Menu

Menangkap Asap | Cerpen Mas Heri Santoso Ashar

Juminah. Begitu ayahnya memberikan nama pada anak gadis itu dua puluh lima tahun yang lalu. Juminah lahir hari Kamis, sembilan Mei, satu sembilan delapan lima, di ibu kota provinsi. Pagi hari setelah subuh. Putih kulitnya tapi tak sipit matanya. Karena dia bukan turunan orang Cina. Juminah asli turunan orang Jawa. Tangisan pertamanya ditandai gelak-tawa, serta suka-cita sanak keluarga dan handai taulan. Meski Juminah terlahir sungsang. Kakinya terlebih dahulu yang keluar, tidak selayaknya kelahiran bayi secara normal yang terlahir kepalanya terlebih dahulu.

Juminah adalah anak pertama sekaligus cucu pertama Ki Ahmad. Pemilik pesantren di kota itu. Keluarga besar Ki Ahmad berharap kelak Juminah menjadi penerus dan pengasuh di pesantren yang dikelola keluarga itu.

Begitu diputus tali pusar dan selesai dimandikan, kakeknya sendiri yang langsung mengumandangkan adzan di samping telinga Juminah. Tugas besar sudah menanti di pundak anak gadis itu kelak.

Selesai mengadzani cucunya Ki Ahmad langsung bergegas ke masjid pesantren untuk mengumumkan kelahiran cucu pertamanya pada para santri. Memanfaatkan pengeras suara yang sudah agak sember kalau didengarkan, Ki Ahmad dengan lantang mengumumkan berita suka-cita itu berkali-kali. Saking gembiranya. Begitu selesai menyampaikan pengumuman, Ki Ahmad langsung pergi ke pasar. Ki Ahmad hendak membeli kambing untuk aqiqah nanti.

Pesta kelahiran Juminah digelar dengan penuh kemeriahan. Pesta itu berlangsung tujuh hari tujuh malam. Meskipun demikian, acara itu tidak mengganggu rutinitas kegiatan pesantren. Para santri bergiliran bertugas menjadi pramusaji dalam pesta tersebut. Tamu yang datang juga membludak. Baik handai-taulan maupun para sahabat Ki Ahmad yang berasal dari seluruh pelosok negeri.

Ki Ahmad benar-benar mengistimewakan para tamunya. Sudah tidak terhitung lagi berapa kambing yang disembelih, ayam yang dipotong, bebek yang disate dan telur yang direbus. Semuanya disajikan untuk menjamu semua tamu yang datang. Dua gudang sudah penuh berbagai hadiah, cendera mata, juga handy craft, baik yang terbungkus rapi nan indah atau tanpa bungkus sama sekali. Para penari, penyanyi dan pengisi-pengisi acara lainnya sudah pegal-pegal karena meski menghibur tamu undangan selama berhari-hari. Pun demikian mereka sangat senang karena Ki Ahmad memberikan bayaran lebih besar dari tarif biasanya.

Ayah Juminah, Ahmad Suprano Ahmad tampak sibuk menyalami tamu undangan. Wajahnya berseri-seri meski sudah tujuh hari tujuh malam harus melayani tamu-tamunya yang terus berdatangan. Suprano begitu panggilannya, adalah lulusan terbaik dari universitas terkemuka di Kairo.

Setahun sebelum kelahiran Juminah, anaknya itu. Ia kembali ke tanah air dan menikah dengan Julehah. Santriwati yang berasal dari Kulon Progo, sebuah kota di pesisir selatan pulau Jawa. Waktu itu Ki Ahmad sendiri yang menjodohkan Suprano dengan Zulaikha.

Suprano menerima saja perjodohan itu. Meski batinnya menolak, dia sudah terlanjur cinta setengah mati dengan Tumijah. Santriwati yang berparas cantik dan berbibir seksi, merekah dan tampak selalu basah. Serta lebih bohay tentunya. Santriwati itu berasal dari Parigi, Ciamis sebelah barat Pantai Pangandaraan.

