Menu

Aib Kuncian | Cerpen Ramli Lahaping

Aib Kuncian | Cerpen Ramli Lahaping | https://warwick.ac.uk/

 

 

Sudah dua hari berlalu, tetapi aku tak juga berhasil berkontak suara dengan istriku. Berulang kali kucoba meneleponnya, tetapi tak ada respons. Tepatnya, panggilanku tidak tersambung. Aku jelas khawatir, meski kemarin ia mengirimkan pesan kepadaku bahwa ia baik-baik saja. Akhirnya, aku berusaha memaklumi bahwa ia memang butuh menyepi di kampung halamannya. Ia perlu menenangkan diri dari persoalan rahasianya, yang sesungguhnya telah kumengerti. 

Masalah terselubung istriku memang pelik. Orang-orang tak hentinya mengabadikan cerita bahwa ia adalah seorang perempuan pendosa. Mereka terus menggunjingkan dan mewariskan cerita bahwa dahulu, sebelum kami bertemu dan hidup bersama, ia adalah seorang pelacur di ibu kota provinsi. Mereka memang tidak mencela atau menghardik kekasihku itu secara langsung, tetapi aku pun bisa membaca raut dan gelagat cibiran mereka yang merendahkan. 

Pada awalnya, aku menolak keras desas-desus itu. Aku bahkan bersilang pendapat dengan orang tuaku saat aku hendak menikahinya. Itu karena mereka telah terpengaruh isu tentang kehidupan kelamnya, dan mereka memintaku untuk mencampakkannya. Namun aku kadung mencintainya sejak aku pertama kali menatapnya di sebuah kafe tempatnya bekerja sebagai pramusaji, dan aku menerimanya apa adanya. Sampai akhirnya, aku menikahinya tanpa restu orang tuaku. 

Namun perlahan, aku pun mulai mencurigai kebenaran rumor miring tentang dirinya. Apalagi, aku tahu dari ceritanya sendiri, bahwa dahulu, ia pernah bekerja sebagai pemandu karaoke dan pelayan diskotek. Ia memang tak menerangkan bentuk pekerjaannya, dan aku tak berhasrat menyidiknya. Namun pekerjaan semacam itu, memang bisa saja menjerumuskannya dalam transaksi penjualan harga diri demi uang dari para hidung belang yang berdompet tebal.

Hingga akhirnya, empat tahun yang lalu, saat aku masih aktif sebagai pengurus sebuah partai politik, aku pun membenarkan gosip orang-orang. Pasalnya, aku tiba-tiba mendapatkan kiriman misterius berisi foto bugil istriku beserta ancaman penyebarannya jika aku terus tampil di media dan mengampanyekan kader partaiku di pemilihan wali kota. Demi istriku, akhirnya, aku mengalah dan menarik diri dari urusan politik, lalu banting setir menjadi pengusaha percetakan. 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

Meski demikian, aku tidak membenci istriku, atau sekadar mempertanyakan kenyataannya. Bahkan sebaliknya, aku berupaya mengabaikan sisi kelamnya. Bagiku, perkara itu merupakan masa lalunya yang di luar kendaliku. Tak ada yang salah selain waktu yang terlambat mempertemukan kami, sehingga aku tak bisa menjaganya untuk tetap berada di jalan kesucian. Kesesatan itu telah terjadi, dan aku tak bisa apa-apa selain menerimanya dengan lapang dada. 

Kini, sebagai seorang suami, aku hanya ingin ia menjadi istri yang baik dan menyenangkan bagiku. Selama ia menjaga kesetiaan dan kesuciannya sepanjang masa depan kami, maka selama itu pula aku akan tetap menghargai dan mencintainya. Tanpa perasaan malu, aku akan menerima dirinya beserta cerita-cerita masa lalunya. Bahkan jika di kemudian hari aibnya benar-benar terkuak di tengah khalayak, perasaanku tidak akan berubah. 

Tetapi aku takut kalau ia malah tak bisa menerima dirinya sendiri. Ketika ia merasa berkalang dosa dan tak pantas bersanding denganku. Jikalau begitu, aku tentu tak bisa berbuat apa-apa, sebab tak ada yang bisa mendamaikan perasaannya selain pertobatan dan penerimaannya terhadap masa lalunya sendiri. Yang bisa kulakukan hanyalah berusaha membuatnya merasa berharga sebagai pasanganku, sehingga ia tak dirundung rasa bersalah dan rendah diri.

“Apakah kau akan tetap mencintaiku jika akhirnya kau tahu diriku yang sebenarnya, tentang aku di masa lalu?” tanyanya, untuk kesekian kalinya, sebulan yang lalu, kala kami tengah duduk berangkulan, sembari menonton film romantis yang cukup menggambarkan tentang kisah cinta kami. Ia seolah kembali mengkhawatirkan penerimaanku terhadap dirinya atas aibnya yang tak pernah juga kupertanyakan atau kupermasalahkan. 

“Ya, pastilah, Sayang. Kan sudah kubilang kalau yang aku pedulikan hanyalah tentang kau sebagai istriku yang mencintaiku pada saat ini dan hari-hari esok,” tanggapanku, dengan sikap yang menggoda, sebagaimana sebelum-sebelumnya. Aku lantas memampang raut polos untuk menyamarkan pengetahuanku perihal kisah kelamnya. “Memangnya, kenapa kamu bertanya begitu? Apakah kau meragukan ketulusanku?”

 

 

No Responses

Tuliskan komentar