Menu

Memilih Hari Kematian | Cerpen Afry Adi Chandra* (Blitar, Jawa Timur)

Sumber gambar: http://www.jaringanpenulis.com

Tikus-tikus itu kini tengah mengejarnya. Menuju segala arah.Tiap jejak yang tertinggal tak ‘kan luput oleh serbuan. Tikus-tikus telah mengekspansi. Menyerang. Membabi buta.Ia terjepit. Ia telah dieksekusi oleh gerombolan tikus yang menodongkan senjata. Makin terjepit, lalu terdesak. Lantas tak berdaya. Sampai pada akhirnya, ia harus memilih. Memilih hari kematian untuk dirinya sendiri.

***

Tak hentinya si anak menangis merengek. Layang-layang yang selama ini diterbangkan, putus entah kemana. Kemarin sore layang-layang bersampul hitam putih itu masih berarak mengangkasa. Tak ada yang istimewa. Layang-layang itu tak lebih sekadar buah rengekan dari si semata wayang kepada sang Ayah. Hampir tiap hari ia menjerat lehernya, biar makin merengek sejadi-jadinya. Meminta layang-layang.

“Yah, apa layang-layang itu mahal harganya?Apa tabungan ayamku tak cukup?”

Rasa kasihan terus menjerat, membuat sang Ayah berupaya memperoleh layang-layang. Berbekal pengalaman masa kecil, si Ayah akhir-akhir ini tampaklah begitu sibuk. Selepas pulang kerja, ia sempatkan menyiapkan bahan guna merakit bambu serta helaian benang menjadi wujud layang-layang. Ia ingin menukar senyum si buah hati dengan layang-layang. Sederhana. Jam kerja perusahaan masihlah memberikan kesempatan terhadapnya untuk bisa berkumpul dan berbagi kasih sayang dengan keluarga. Hampir tiga tahun ini ia bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Ia punya bagian menyiapkan mesin-mesin pencetak.

Pada suatu kesempatan pernah seorang tetangga bertanya kepadanya.

“Kerja di perusahaan apa, Pak?”

“Percetakan kecil-kecilan, Pak. Asal cukup buat hidup sekeluarga.”

“Baju, kemasan makanan, buku, atau apa?” tanya si tetangga penasaran.

“Oh, bukan.Tugas saya di perusahaan adalah menyiapkan mesin-mesin pencetak. Bapak belum tahu mesin pencetak apa?”

Tak ada jawaban terlontar dari mulut si tetangga satu ini.

“Tugas saya adalah menyiapkan mesin-mesin pencetak kebaikan. Entah apa pun itu bentuk dan ukurannya. Semua yang berkaitan dengan kebaikan, kami cetak semua. Tak perlu menunggu pesanan sampai jutaan. Saben hari saya harus menyiapkan mesin-mesin pencetak kebaikan. Begitulah tugas saya, Pak. Asal keluarga tetap bisa makan.”

Hanya naungan diam yang kini mengitari kedua manusia ini.

Layang-layang itu kini telah jadi. Berhasil diterbangkan. Meski tak sempurna bentuknya, si anak begitu gembira oleh karenanya. Ini adalah kebahagiaan yang begitu teramat. Tiap hari si anak keranjingan layang-layang. Di kamar tidur, ruang makan, sekolah, ruang keluarga, bahkan ruang kerja si Ayah, semua soal layangan. Di mana pun tempatnya, layang-layang adalah pokok bahasan. Sekarang adalah kemarau yang bediding. Dingin membeku begitu menusuk, tapi tidak bagi cerita layang-layangsi semata wayang. Justru layang-layang makin kencang pula terbang bersama wajah keriangan. Begitu pula dengan si Ayah, ia tampak pula mengencangkan sabuk kerja. Pesanan tengah banyak-banyakya. Ia harus giat bekerja.

Sepulang kerja, nyatanya bukan cuma aduan dari istri tentang  beras, kopi, serta gula saja yang ada ditelinga. Si anak tak hentinya menangis. Tangis kali ini tampaklah beda. Teramat berbeda seperti biasanya. Tangis muncul jauh lebih menganak air mata. Dan si Ayah makin tak terhingga kesedihannya. Bagaimana tidak? Benang-benang bening menyerbu dari mata. Benang yang yang benar-benar membuat si Ayah hampir sekarat. Benang-benang bening yang mengalir dari kedua mata si anak tak ubahnya benang layangan yang selama ini di pakai menerbangkan. Begitu mirip. Sementara, layang-layang itu kemana entah. Begitulah sebab-musabab tangis si anak teramat pecah.

***

Hari ini si Ayah memilih tak masuk kerja. Ia tangguhkan pekerjaan yang sebenarnya teramat menumpuk. Ia pasrah kepada tangan rekan. Si Ayah juga begitu berani mengambil risiko. Ketidakhadirannya hari ini jelas mengganggu kinerja perusahaan. Pasti, ia bakal dipanggil pimpinan. Dicerca beragam pertanyaan. Bahkan sampai silsilah kekeluargaan. Ke mana si Ayah gerangan? Tubuhnya yang tergolong kering tengah membabat, menerobos, pun merambah kebun-kebun tetangga. Ia sibuk mencari layang-layang si anak. Ia tak tega. Apalagi sampai sekarang mata si anak masih saja mengucurkan benang-benang bening. Untungnya, si istri mampu mengatasi tangisan si semata wayang. Ia tampung air mata serta benang-benang menjuntai yang ada. Persis di sebuah ember bekas mengolah ketela. Tampak kusam di mata.