Sebenarnya Ki Ahmad tahu anak lelakinya itu cinta setengah mati dengan salah satu santriwatinya itu. Tapi Ki Ahmad tidak setuju, dia tidak suka sifat dan perilaku Tumijah yang kurang mencerminkan seorang muslimah. Witing tresno jalaran soko ra ono liyo, begitu falsafah Jawa yang sengaja menyimpang dari kaidah sebenarnya. Meskipun dipaksakan cinta Suprano pada Zulaikha tumbuh juga, dan lahirlah si buah hati yang cantik nan rupawan itu.

***

Dua puluh lima tahun tepat. Seperempat abad peristiwa itu telah berlalu. Juminah kini sudah menjadi gadis. Cantik molek dan aduhai. Membuat para jejaka, kesengsem pada kemolekannnya. Sudah berapa ratus pinangan yang datang untuk menjadikan Juminah permaisuri hati mereka. Hanya saja Juminah belum bisa membuka hati. Belum ada yang cocok dan sreg katanya.

Juminah baru pulang ke tanah air setelah menyelesaikan studinya di Amerika, negeri Paman Sam itu. Juminah kuliah di California, salah satu negara bagian di negara adi kuasa itu. Banyak sekali perubahan pada diri Juminah semenjak kuliah di sana. Salah satunya adalah gaya berbusananya. Kini Juminah tak lagi memakai jilbab. Gerah alasannya ketika suatu saat ibunya menanyakan alasan kenapa putrinya itu melepas jilbab.

Jangankan mengaji dan sembahyang malam, pergi sholat ke masjid pun enggan. Juminah lebih suka duduk berlama-lama di depan laptop sambil berkirim email dengan Grace, Peter, atau Aston, teman kuliahnya sewaktu di Amerika.

Belakangan ini Juminah juga sering chatting dengan Lee Han, remaja Korea yang di kenalnya saat di pesawat. Sewaktu balik ke Amerika pada libur kuliah setahun yang lalu. Lewat jejaring sosial yang sedang trend saat ini, Juminah juga sudah berani meng-upload foto-foto seksinya di internet. Tentu tanpa sepengetahuan Zulaikha, ibunya yang gagap teknologi.

Setiap akhir pekan Juminah pergi ke Jakarta untuk dugem bersama teman-teman barunya. Anak-anak pengusaha yang dikenalnya juga saat kuliah di Amerika. Berdalih ingin main ke rumah teman kuliahnya. Juminah mengelabui orang tuanya. Percaya begitu saja. Mereka belum tahu tingkah polah Juminah.  Di Jakarta Juminah menyewa kamar kos untuk tidur sekedar melepas lelah setelah menghabiskan malam bersama teman-temannya di night club ternama di ibu kota.

Tidak akan menemukan nama Juminah di tempat kos itu. Karena Juminah kini telah berganti nama menjadi Prety Qute. Nama gaul di kalangan teman-teman dugemnya. Selain nama akrab di kos-kosannya itu, sebuah rumah kos yang tanpa induk semang.

Hilang Juminah yang dulu rajin ngaji, rajin sholat, dan membantu orang tuanya. Berganti Prety Qute yang suka chatting, doyan dugem dan mabuk-mabukan. Tak ada lagi Juminah yang dulu berbusana anggun dan santun berbalut busana muslimah. Berganti Prety Qute yang seksi nan bohay dengan you can see dan rok mini yang hanya beberapa centi meter saja menutupi pangkal pahanya.

Apa jadinya kalau Ki Ahmad tahu tentang hal ini. Kalaupun tahu pasti tak akan memukul cucunya itu dengan rotan. Seperti yang pernah dilakukan kepada cucu-cucunya yang lain kalau malas sholat atau mengaji. Ki Ahmad meninggal dunia empat tahun yang lalu, setahun setelah kepergian cucu pertamanya itu kuliah ke Amerika.

