Menu

Senjani | Cerpen Naila Aulia

Senjani menikmati angin yang menerbangkan rambutnya itu. Ia sengaja berangkat pukul 06.00 pagi hanya karena ingin mencoba sensasi membaca koleksi novel terbarunya di rooftop SMA Garuda. Tempat ini adalah tempat ternyaman di SMA Garuda, menurut Senjani. Senjani sesekali bersenandung saking asyiknya.  

“Lagi-lagi kamu menggangguku,” gerutu seseorang yang tiba-tiba saja sudah duduk di bangku panjang di seberang Senjani. 

“Langit?” panggil Senjani.

“Tahu namaku dari mana?” 

“Eum, kamu terkenal di sini,” jawab Senjani sekenanya. Semoga Langit tidak tersinggung.

“Aku terkenal karena apa?” tanya Langit dengan suara yang masih serak khas orang bangun tidur. Langit tanpa sadar berjalan mendekat ke arah Senjani dan duduk di sandingnya. Dicomotnya biskuit hello panda milik Senjani sebelum akhirnya ia duduk di sandingnya. Tiba-tiba terdengar suara, ‘krukk,’ dari perut Langit. 

“Hihi, kamu lucu. Kalo lapar bilang. Masih aja jaim,” ucap Senjani bergetar karena menahan tawa. 

“Aku masak nasi goreng cantik. Kita paroan ya,” lanjut Senjani sembari menuangkan separuh nasi goreng ke tutup kotak makan, “Nih.”

“Sok tahu,” cuek Langit. Ia mengumpat di dalam hati karena perutnya tidak bisa diajak berkompromi.

“Yaudah sih kalau nggak mau,” balas Senjani. Ia mulai mengaduk nasi gorengnya supaya bawang goreng dan aneka sayuran lainnya tercampur rata, baru kemudian menyendokkannya ke dalam mulut. “Eum, enak.”

Langit terpaku menatap Senjani yang terlihat lahap menikmati santapannya itu. Aroma nasi goreng buatan Senjani menyelinap ke indra penciuman Langit dan menggodanya. Belum lagi ekspresi Senjani yang terlihat sangat menikmati santapannya. Ah sudahlah yang penting perutnya terisi. Langit secepat kilat mengambil kotak berisi separuh nasi goreng milik Senjani dan mencicipinya sedikit. Langit mengunyahnya sebentar, lalu berhenti, rasa nasi goreng itu sangat familier. Seperti buatan mamanya dulu. 

“Siapa yang memasaknya?” tanya Langit datar.

“Eh dimakan juga. Oh itu, aku dong. Emang siapa lagi yang mau masak buat aku?” 

“Mama, mungkin,” balas Langit.

Senjani tertawa miris. “Aku nggak ada mama.” Senjani memaksakan senyumnya. Selera makannya tiba-tiba hilang karena Langit menyebutnya. Senjani sedang merindukan sosok itu.

“Maaf. Gue pikir mama lo yang bikin. Rasanya seperti buatan mama gue dulu,” ucap Langit pelan. Entah mengapa hatinya ikut merasa sesak melihat tatapan pilu Senjani. 

Senjani menoleh pada Langit dan tersenyum. “Woah! Aku hebat ya bisa menyamai mamamu. Pasti mamamu secantik aku,” ujar Senjani mencoba kembali ceria.

“Dasar nona sok tahu,” timpal Langit. Senjani tertawa mendengar julukan aneh itu. Selanjutnya mereka makan dengan tenang. Hanya suara sendok yang beradu dengan kotak makan. Sesekali Senjani menyelipkan anak rambutnya yang beterbangan diterpa angin. Hal itu tak luput dari tatapan Langit. Sekali lagi ia merasakan kedamaian melihat sosok Senjani. Tiba-tiba setetes darah merah mengaliri hidung perempuan itu sebelum akhirnya ia ambruk tak sadarkan diri.

***

Senjani mengedarkan pandangannya ke ruangan serba putih itu. Tangannya memegang tenggorokannya yang terasa kering. “Haus.”

Secepat kilat seorang laki-laki menyodorkan air mineral pada Senjani. “Langit? Kok masih di sini?”

“Lo sih pake acara pingsan segala,” ucap Langit dengan nada datar khas. “Maafin gue.”

“Kamu udah minta maaf ke aku tiga kali terhitung sejak kemarin,” keluh Senjani. Langit yang tadinya sibuk mengembalikan gelas bekas Senjani pun terdiam. Ia baru sadar jika ia bisa selembek ini jika bersama Senjani. 

“Suka-suka gue,” jawab Langit pada akhirnya. Ia kemudian menyodorkan obat dari petugas UKS. “Minum, abis tu tidur. Nanti pulang gue anter.”

“Eh?”

“Gue nggak nerima penolakan.” Tanpa aba-aba, Langit menyelimuti Senjani hingga leher. “Selimut ini nggak boleh bergeser sedikit pun sampai gue balik,” ancamnya. Ketika membuka pintu, Langit begitu terkejut ternyata banyak siswa yang mengintip mereka dari sela-sela jendela dan pintu. ‘Ada-ada saja,’ batin Langit.

“Jangan ada satu pun dari kalian yang masuk ke dalem kalo emang nggak mau berurusan sama gue.” 

***

“Berhenti sini aja,” ucap Senjani sembari menepuk pundah Langit. 

“Mana rumahnya?” Senjani menunjuk bangunan bertuliskan ‘Panti Asuhan Pelita Kasih.’ 

“Lo anak panti?”

“Hem. Nyeselkan boncengin anak yatim piatu kek aku? Ini terakhir loh kamu boncengin aku, kasihan pamor kamu nanti turun.” Langit mendesis tajam. Ia tak suka dengan cara pandang Senjani terhadap dirinya. Secepat kilat ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan Senjani. 

***

Tuliskan komentar