham, ya! Terima kasih!”

Kemudian pintu bagian sopir terbuka. Seseorang yang juga berbaju tentara masuk dan duduk di belakang setir. Barangkali jika keadaan genting ia bertugas menjadi sopir. Jadi posisi dia siap sedia. Pak Darto mengulangi perintahnya lagi. Mirip robot yang sudah di-setup karena perintahnya sama persis dengan yang tadi.

“Saudara-saudara, jika Anda mendengar tembakan, langsung tiarap. Ibu-ibu yang membawa anak-anak harap selalu melindungi anaknya terlebih dahulu. Bila keadaan genting kami akan membawa ke tempat yang aman! Paham, ya! Terima kasih!”

Aku semakin bingung. Aku mulai menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Barangkali sedang ada perang suku? Ah, di sepanjang pesisir Laut Arafura belum pernah aku mendengar tentang perang suku. Suku Kamoro dan Suku Asmat di tempat aku mengajar dan tinggal adalah seniman. Penari dan penyanyi alamiah. Bahkan lelaki Kamoro dan Asmat rata-rata adalah pemahat patung andal. Kalau tarian perang suku memang ada, tapi bukan perang sungguhan.

Namun, mengapa tadi perintah Pak Darto jika mendengar suara tembakan kita disuruh tiarap? Atau ada penembakan lagi di Kali Kopi seperti berita-berita dua tahun lalu? Ketika ada berita itu, aku merasa aman-aman saja di sekitar sekolah dan tempat tinggalku. Aktivitas tetap berjalan normal. Kadang pemberitaan di koran atau di televisi lebih heboh dari kenyataan.

Tiba-tiba kami semua di dalam bus mendengar suara tembakan berkali-kali. Suaranya agak jauh. Seperti tidak mengarah ke bus yang aku naiki.

“Tiaraaaaap! Tiaaarap!” teriak Pak Darto dan Pak Sopir serentak.

Kami pun tiarap semua. Anak-anak menjerit ketakutan. Ada yang menangis. Aku hanya bisa tiarap dan berdoa. Suara mesin bus dibunyikan. Berarti jika sewaktu-waktu genting, bus siap membawa kami pergi dari tempat ini.

Tiba-tiba ada tangan kecil meraih tanganku. Entah bagaimana cara dia merayap sampai kepadaku. Langsung kutarik tubuh Pangkrasia ke dalam dekapanku.

“Bu Guru, aku takut!” ia berbisik.

““”Sssst … !” bisikku sambil kuelus kepalanya. Harapanku rupanya membawa rasa damai baginya dan ia menjadi tebang.

Kembali suara tembakan terdengar. Kali ini lebih dekat! Bus pun terasa bergerak dan membawa kami pergi. Aku tidak pernah tahu tujuan bus yang membawa kami karena menembus malam. Kemudian kami disuruh untuk duduk kembali dengan memakai sabuk pengaman. Pangkrasia masih dalam dekapanku. Aku menoleh ke belakang, memberi isyarat pada Bu Robert bahwa anaknya ada di sebelahku. Kulihat ia paham dan mengangguk. Bus melaju lebih kencang!

Sekitar setengah jam kami berada di dalam bus yang berlari kencang. Lalu berhenti juga akhirnya. Aku masih belum paham berhenti di mana karena kami tidak diperbolehkan turun. Namun, Pak Darto akan mengawal yang hendak turun untuk buang air.

“Saudara-saudara harap tenang, bersabar, dan berdoa. Jika keadaan sudah aman, kami akan mengantar saudara-saudara ke rumah masing-masing. Sementara kita di sini dahulu, di tempat yang aman,” Pak Darto mulai menjelaskan dengan ramah. Ia sempat melempar senyum kepadaku. Ubun-ubunku yang tadi seperti menggelinding kini sudah menempel kembali di kepala.

“Ibu Guru, tiga hari lagi, kita jadi menari yospan, kan?” Pangkrasia berbisik di telingaku.

“Iya, pasti! Bu Guru akan jadi muridmu nanti.”

Senyum Pangkrasia mengembang. Sejenak hatiku merasa agak tentram. Tumbuh kembali harapan agar kejadian tembak menembak segera berakhir.

Tiarap! Tiarap!” tiba-tiba terdengar perintah yang lantang dari Pak Darto.

Gg. Mijil Manukan Condongcatur, 15 Januari 2019

Cerpen “Teka-Teki Kali Kopi” ini bisa dijumpai dalam antologi cerpen berjudul Mereka Adalah Kita.

No Responses

Tuliskan komentar