Menu

Rumah Mewah | Cerpen Bulan Nurguna

Sumber: https://7desainminimalis.com/

Sumber: https://7desainminimalis.com/

Rumahku adalah salah satu yang paling besar dan mewah—bertingkat dua dengan luas tanah dua kali lipat dari rata-rata milik orang lain—di perumahan itu.  Awalnya kami sekeluarga senang ketika pertama kali merenovasi rumah. Tetapi semuanya berubah setelah beberapa tahun, kepuasan terhadap rumah tersebut ternyata menurun. Kami kadang menyesal telah membangun rumah begitu besarnya.

“Coba pasang iklan, siapa tahu ada yang berminat membeli rumah ini,” kata ibuku suatu hari. Dia memang sering kali bicara tanpa pembukaan, tiba-tiba langsung ke inti. Aku tentu saja kaget.

“Hah? Kenapa mau dijual? Bukankah ini rumah impian? Rumah pensiun?” 

“Ibu takut kalau nanti ada gempa lagi. Apalagi waktu itu kamu sedang di lantai dua.”

“Aku tidak trauma, kok. Gempa kan, tidak setiap hari.”

“Sepertinya Ibu lebih suka rumah yang sederhana saja, dari kayu dan tidak bertingkat. Kita beli saja tanah di tempat lain, lalu kita bangun.”

Aku malas berdebat dengannya. Sebetulnya dalam ide menjual rumah itu ada juga terselip ideku. Minimal aku bisa pamer di media sosial bahwa aku tinggal di rumah berharga miliaran rupiah. Memang, sih, sudah sering aku berfoto dan membuat video di dalam rumah. Tetapi tentu saja memasang kabar ingin menjualnya dengan harga sekian “M” adalah kesombongan lain yang menyenangkan.

Aku memotret bagian dalam rumah, lalu bagian depan. Sebenarnya aku malas dan sering merasa tak nyaman ketika harus berlama-lama di depan rumah. Dulu waktu rumah itu masih berupa bangunan asli yang dibangun pengembang, rasanya tidak begini-begini amat.

“Halo, Mbak Candra. Mamanya mana?” tanya seseorang yang tiba-tiba berhenti dan membuka kaca mobilnya.

“Halo, Tante. Ibu ada di dalam. Mau saya panggilkan?”

“Ah, jangan. Salam saja.”

“Oh. Oke, Tante. Siap,” kataku. 

Aku melanjutkan memotret bagian-bagian rumah ketika ia sudah pergi.

Setelah aku selesai dan hendak ke dalam, tiba-tiba seorang satpam berhenti di depan rumah. Satpam itu mengingatkanku pada dua orang jambret yang dulu pernah mencoba merampas kalung emas Ibu dari lehernya. Satpam itu langsung mengucap salam, tetapi belum sempat kujawab dia sudah mengutarakan maksudnya, “Saya mau minta pagar besi bekas yang lebar panjang itu. Kita mau pakai jadi pembatas mobil sampah bagian bak belakang, supaya sampah tidak tumpah. Ini untuk kepentingan kita bersama juga.” 

Setiap bulan kami selalu membayar iuran sampah ke pihak swasta yang menjalankan layanan itu. Kenapa sekarang tiba-tiba ngomongnya seperti itu?

“Ada Ibu?” tanyanya setelah itu.

“Ibu saya sedang tidur, nanti saya sampaikan.”

“Terima kasih, ya. Kalau bagaimana-bagaimana, tolong kabari saya di pos satpam depan perumahan.”

“Oke.” 

Pagar bekas dari rumah kami memang diletakkan di atas got depan rumah, karena rencananya akan diangkut mobil bibiku ke tanah kami yang lain. Tetapi bibiku selalu bilang bahwa suaminya belum sempat mengangkutnya, padahal sudah lebih dua tahun sejak kami menempati rumah baru. 

“Rumah kamu banyak yang bicarakan lho, di kantorku. Benar rencananya mau dijual?” 

“Iya, Mbak,” kataku pada Mbak Ana, tetangga yang tiba-tiba menghampiri. Ia juga kerap bertemu denganku di acara-acara kesenian. 

“Kok bisa teman-teman kantor Mbak pada tahu?”

“Aku juga tidak tahu. Mungkin dari mulut ke mulut. Kota ini kan kecil, ke sana-kemari ketemunya ya itu-itu lagi. Betul, mau dijual 7 M?”

“Rencananya sih seperti itu.”

“Wajar sih, 7M. Kayunya saja pakai kayu ulin dan kayu jati. Belum lagi desainnya unik.”

Hah? Wajar? Bukannya itu kemahalan? Kami memang memasang tarif yang tinggi supaya lakunya tidak cepat, lagipula belakangan aku tahu kalau Ibu tidak sungguh-sungguh ingin menjualnya. Ada bagian dari dirinya yang ingin menjual, ada bagian dari dirinya ingin menyombongkan, ada bagian dari dirinya ingin mengecek harga di pasaran, dan sebagian lagi memang dia dilema.

