1989
Tak pernah sekalipun aku memercayai cinta. Iya. Maksudku, cinta itu hanya omong-kosong. Baiklah. Ini terlampau terang sekali bagaimana terlukanya hati yang bagiku tak akan bisa sembuh. Asal tahu saja, aku sudah punya pemikiran seperti itu sejak usia belasan.
Kini usiaku tiga puluh tiga tahun. Hijrah ke desa kecil bernama Pienso untuk mengajar di sebuah kampus setempat. Tidak ada yang berubah. Pikiran-pikiran yang telah kusebutkan tadi, lama mengendap di lubuk hati terdalam. Kadang-kadang, aku heran sendiri. Abuelo (kakek) bolak-balik mempersoalkan statusku yang masih bujangan.
Aku menjelaskan padanya dengan sabar, bahkan dengan senyum senantiasa terpatri di wajah. “Tariq baru saja diangkat jadi dosen dua tahun lalu. Itu masih bisa dibilang muda, Abu.”
“Omonganmu selalu begitu. Cepatlah kamu cari pasangan, Abu sudah renta. Ingin sekali menimang cicit.”
“Anaknya Aida sama aja, Abu,” sangkalku dengan nada bercanda.
“Siapa nanti yang akan merawatmu saat tua?”
“Ada Sierra,”
“Keponakanmu, Sierra, akan merawat Aida sendiri. Bakal kerepotan Sierra, harus merawat pamannya juga,” ucap Abuelo bersikeras. Kalau sudah begitu aku terpaksa harus mengalah demi entah.
“Iya, nanti Tariq cari wanita yang manis di desa Pienso, Abuelo.”
“Waktu kamu kuliah S-2 kemarin, juga berkata seperti itu. Sekarang mana buktinya?!”
“Sabarlah, Abu. Tenang.”
“Makanya jangan menjadi lelaki kaku. Lemah lembut sedikit sama wanita.” kata Abuelo seperti biasa, memberi ceramah setiap kali pulang kampung.
Hanyalah Abuelo seorang yang menjadi sesepuh di keluarga kami. Tentu di usia senjanya, Abuelo masih aktif berjualan susu kedelai. Katanya berdiam diri di rumah, justru bikin stres.
‘Solano bersaudara’ itulah merek susu kedelai yang kami jual dari pasar ke pasar. Lewat usaha susu kedelai akhirnya bisa menyekolahkanku sampai ke jenjang pascasarjana.
Bermula dari sini, aku bisa tahu arti cinta sejati sungguhan. Maka dengan ini kunyatakan, Abuelo adalah cinta Agape sekaligus cinta Philia-ku. Jikalau cinta tersebut disalurkan melalui Cinta Eros atau Cinta Amor itu semacam kedangkalan semata. Seperti yang kukatakan sebelum dan sebelumnya lagi.
Ketika langit di desa Pienso penuh kembang api, seorang sahabat melamar kekasihnya di tepi laut. Aku menjadi sedemikian kesepian. Apalagi, waktu buat sekadar nongkrong menjadi tersita karena persiapan pernikahannya. Begitu seterusnya sampai rekan kerja lainnya telah menikah semua. Itu artinya hanya aku yang masih membujang.
Bahkan, menjalani kencan buta dengan seorang mahasiswi pun telah kulakukan. Tak jua membuatku mendapat ‘reaksi kimia’ yang seharusnya ada di antara pria dan wanita. Sampai pernah aku berpikir yang bukan-bukan. Semacam jangan-jangan aku gay? Begitu spekulasi awal mengenai diriku yang rapuh ini. Seorang rekan kerja membesarkan hatiku.
“Barangkali jodohmu masih memperbaiki dirinya untuk bertemu denganmu.”
Betapa ucapan itu sangat ampuh menghiburku. Mereka (baik itu kawan lama, kawan baru dan teman kerja-red) belum tahu saja, kalau aku kehilangan harapan dengan yang namanya cinta. Tidak usah lihat latar belakang pendidikanku. Apalagi mengulik masa laluku yang seorang yatim piatu. Tetapi, lihatlah seorang Tariq Solano yang sesungguhnya. Telah mengenyam pendidikan dengan susah payah.
***
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]