Menu

Cerita dari Kota | Cerpen Firman Fadilah

 

Aku berjalan menuju taman kota. Satu-dua orang mengikuti langkahku mengarah ke taman kota yang selalu ramai di hari Minggu. 

Hari ini, aku sengaja menyiapkan dua puluh empat jam untuk memanjakan diri sendiri tanpa melakukan apa-apa. Ini adalah hari Minggu, tandanya aku harus berlibur, meski sebenarnya pekerjaanku tidak mengenal angka merah di kalender. Juga sebenarnya hari-hari akan berjalan sama saja seperti hari lalu. Aku sendiri seolah dipaksa untuk beraktivitas sambil menunggu mati. 

Aku berjalan kaki bersama orang-orang asing yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kebanyakan orang yang kulihat asik bermain telepon genggam, berjalan menuju taman sendirian, tanpa melihat jalan. 

Jaket kimono yang sudah seminggu ini tidak dicuci membungkus tubuhku yang kesepian. Kedua tangan kumasukkan ke dalam saku. Telapak dan jari-jari tangan seketika menghangat. Celana jeans dan sneaker tanpa kaos kaki ikut menghangatkan kakiku. 

Taman kota ini sangat berbeda dari dulu. Anehnya, aku baru menyadari bahwa ada beberapa tanaman hias yang ditambahkan di sekitar air mancur. Ada beberapa tempat untuk berswafoto atau bersama pasangan. Mainan anak-anak juga telah dicat ulang. Ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, dan besi panjat tampak mengkilat. Aku juga baru menyadari, taman ini tampak jauh lebih bersih dan wangi oleh bunga-bunga warna-warni. Aku banyak melewatkan taman ini. Padahal, aku rutin datang ke sini. Entah apa yang sebenarnya aku perhatikan.

Angin menggugurkan daun kuning. Udara sejuk membuatku seketika menghikmati setiap tarikan napas yang dingin memenuhi sela paru-paru. Kicau burung yang menari-nari di ranting beringin seolah menandakan bahwa hari ini akan berjalan dengan baik. 

Hari Minggu memang terasa sedikit berbeda. Kendaraan jarang terlihat lalu lalang. Mungkin kebanyakan orang lebih memilih diam di rumah saja atau jalan-jalan di pantai dan mall bagi yang kaya. Sedangkan untuk yang berkantong pas-pasan sepertiku, jalan-jalan di taman sudah termasuk liburan yang istimewa. 

Aku menebar pandangan dan menangkap beberapa orang duduk di bawah pohon rindang sambil menggelar serbet pikniknya. Makanan dikeluarkan. Mereka sangat menikmati hidangan itu bersama keluarga. Ada sepasang kekasih duduk di bangku yang masing-masing sibuk dengan telepon pintarnya. Mereka duduk bersama, tetapi seolah berjauhan. Apakah mereka sepasang kekasih tunawicara sehingga mereka berkomunikasi lewat telepon? Atau barangkali mereka hanya pasangan yang sama-sama egois. 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Gadis-gadis berfoto di depan tembok yang berhiaskan grafiti bermotif batik. Aku tidak sengaja menatap salah satu mata rusa milik gadis yang sedang berfoto. Ia tersenyum kepadaku dan berusaha menyembunyikan kecanggungan sebab aku tidak membalas senyumannya dan memilih mengalihkan pandangan kepada anak-anak kecil yang sedang bermain ayunan. 

Aku lupa bagaimana caranya membalas senyuman. Aku takut jika senyumanku mengganggu dan dianggap sebagai senyum yang penuh gairah, lalu menjurus pada pelecehan seksual. Orang-orang sangat sensitif belakangan ini. Aku lupa kapan terakhir kali mendekati seorang gadis atau aku sengaja melupakannya. Entahlah. Kesedihan membuat orang mudah melupakan sesuatu.

Bau rumput berdesakan di hidungku. Aku kembali menyisir sisi lain taman untuk mencari bangku yang kosong. Aku akan duduk di sana dan membiarkan cahaya matahari pelan-pelan merambat di wajahku. Aku mempunyai dua belas jam untuk sendiri sambil melihat orang-orang sibuk bersandiwara.

Kupu-kupu terbang ketika aku duduk di bangku paling piatu di taman itu. Udara terasa sesak oleh keheningan di kepalaku. 

Kesepian seperti tidak memiliki jalan keluar, bahkan di tempat yang ramai seperti ini. Aku memiliki banyak waktu untuk dilewatkan. Aku melihat daun berjatuhan, tupai melompat dari pohon-pohon yang renggang, dan tawa dari wajah bahagia yang tidak aku miliki. 

Aku mengosongkan pikiran. Aku buat perasaan mati sementara. Aku mencoba mengingat-ingat sesuatu, tetapi hari yang lalu sama saja dengan yang sekarang atau mungkin yang akan datang sama juga. Di bangku ini, aku teringat satu hal. Sebuah cerita dari kota yang bagiku sangat memilukan. Apalagi cerita yang lebih memilukan daripada cerita tentang rindu dan patah hati?

Suatu hari, seorang kurir, seperti biasanya, mengantarkan paket-paket ke pemiliknya. Ia hafal betul nama-nama jalan, nomor rumah, gang-gang sempit, hingga wajah pemilik paket yang beragam. Ia juga paham akan perangai pemilik paket yang suka menitipkan paketnya di rumah tetangga sebab ia sibuk bekerja. Atau pemilik paket yang sudah menyiapkan keranjang khusus untuk menaruh paket.

Tentu ia sangat mencintai pekerjaannya. Pekerjaan yang tidak mengenal hari libur. Ia terlihat sangat senang ketika melihat pemilik paket menerima paketnya dengan baik. Ia melesat dari rumah ke rumah layaknya merpati putih yang menyampaikan pesan-pesan raja yang penting. Sejauh ini, ia tidak pernah gagal dalam menemukan alamat rumah, termasuk satu alamat milik seorang wanita yang bernama Anita. 

Umpama cerita-cerita cinta klasik lainnya, cinta datang secara tiba-tiba. Cinta tidak memerlukan alasan apa pun untuk jatuh. Cinta datang seperti ombak yang mendebur pasir pantai dan menenggelamkannya ke kedalaman yang tak terukur. Cinta adalah sebuah kebetulan yang ditakdirkan. Begitulah cinta yang kelak membuatnya sangat kesepian. 

Awalnya, ia hanya sebatas pengantar paket yang demi menjalankan tugasnya, ia rela hujan-hujanan dan kepanasan. Ia tidak pernah berpikir bahwa hatinya akan tertambat di salah satu penerima paket yang memang sangat cantik dan menawan. 

No Responses

Tuliskan komentar