Ki Ahmad sebenarnya tidak setuju Juminah kuliah ke Amerika. Akan tetapi waktu itu ia tidak mempunyai kewenangan untuk melarang. Ki Ahmad hanya memberi masukan dan pendapatnya saja pada Suprano, ayah Juminah yang ngotot menguliahkan Juminah ke Amerika. Demi prestise keluarga katanya, bukan prestasi!

***

Seorang gadis cantik nan seksi berjalan melenggak-lenggok di atas catwalk. Sorot lampu kamera fotografer berkedap-kedip silih berganti. Para fotografer itu berebut mengabadikan tiap moment yang bagus dari berbagai sudut paras cantik perempuan itu. Perempuan itu terkesan tampil sangat sempurna di atas papan catwalk.

”Oke, kita break dulu!”  Teriak seorang perempuan setengah baya yang juga berpenampilan super seksi.

“Oke tante Tammy.” jawab para fotografer itu serempak.

Kemudian perempuan setengah baya yang biasa disapa tante Tammy mendatangi objek bidikan kamera para fotografer-nya tadi. mencium pipi lalu memeluknya. ”Tante kita break kemana nih?” tanya gadis cantik nan seksi itu pada tante Tammy, pemimpin redaksi majalah dewasa khusus laki-laki itu.

”Kita ke Red and Black Stone Cafe saja, nanti aku kenalkan kamu dengan Mr. Chow, pemilik kasino dari macau,” ajak tante Tammy sambil menarik tas dari meja.

Wow, pemilik kasino?”

”Ya, dia yang akan menjadikan kamu super model nanti.”

Oke deh, kita berangkat sekarang.”

Hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai ke tempat yang mereka tuju. Mereka berdua lalu duduk di kursi yang kosong di sudut ruangan kafe itu. Seorang pelayan datang menawarkan daftar menu. Sebotol sampanye dan dua porsi kentang goreng mereka pesan.

Tante Tammy kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dari tasnya. Lalu mengambilnya sebatang dan menyulutnya, menghisap dalam-dalam rokok itu. Asap mengepul keluar dari bibirnya yang masih tampak terlihat seksi dan basah itu. Kini batang rokok itu terselip di antara jari kurusnya. Sambil menunggu pesanan datang, mereka sempatkan untuk ngobrol-ngobrol, tanpa topik pembicaraan yang jelas.

Say, apa impianmu yang belum tercapai?” tiba-tiba Tante Tammy menanyakan sesuatu yang sangat aneh terdengar di telinga gadis foto model itu.

”Impian apa, Tante?”

”Ya, impian apa saja. Pengen ganti mobil, beli apartemen lagi atau menikah barangkali?”

”Menikah?”

”Ya, menikah.”

”Rasanya menikah hanya status saja deh, Tante.”

Tante Tammy tertawa ngakak, hingga ia batuk-batuk karena asap rokok yang masih di dalam mulutnya terhirup sampai paru-paru. Gadis foto model itu ikut tertawa.

”Lalu apa impianmu sekarang?”

”Menangkap asap, Tante.”

”Menangkap asap? Apa maksudnya?”

Belum sempat pertanyaan itu terjawab. Pelayan datang mengantarkan pesanan. Mereka berdua menikmati dengan lahap. Meski sampanye yang mereka minum sedikit membuat sempoyongan menahan tubuh mereka untuk tetap nyaman di atas kursi. Tapi mereka sudah terbiasa.

Tiba-tiba seorang laki-laki berwajah oriental datang menyapa mereka.

”Hai Tammy, apa kabar?” sapa laki-laki itu sambil mencium pipi Tante Tammy.

”Baik Mister, silakan duduk.”

”Terima kasih, Tammy.”

”Mau dipesankan apa, Mister?” Tante Tammy memanggil salah satu pelayan dengan kode, menyalakan korek gasnya ke atas.

Salah satu pelayan menghampiri meja mereka.

”Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan.

“Capuchino satu, pakai krim, ya.”

Oiya, Mister, perkenalkan ini model saya,” kata Tante Tammy.

“Wow, perkenalkan nama saya Chow Young. Panggil saja Chow.” Sambil mengulurkan tangannya.