Benang yang diruntut si Ayah sampailah pada sebuah kebun ketela. Ia tak tahu kebun punya siapa, yang jelas kebun ketela itu begitu lebat daunnya.

“Mungkin si pemilik sedang berlimpah rezeki dari-Nya,” pikir si Ayah sambil terus meruntut benang layangan si anak.

Tak mudah nyatanya mencari ujung dari benang. Si Ayah makin masuk. Makin ke dalam. Ia terobos saja pohon ketela setinggi dua meteran. Si Ayah tampak tenggelam, seolah tertelan hijaunya daun ketela. Ia makin masuk ke dalam. Berharap ujung dari benang segera diketemukan beserta keriangan. Sang Ayah tampak membayangkan, bagaimana bahagianya si anak. Layang-layang yang selama ini ia tangisi telah diketemukan. Ia bisa kembali menerbangkan. Beradu dengan para kawan di tanah lapang. Itu yang ada di dalam benak si Ayah. Namun, menemukan ujung benang serta layang-layang nyatanya tak semudah itu. Ia masih saja sibuk dengan pohon ketela yang menghalangi langkahnya.

Di depan mata tampak ujung dari kebun ketela. Hanya tanah kosong yang tampak. Namun, tiba-tiba dari arah kanan.

Gludukkkkk…..gludukkkkk……sreeekkkkk….sreekkk

Bukan main kaget si Ayah. Ia masih belum bisa melihat suara apa yang baru ia dengar, yang ada dipikirannya hanya mengambil langkah sejauh mungkin. Ia berlari, sekuat tenaga. Pohon ketela beserta daun yang lebat benar-benar menganggu langlah serta jarak pandang si Ayah. Jalur yang dilalui Ayah kini menyisakan patahan daun-daun serta batang-batang ketela. Seolah ada babi hutan besar yang mengacak-acak kebun ketela ini. Langkahnya yang semakin masuk ke dalam kebun tadi justru membuat Ayah merasa benar-benar ditikam kelelahan. Ia belum temui juga tanah lapang. Kebun ketelah telah benar-benar membuatnya lelah serta hampir pasrah. Suara tadi belumlah usai. Malah makin mendekat di telinga. Suara yang terdengar begitu besar. Jelas, ini bukan hanya satu-dua saja yang mengejar Ayah. Pasti ada ratusan atau mungkin ribuan. Sisa-sisa tenaga yang mengendap dimanfaatkan Ayah sebaik mungkin. Ia masih terus berlari. Sayang, mata Ayah belum menangkap tanah lapang yang ia harapkan. Sementara dari arah belakang.

Gludukkkkk…..gludukkkkk……sreeekkkkk….sreekkk.

Gludukkkkk…..gludukkkkk……sreeekkkkk….sreekkk.

Suara itu tambah kuat mendekat. Ayah yang merinding berusaha untuk terus mengambil seribu lari. Nahas baginya, di tengah napas yang sudah tersengal-sengal. Kaki Ayah justru terperosok di sebuah nganga yang cukup dalam. Sebenarnya tak terlalu lebar, hanya saja cukuplah dalam. Tenaga Ayah habislah sudah. Suara itu kian mendekat. Terasa mendekat, lebih dekat, makin mendekat, dan akhirnya hanya satu meter di depan Ayah. Napas yang pasrah membuat Ayah memejamkan saja matanya. Ia ragu membuka mata. Makhluk ini akan berbaik hati ataukah menakutinya? Apalagi ia bolos kerja hari ini. Ia takut kalau-kalau yang mengejar tadi adalah pekerjaan yang ditinggalkannya. Suara tadi tampak berhenti. Ayah beranikan perlahan membuka mata. Meski masih ragu adanya. Ia beranikan diri. Perlahan bayangan di depan mata terbentuk sempurna. Terwujud sempurna. Lalu, apa yang dilihat Ayah?

“Berani-beraninya kau masuk kemari.Siapa yang menyuruhmu?Ada urusan apa kau?” Sama sekali bisu dan diam mulut Ayah. Mulut hanya menutup dengan apa yang dilihat didepannya. Ia masih saja belum percaya.

“Apa aku mimpi?,” tanya Ayah dengan raut kebingungan.

Gerombolan tadi makin maju, mendekat ke tubuh Ayah.

“Ampun, ampun, ampun.Jangan kau todongkan senjata itu kepadaku. Ampun,” Ayah tampak meminta belas kasih.

“Aku tak perlu menjelaskan apa kelancanganmu,” senjata itu malah makin ditodongkan kepada Ayah.

Ketakutan makin mencekik Ayah perlahan. Kemudian ada yang menyahut kembali.

“Kau boleh meninggalkan tempat ini dengan selamat. Asal…”

“Aa…asal…asal apa?” tampak Ayah menyela.

“Mudah saja.”

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Ayah sedikit panik.

“Tinggalkan pekerjaanmu. Lalu…”

“La…la…lalu apalagi?” sikap pasrah Ayah justru makin menjadi adanya.

Sambil menodongkan segala senjata ke muka Ayah, “Tinggalkan pekerjaanmu dan sekarang kau harus memilih hari kematian untuk dirimu! Cepat lakukan!”

Sambil terus mengerat nyawa, kini gerombolan tikus semakin banyak yang menodongkan senjata ke muka Ayah. Meneror Ayah. Memilihkan hari kematian untuk Ayah.[]Blitar, Juli 2017.

 

*)  Afry Adi Chandra. Seorang guru bahasa Indonesia di SMKN 1 Udanawu, Kabupaten Blitar.

No Responses

Tuliskan komentar