Aku tidak mengira kalau hal itu yang membuat nenek begitu kaget, ketika aku mengunjungi rumahnya beberapa minggu yang lalu. Sebenarnya jarak rumahku dengan nenek tidaklah begitu jauh. Namun, karena ada beberapa alasan membuatku begitu lama tidak mengunjungi rumah nenek, tempat dimana aku dilahirkan. Penyebab utamanya adalah garis yang telah menuntun dan membawaku menjadi perantauan lah. Sehingga setelah sekitar empat tahun tidak datang ke rumah itu berhasil membuatku merasa asing di tempat kelahiranku sendiri.
Jujur, aku harus mengakuinya saat aku mendatangi rumah beliau banyak perubahan yang kurasakan. Halaman rumah nenek tidak lagi rindang seperti dahulu. Pohon jambu yang dulu pernah kurindukan buahnya sudah tidak nampak lagi. Cat pintu dan tembok rumah nenek sudah luntur, tidak mencolok seperti dahulu lagi. Taman kecil yang dahulu penuh dengan bunga kini berubah menjadi sarang rumput. Aku menduga tenaga nenek sudah tidak cukup untuk merawat taman tersebut. Terlebih semenjak kakek meninggal dua tahun yang lalu. Praktis yang mengurus rumah tersebut adalah nenekku yang semakin menua.
“Maaf, siapa ya?” tanya nenek saat aku memperhatikan bekas taman yang kini telah berubah menjadi sarang rumput.
“Ini Burhan, Nek,” jawabku.
“Burhan siapa?” tanya nenek lagi.
“Burhan, cucu nenek,” jawabku sembari melempar senyum ke arah nenek.
Sesudah itu nenek tidak berkata lagi. Tubuhnya yang telah renta dipaksanya bergerak lebih cepat mendekatiku. Sadar akan keinginan nenek untuk memeluk cucunya, aku pun bergerak lebih cepat mendekati nenek. Setelah kami berdekatan, nenek langsung mengalungkan lengannya padaku. Tangannya yang keriput membelai rambutku dengan lembut. Belaian yang diberikan nenek sore itu berhasil menggugah kenangan puluhan tahun silam. Kenangan sewaktu aku masih bocah.
“Kamu benar Burhan cucu nenek?” tanyanya memastikan.
Aku hanya mengangguk dan merendahkan tubuhku.
“Oh, Burhan… Burhan…. Kamu sudah banyak berubah rupanya. Nenek hampir saja tidak mengenalimu lagi. Ayo masuk, biar nenek membuatkan jahe hangat kesukaanmu!” perintahnya.
Aku digandengnya masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan itu. Sembari berjalan di sisi nenek. Aku berbisik.
“Tidak usah, Nek. Barusan aku minum jahe hangat buatan ibu. Nenek duduk di sini saja. Aku rindu dengan nenek,” bisikku pelan.
Nenek menyetujuinya. Kemudian kami berdua duduk di kursi rotan yang di beberapa sisinya jebol karena dimakan usia. Tak lupa nenek menyalakan lampu karena waktu itu memang menjelang magrib. Setelah duduk nenek memandangi wajahku dalam-dalam. Beliau seolah ingin memastikan bahwa aku ini memang cucunya. Tatapan nenek menciptakan keheningan di antara kita berdua. Aku pun berusaha memecah suara.
“Ada apa, Nek? Kok melihatku dengan tatapan begitu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa. Nenek hanya heran dengan banyaknya perubahan penampilan pada cucu nenek.”
“Perubahan penampilan yang seperti apa?”
“Kamu terlalu cepat dewasa, Burhan.”
“Maksud nenek?”
“Sebelum kamu tahu maksud nenek. Coba kamu lihat potret yang nenek taruh di sebelah tempat dudukmu!”
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]
Aku segera mengambil potret tersebut. Potret itu kutatap dalam-dalam. Aku tahu benar siapa yang ada dipotret itu. Dia adalah Wawan, keponakanku. Tetapi ada hal aneh yang menelusup dalam dadaku saat menatap potret tersebut. Keponakanku yang usianya 10 tahun lebih tua dariku itu memiliki penampilan yang bertolak belakang dariku. Ia terlihat nampak 5 tahun lebih muda dariku. Ada apakah ini? Dan beberapa detik kemudian perasaan iri itupun muncul.
Padahal sebenarnya tidak ada yang bisa diirikan dari kepunyaan Wawan. Secara materi kekayaan yang kumiliki setidaknya tiga kali lipat kekayaan Wawan. Soal istri, pendamping hidupku jauh lebih rupawan jika dibandingkan pendamping hidup Wawan. Tetapi, entah kenapa perasaan iri kepada keponakanku itu bisa muncul. Terlebih saat melihat tanggal yang turut tercetak dalam potret itu membuat perasaan iriku kian menjadi. Aku iri pada wajah keponakanku yang bercahaya layaknya bulan. Persis dengan cahaya yang ada di wajah nenek.
“Yang di sini ini benarkan, Nek?” tanyaku setengah tidak percaya.
“Benar, Burhan. Makanya nenek tadi ragu saat pertama kali melihatmu,” jawab nenek.
Setelah nenek menjawab demikian, toa yang terpasang tidak jauh dari rumah nenek terdengar mengumandangkan adzan. Nenek segera bangkit dan bergegas menuju sumur yang ada di depan rumah. Rumah nenek masih mengikuti dekorasi jaman dahulu. Dekorasi khas masyarakat desa dimana kamar mandi tidak di bangun di belakang rumah. Melainkan di bangun di depan rumah.