“Prety Qute, panggil saja Prety.”

Mereka bertiga kemudian terlibat pembicaraan yang seru. Ketawa-ketiwi di sela-sela percakapan. Tidak ada rasa canggung lagi antara Prety dan Mr. Chow. Kalau Mr. Chow curi-curi pandang itu biasa. Tapi Prety suka. Buktinya ia hanya senyum-senyum, paling-paling dia cubit pinggang Mr. Chow. Mereka kemudian memesan sampanye lagi. Membuat Prety berkunang-kunang.

“Prety bagaimana kalau ke apartemenku saja?”

“Mau ngapain, Mister?”

”Kamu mau menjadi super model di Macau?”

“Mau, Mister.”

“Kalau begitu ikut aku, aku punya tiket untuk menjadi super model di Macau.”

Mr. Chow lalu menuntunnya keluar kafe itu. Prety hanya bisa menggelayut pada Mr. Chow. Terlalu banyak minum sampanye sepertinya. Hingga tak mampu lagi berjalan tegak. Tante Tammy hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya yang juga mulai terasa berat. Dia masih duduk di kursi kafe itu.

“Tumijah! Kemana mereka berdua?” tiba-tiba Tante Tammy di kejutkan oleh suara yang tak asing lagi di telinganya.

”Yayang Suprano, bikin kaget saja jangan panggil Tumijah dong, panggil Tammy!”

”Iya, Tammy.”

”Kenapa lama tidak main ke apartemenku?”

”Banyak kerjaan kantor.”

”Bagaimana kalau sekarang?”

”Oke, tapi kemana mereka tadi?”

”Menangkap Asap!”

***

Seoul, Choe Song Hamnida!

Berawal dari pertemuan di kafe itu, Mr Chow kemudian mengajak Juminah ke apartemennya. Juminah tidak ingat lagi apa yang dilakukan Mr Chow pada dirinya, karena ia sedang mabuk berat saat itu. Begitu pagi tiba, saat Juminah tersadar, ia sudah tidak mendapati laki-laki itu di apartemennya. Juminah hanya menemukan sebuah alamat yang tidak begitu jelas, tapi bukan di Macau, Hongkong. Melainkan Seoul, Korea Selatan.

Seminggu semenjak kejadian itu, Juminah uring-uringan pada Tante Tammy. Ia terus mendesak perempuan pemilik penerbitan majalah khusus laki-laki itu untuk meminjamkan uang.

”Tante pokoknya, tante harus kasih aku duit!”

”Sabar Prety, ini belum awal bulan, tunggulah setelah edisi sepuluh terbit, berapa kamu minta tante akan kasih.” Bujuk Tante Tammy pada Juminah alias Prety Qute.

”Aku mau sekarang, Tante!” teriak Juminah.

”Oke, oke.. Tapi kamu sendirian ke Seoul, tante tidak bisa menemanimu sebelum edisi sepuluh majalah kita terbit.”

It’s Oke! No problem, aku akan berangkat sendiri,” teriak Juminah dengan pede.

”Berapa maumu?”

”Tiga puluh juta!”

”Dua puluh!”

”Tiga puluh!”

Oke, tapi setelah pulang dari sana kau harus selesaikan sesi pemotretan di Bali!”

”Baik, siapa takyuuutt,” Juminah tersenyum manja.

***

Sorenya Juminah langsung memesan tiket pesawat ke Seoul. Semua barang-barang miliknya di apartemen pribadinya sudah dikemasi. Tak ada satupun yang tertinggal, termasuk kamera digitalnya. Layaknya seorang model, Juminah selain menjadi obyek bidikan para fotografer juga mempunyai hobi fotografi juga. Setiap pemotretan di berbagai daerah, ia juga mendokumentasikan kegiatan-kegiatan itu untuk koleksi pribadinya.

