Ketika kenyataan lebih sukar dan sulit dihadapi dari yang dipikirkan, hanya ada dua jalan: menghadapinya atau sembunyi. Aku lebih memilih yang kedua, yaitu sembunyi. Ini sengaja kupilih bukan karena aku penakut. Aku pemikir ulung, selalu menghitung untung dan rugi terhadap yang dilakukan.
Awalnya aku mengira sembunyi adalah pilihan mudah dijalankan. Kenyataannya tidak. Sembunyi bukan urusan yang mudah dilakukan. Lebih-lebih oleh orang sepertiku. Segala kekurangan yang ada memaksaku terus bergerak, beranjak dari satu tempat ke tempat lain dengan harapan keberadaanku tidak diketahui khalayak ramai.
Jika aku hidup sekitar seratus tahun lalu, barangkali sembunyi masih mudah dilakukan siapa saja. Sialnya, aku hidup di zaman sekarang. Aku hidup di masa kini, sebuah masa di mana semua dapat diketemukan dengan mudah. Kemudahan ini terjadi bukan karena rasa keingintahuan khalayak yang semakin besar. Dukungan teknologi tinggi ditambah akses internet yang mudah didapat juga membuat urusan sembunyi semakin sulit dilakukan.
Salah satu tempat yang pernah kujadikan persembunyian adalah Gunung Merapi. Gunung ini salah satu gunung paling aktif di dunia. Meski termasuk gunung paling berbahaya, bukan menjadi jaminan kalau di gunung ini bisa bersembunyi dengan gampang. Sebab, setiap tahun ada ribuan manusia mendakinya untuk berbagai keperluan. Ada yang mendakinya hanya sekadar ber-selfie, ada yang datang melaksanakan labuhan atau yang biasa disebut dengan sedekah bumi, dan ada pula yang datang bersembunyi. Seperti yang pernah kulakukan.
Walau gunung paling berbahaya ini banyak dikunjungi orang setiap tahunnya, kenyataannya masih banyak yang belum mengenal gunung ini dengan baik. Toh, kalaupun ada yang mengaku mengenal gunung ini dengan baik, tidak sepenuhnya aku percaya. Mungkin hanya almarhum Mbah Maridjan saja yang mengenal gunung ini dengan baik.
Tempat persembunyian jauh dari jalur pendakian. Di samping aman, untuk mendapatkan segala kebutuhanku juga tergolong gampang. Lebih-lebih soal makan. Jujur, aku tidak pernah merasakan kekurangan. Dan hal inilah yang menyebabkanku lebih memilih sembunyi dibandingkan harus menghadapi kenyataan. Kalau saja aku memilih menghadapi kenyataan, barangkali saja aku sudah mati kelaparan semenjak dahulu.
Bagaimana caraku menadapatkan makan? Tidak jauh dari persembunyianku ini ada sebuah tempat yang dianggap keramat. Tidak sembarangan orang berani mendatangi tempat tersebut. Walau begitu ada masanya beberapa orang akan menaruh sesaji berupa hasil bumi di dekat persembunyianku ini. Sesaji yang mereka letakkan di sini terdiri dari berbagai hasil bumi. Dan ketika mereka selesai melaksanakan hajatnya, sesaji yang mereka bawa itu akan ditinggal begitu saja. Dan inilah berkah bagi kami. Saat mereka pergi, saat itulah kesempatan bagi kami mengambil sesaji tersebut.
Sesaji berupa hasil bumi itu merupakan ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan. Dengan meletakkan sesaji tersebut, mereka bermaksud mengembalikan segala yang telah diambilnya dari bumi. Dengan ‘pengembalian’ ini mereka berharap agar keseimbangan bumi tetap terjaga dengan baik. Soal siapa saja yang menikmati sesaji itu bukan aku saja yang menikmatinya.
Aku beserta mereka yang juga bersembunyi akan menikmatinya. Dalam menikmati sesaji itu kami telah memiliki aturan tersendiri sehingga tidak akan ada yang merasa dirugikan. Kami selalu membaginya rata. Bukan hanya itu, biji-bijian dari sesaji hasil bumi yang kami nikmati itu tidak kami buang begitu saja.
Kami akan menanam biji-bijian itu di tempat seharusnya. Sehingga, jika suatu masa nanti datang masa paceklik dan mereka yang biasa menggelar sedekah bumi tidak mampu melaksanakan sedekah bumi, mereka akan dapat mengambilnya untuk sekadar bertahan hidup di masa sulit. Beberapa biji-bijian yang pernah kami tanam beberapa di antaranya sudah besar. Bahkan beberapa di antaranya sudah ada yang berbuah.