Rumah itu kadang juga membuatku kesal karena banyak barang-barang yang “tersembunyi”. Kami memiliki dua dapur, masing-masing dapur memiliki deretan lemari dan laci. Barang-barang memang telah ditata rapi di dalamnya tapi ibuku sering merasa tidak punya apapun karena barang-barang tersebut tidak kelihatan sehingga ketika kami pergi ke mal yang awalnya untuk melihat-lihat saja malah pulang membawa begitu banyak perlengkapan dapur. Ibuku merasa dia telah berhemat karena membeli barang-barang diskon tetapi bukankah itu  pemborosan? Membeli barang-barang yang kemudian hanya ditaruhnya di dalam lemari dapur tanpa pernah memakainya?

Aku sering memeriksa barang-barang di rumah. Tak jarang kutemukan benda-benda yang sudah keburu aus padahal belum pernah digunakan semenjak dibeli kecuali ketika dicoba di tokonya. Tas, sepatu, dan sandal yang paling sering kutemukan. Ibuku rupanya hanya senang memiliki sesuatu walaupun dia tidak membutuhkannya.

Belakangan ini kupikir Ibu seperti seniman seni rupa. Ia cuma suka memamerkan barang-barang miliknya tanpa pernah memakainya. Contoh yang paling menggelikan dan belakangan membuatku kesal adalah railing di lantai dua rumah kami. Ibuku ingin mengganti seluruh railing yang panjangnya puluhan meter dengan perkiraan biaya puluhan juta rupiah. Dia menilai batang-batang kayunya terlalu kurus, tidak proporsional dengan besarnya rumah kami. Padahal sebelum dipasang dia telah setuju dan bagiku memang sudah cocok. Kalau diingat-ingat tidak sekalipun Ibu naik ke lantai dua setahun belakangan ini. 

Sering ketika melewati suatu indekos, aku membayangkan salah satunya adalah kamarku. Ah, bukan kamar, melainkan rumah. Di rumah yang hanya terdiri dari satu kamar itu pasti hidupku tidak repot dengan barang-barang, hemat karena mengeluarkan apa-apa yang dibutuhkan saja—tidak perlu membayar listrik yang mahal, biaya perawatan rumah, dll—serta lebih fokus mengerjakan hal-hal yang memang aku inginkan. Rumah yang besar itu malah terasa seperti kandang yang sempit. Oh ya, uang yang dipakai untuk membangun rumah besar itu juga bisa dipakai untuk bisnis atau investasi, pasti hidup terasa ringan.

Sebetulnya aku tidak anti pada barang-barang. Tapi rumah yang besar membuat kita tidak berpikir lama untuk membeli barang-barang. Bila nanti aku punya kos-kosan sendiri aku akan menatanya seperti penataan sebuah hotel mewah. Di dalam sudah lengkap semua fasilitasnya: AC, kipas angin, meja rias, WiFi, kamar mandi dengan wastafel, shower, dan bathtub

“Ada nasabah bank tempatku kerja ingin lihat rumah kamu, lho,” kata Mbak Ana ketika ia bertamu. Aku sedikit kaget tidak menyangka respon calon pembeli bisa begini cepatnya.

“Kapan kamu dan ibumu ada waktu supaya aku atur janji untuk nasabahku cek lokasi.”

“Hmm… Kapan saja boleh, Mbak. Aku tidak pernah sibuk.”

“Kalau punya bisnis sendiri enak, ya. Kapan saja bisa. Tidak seperti kami yang kantoran.” 

Aku cuma tersenyum, sementara pikiranku sibuk dengan pertanyaan bagaimana nanti kalau orang itu berminat? Tiba-tiba perasaan sayang terhadap rumah itu membesar. Sirkulasi udaranya yang lega, arsitekturnya yang bernuansa seperti vila-vila di Bali, meja marmer di dapur-bersih maupun dapur-kotor, meja bar kayu di dapur-bersih yang menyatu dengan ruang makan, polesan white wash pada setiap kusen pintu dan jendela, instalasi listrik yang rapi dan tidak sedikit pun ada kabel yang terlihat, instalasi lampu yang tepat meletakkan di mana lampu kuning atau putih serta berapa besaran watt-nya, kedua pilar di teras ruang tamu yang dilapisi batu serai yang mahal seperti glitter yang disapukan di pipi seorang perempuan. Ah, rumah kami memang cantik sekali seperti perempuan yang cantik, pintar, dan membuat orang nyaman. Sesuatu yang betul-betul sempurna.

“Katanya punya impian mau tinggal di kos, kesempatan emas, nih,” kata ibuku ketika kuceritakan tawaran Mbak Ana.***

 

Belencong-Belakang Gereja, 12 November 2020-12 Januari 2021

Tuliskan komentar