Juminah tidak perlu pusing untuk mengurus paspor dan visa yang dibutuhkan. Asisten Tante Tammy sudah mengurusnya. Hanya saja untuk ke Seoul, baru kali ini. Juminah pergi ke bandara diantar sopir Tante Tammy, Pak Man. Sopir pribadi Tante Tammy itu hanya mengantar sampai tempat parkir bandara Soekarno/Hatta.

***

Juminah kini sudah berada di Kota Seoul. Namun Juminah tidak mendapatkan apa yang ia cari. Alih-alih menemukan alamat Mr Chow, seperti yang tertera di secarik kertas itu. Bahkan kini Juminah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali baju yang melekat di tubuhnya. Semua barang bawaannya raib, dibawa lari sopir taksi gadungan yang tidak jelas itu.

Sopir taksi itu kabur saat Juminah minta berhenti sebentar di pengisian bahan bakar, untuk pergi ke toilet. Juminah kebelet pipis. Semenjak dari Bandara Soekarno/Hatta ia sebenarnya sudah ingin pergi ke kamar kecil, tapi ia tahan. Maka ketika taksi yang mengantarkannya berhenti mengisi bahan bakar, Juminah segera berlari mencari toilet. Malang bagi Juminah, saat kembali dari toilet, ia tidak mendapati taksi yang ditumpanginya tadi.

Where is my taxy?” Tanya Juminah pada petugas di pengisian bahan bakar itu.

Odiro ka shiminikka?” Kata petugas itu.

I don’t understand Korean, do you speak English?”

Petugas itu hanya menggelengkan kepala. Juminah tampak kesal dan meninggalkan petugas pengisian bahan bakar itu. Sebenarnya petugas itu orang Indonesia, Dalimin namanya, orang Wonosari, Gunung Kidul. Seandainya tadi Juminah menggunakan bahasa Indonesia atau menggunakan bahasa Jawa tentu Dalimin, petugas pengisian bahan bakar itu akan mengerti apa yang dikatakan Juminah.

Mungkin karena wajah Juminah yang sudah dipermak kebarat-baratan dengan memakai contact lens biru, hidung yang dipaksa mancung juga rambut yang disemir pirang, Dalimin menganggap perempuan yang mengajak bicara itu adalah orang Turki atau Eropa lainnya. Dalimin membiarkan saja perempuan itu pergi.

***

Hari-hari Juminah di Kota Seoul sangat menyedihkan. Ia harus mengemis untuk sekedar mengisi perutnya di rumah-rumah makan yang ada kota itu. Padahal Kota Seoul adalah kota impian. Hampir semua orang bermimpi untuk datang ke kota ini.

Konon siapapun yang datang ke Seoul akan menemukan cintanya di kota ini, tetapi tidak dengan Juminah. Ia ingin segera kembali ke Indonesia, tempat di mana ia dilahirkan, dibesarkan dan dikenal semua orang karena begitu populer di kalangan masyarakat, khususnya laki-laki dewasa. Tapi di sini, Juminah hanya seorang pengemis. Tak seorang pun mengenalinya kalau ia seorang model, peduli pun tidak!

Seperti hari-hari kemarin Juminah masih menyusuri jalanan Kota Seoul. Tanpa seorang pun peduli padanya. Ia nyaris gila. Sampai akhirnya Juminah berhenti di sebuah taman kota. Kemudian ia duduk di bangku kosong yang tersedia di situ. Beberapa orang juga berada di tempat itu. Bersama keluarga atau teman-teman mereka. Melihat orang-orang itu, Juminah menjadi teringat dengan keluarganya. Tak terasa air matanya deras mengalir di pipinya.

”Umiii…maafkan aku!…hu hu hu huk,” tanpa sadar Juminah berteriak histeris dan kemudian menangis. Beberapa pengunjung taman kota itu hanya menggelengkan kepala. Mereka tak tahu apa yang diucapkan Juminah. Mereka berpikir Juminah orang gila. Namun, selang beberapa menit kemudian datanglah seorang laki-laki tinggi tegap, dengan rambut sebahu. Boleh dibilang macho kalau cewek-cewek Indonesia menyebutnya.