Jika semua biji-bijian yang kami tanam sudah berbuah seluruhnya, Kami yang sembunyi akan berpindah ke tempat lain. Di tempat yang baru itu kami akan melakukan hal serupa. Ini sengaja kami lakukan agar mereka yang memilih tidak sembunyi lekas sadar terhadap pentingnya melakukan pelestarian. Kami yang bersembunyi sendiri juga baru sadar betapa pentingnya pelestarian. Semenjak biji-bijian itu tumbuh hingga berbuah, jarang sekali terjadi masa paceklik. Tentunya ini kabar menggembirakan bagi negeri kita.
“Setelah ini ke mana lagi kita akan bersembunyi?” tanya Baboo, seekor rusa berkaki tiga kepada semua yang bersembunyi di Gunung Merapi itu.
“Bagaimana kalau ke Grojogan Sewu saja!” usul Bertha, gajah jantan yang baru saja patah kaki dan gadingnya.
“Jangan. Jangan ke sana, di sana sudah tidak ada tempat sembunyi,” sergah Pantera, harimau hitam bergigi emas yang punggungnya nampak lebih bungkuk.
“Lantas kita mesti ke mana?” tanya Baboo lagi.
“He, manusia, kau jangan hanya diam saja. Bantu mikir dong!” pinta Pantera tiba-tiba.
“Iya, kamu. Kamu ‘kan yang paling pintar di antara kita. Bantu kita-kita yang bangsa binatang ini, dong,” tambah Bertha.
Aku terkesima mendegarnya. Sebab, baru kali ini ada yang mempercayaiku.
“Kalian percaya padaku?” tanya Baboo.
“IYa,” jawab mereka bersamaan.
“Setelah lama bersama tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mempercayaimu,” tambah Bertha.
“Baiklah, bagaimana kalau kita pergi ke Gunung Lawu saja! Di sana aku yakin masih banyak tempat bersembunyi. Aku pernah mendengar hutan di sana jauh lebih lebat dibandingkan gunung ini. Aku juga mendegar di sana masih banyak tempat keramat. Jadi selain sembunyi kita tetap bisa melakukan misi kita. Bagaimana?”
“Baiklah, kapan kita berangkat?” tanya Pantera.
“Nanti, malam.”
Akhirnya setelah pembicaraan kecil ini, kami semua yang sembunyi di tempat ini setuju berpindah ke Gunung Lawu. Malam yang dinantikan pun tiba. Kami segera bergegas menuju tempat baru. Malam itu rupanya tidak seluruhnya di antara kami turut pindah. Beberapa yang memutuskan tetap tinggal mengatakan ingin diam di tempat tersebut guna menjaga tempat tersebut. Dan tidak ada alasan bagi kami yang pergi untuk memaksa mereka.
Seperti biasanya kami akan selalu memilih jalan yang tidak biasa agar perjalanan kami yang pergi ini tetap tersembunyi karena kami terlalu minder terhadap segala kekurangan pada diri kami. Makhluk-makhluk yang terpilih mendapat kekurangan seperti ini pasti dengan mudahnya akan mati jika mencoba memilih menghadapi kenyataan dengan menampakkan diri di depan khalayak umum. Beberapa di antara mereka barangkali akan memanfaatkan kekurangan yang kami miliki demi keuntungan pribadi.
Bayangkan saja jika Baboo, Pantera, dan Bertha menampakkan diri, baik di hutan atau di daerah yang bersinggungan langsung dengan manusia. Kemungkinan terbaik mereka akan hidup di kebun binatang. Sedangkan kemungkinan terburuknya mereka akan dikeringkan untuk penghias rumah para pejabat. Sedangkan aku sendiri, kalau menampakkan diri di depan umum, kemungkinan terburuknya akan disuntik mati dan tubuhku akan dijadikan penelitian oleh mereka yang mengaku calon dokter. Sedangkan kemungkinan terbaiknya, gambarku akan disebarkan di dunia maya, dengan harapan akan mendapatkan ‘jempol’ sebagai tanda rasa iba mereka yang melihat keadaanku ini.
Semua yang terlahir di dunia ini memang tidak bisa memiliki hak bagaimana keadaannya ketika dilahirkan. Kalau saja semua makhluk di seluruh alam semesta ini memiliki hak memilih bagaimana kondisi saat dilahirkan, tentu tidak akan ada satu pun makhluk yang mengalami nasib seperti kami ini. Makhluk yang hanya bisa bertahan hidup dengan jalan bersembunyi.