”Kamu orang Indhonesa?” sapa laki-laki itu.

”Ya, kenapa?” Kata Juminah sedikit kaget ketika menatap wajah laki-laki itu.

”Ka…kamu…yang di pengisian bensin itu?” Laki-laki itu juga begitu kaget.

”Iya, kamu bisa bahasa Indonesia?” Juminah tampak lugu.

“Oh…aku memang orang Indhonesa, Mbak. Wong Wonosari, Gunung Kidul, Jogjakarta. Kenalkan namaku Dalimin. Mbak’e siapa namanya?” rupanya laki-laki itu adalah Dalimin petugas pengisian bahan bakar tempo hari.

Oalahhh….orang Indonesia juga toh? Orang banyak memanggilku Prety, tapi nama asliku Juminah mas. Mas Dalimin orang Jogja, toh? Dua bulan yang lalu saya juga dari Jogja, mas.” Juminah terlihat ceria, bukan karena sedang mendapatkan bonus dari Tante Tammy, tapi karena bertemu dengan sesama orang Indonesia di kota itu. Apalagi orangnya kelihatan baik, lugu pula.

“Wah…jadi kangen kampung aku Mbak, dengar Mbak bilang Jogja. Liburan ya, di sana?”

“Aku seminggu di sana karena ada pemotretan, sekalian menjenguk keluarga. Ibuku orang Jogja juga lho, Mas. Orang Wates, Kulon Progo, sampeyan ngerti, to? Jadi sedikit-sedikit aku juga bisa bahasa Jawa.”

Yo ngerti to Mbak, lha aku iki mbiyen sering dolan nek Pengasih, kulakan tempe geblek, sejenis makanan tradisional ngono lho, Mbak?”

“Oh, yo…yo,” sambil manggut-manggut kepalanya seolah-olah Juminah tahu.

Ngomong-ngomong, rene ki mau motret-motret juga, sambil piknik gitu?” tanya Dalimin lugu. Dalimin tidak tahu kalau Juminah ini begitu populer di Indonesia. Dia tidak mengerti maksud kata Juminah tentang pemotretan tadi, ia hanya tahu orang yang suka motret-motret keliling seperti di kampungnnya dulu.

“Ceritanya panjang mas. Kalau aku ceritakan mungkin tidak sekedar menjadi menjadi cerpen, mungkin bisa jadi novel.”

“Maaf lho, Mbak. Tak kiro ki sampeyan dari Eropa. Lha ngomongnya, andher setan…ander setan aku ora mudheng no,” Dalimin tersenyum lucu, tapi tetap ganteng dan macho tentunya. Nicholas Saputra bangetlah. Saat lagi main di AADC.

Ora-opo, Mas. Lha Mas Dalimin aku kira juga orang Korea lho, habis ngomongnya, simika-simiki opo kuwi? Aku ora ngerti.”

“Ha…ha…ha,” mereka berdua tertawa bersamaan.

Mereka berdua kemudian bercakap-cakap di kursi taman itu. Tidak ada sesuatu yang aneh bertemu dengan sesama orang Indonesia, di Seoul. Banyak sekali orang Indonesia di kota ini, dengan berbagai aktivitas masing-masing. Meskipun begitu,  bertemu dengan sesama orang Indonesia di saat sedang naas seperti ini, bagi Juminah adalah sangat menggembirakan.

”Wah, Mbak ini udah siang…bagaimana kalau ceritanya dilanjutkan di apartemenku, di sana nanti Mbak juga bisa bertemu dengan orang-orang Indonesia.”

Oke, nanti aku diajari bahasa Korea, ya!” kata Juminah manja.

Iyo, tapi sampeyan yo ngajari aku bahasa Inggris?”

“Itu lebih mudah daripada menangkap asap, Mas.”

Mereka berdua kemudian meninggalkan taman kota itu. Sementara salju mulai turun dengan lembut. Selembut tangan Dalimin menggandeng tangan Juminah.

***

Cilegon, 2015

Tuliskan komentar