Saat air tempayan yang di bolong bagian bawahnya mengucur pertanda nenek sedang berwudhu. Aku masih duduk dan mereka-reka hal apa yang membuatku tidak memiliki wajah bercahaya layaknya nenek dan juga Wawan. Begitu jauhnya aku menerawang untuk mencoba mencari jawaban atas hal tersebut membuatku tidak sadar saat tangan nenek yang masih basah memegang bahuku.
“Berwudhulah! Lalu sembahyang, biar cahaya itu kembali muncul!” perintah nenek.
Setelah mengikuti saran nenek dan selesai melaksanakan sembahyang maghrib. Aku dan nenek kembali duduk di tempat semula.
“Bagaimana, sudah mendingan kan?” tanya nenek dengan wajah yang kian bercahaya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Melihat cahaya yang ada di wajah nenek juga membuat rasa iriku semakin kuat. Aku tidak mengerti mengapa hanya karena masalah cahaya saja bisa membuatku merasa iri sedemikian hebatnya. Kuberanikan diri untuk menatap wajah nenek lebih dalam. Saat menatap wajah nenek dalam-dalam inilah ada keanehan yang kurasakan. Usia nenek ini jika menurut ibuku sudah hampir mencapai 90 tahun. Namun, wajahnya masih mirip dengan wanita yang berusia 65-an tahun. Perbedaan wajah dengan usia yang terbilang cukup jauh ini membuatku bertanya-tanya. Apakah cahaya itu penyebabnya? Aku masih takut menanyakan hal tersebut.
Suasana di ruang tamu itu hening. Nenek membuka buku kecil yang berisikan surat yasiin. Aku menduga bahwa nenek tengah mengirim do’a kepada kakek. Entah kenapa aku yang biasa pandai menghangatkan suasana sama sekali tidak mampu memecah keheningan. Setelah rampung membaca surat yasiin itu nenek kemudian menutup buku kecil itu. Buku kemudian diletakkan di depanku. Sesudah itu, nenek berdiri dan bergegas melangkahkan kaki menuju halaman.
Aku tidak bertanya dan hanya mengikutinya dari belakang. Sesampai di halaman rumah, nenek menengadah melemparkan pandangannya menuju angkasa. Sore itu aku tidak mengikutinya sampai di halaman. Aku hanya sampai di ambang pintu saja. Dari tempat berdiriku, aku bisa melihat bahwa nenek tengah melemparkan pandangannya pada bulan yang ada di atas sana. Aku tidak mengerti dengan apa yang dilakukan nenek.
“Apakah ini yang membuat wajah nenek selalu bercahaya? Baiklah nanti aku akan menanyakannya sendiri,” batinku.
Setelah melakukan gerakan mirip dengan senam kecil dan dirasa cukup, nenek kemudian masuk ke dalam rumah lagi. Kembali aku mengikutinya dari arah belakang. Ketika aku duduk, nenek bertanya kepadaku.
“Kenapa kamu tadi hanya melihatnya saja?”.
“Burhan tidak tahu bagaimana cara melakukannya, Nek.”
“Kamu kan bisa mengikuti nenek. Atau setidaknya bertanya pada nenek tentang bagaimana cara melakukannya. Tidak hanya diam seperti tadi.”
Aku hanya terdiam saja. Kata-kata dari nenek ini berhasil membuatku seperti anak kecil. Meski di negara seberang sana aku merupakan salah satu kontraktor berpengaruh. Namun, di rumah ini semua hal yang kubanggakan itu hilang seluruhnya.
“Nek, kenapa sih masih melakukan hal seperti itu. Era modern seperti ini kok ya masih percaya sama hal-hal seperti itu. Kalau Burhan tidak salah itu namanya salam wulan wiwitan atau salam awal bulan, iya kan, Nek?”
Nenek mengangguk. Dan setelah mengambil napas yang agak panjang. Nenek kemudian berujar.
“Burhan, kamu ini ternyata masih seperti anak-anak. Jadi, pantaslah kalau kamu berbeda dengan Wawan. Secara fisik kamu memang sudah dewasa. Bahkan jauh lebih dewasa dibanding keponakanmu itu. Tetapi dalam hal kearifan kamu tertinggal begitu jauh. Kamu hanya bisa memandang kulit luarnya saja. Pandanganmu tidak mampu menembus kulit tersebut dan tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Maksud nenek?”
“Kamu mungkin menganggap nenek ini kuno dan mungkin kamu juga menganggap nenek musyrik karena kamu menganggap nenek menghormat kepada bulan.”
Aku bergidik. Bagaimana nenek bisa tahu hal itu.
“Ketahuilah, apa yang nenek lakukan tadi itu adalah olah pernapasan sebagaimana yang diajarkan oleh leluhur nenek. Dan kalau kamu mau mengakui mungkin leluhurmu juga. Dengan melakukan senam pernapasan tersebut membuat tubuh merasa lebih bugar.”
“Tetapi kan tidak harus menatap bulan, Nek. Kalau menatap bulan itu sama halnya nenek hormat kepada bulan. Dan itu dilarang oleh agama.”
Nenek tersenyum.
“Apa yang nenek bilang, kamu itu memang benar-benar masih bocah. Kamu hanya sebatas memandang kulit luarnya saja tanpa mampu melihat isinya. Tetapi sudah berani mengambil keputusan untuk menilai orang lain. Nenek menatap bulan, karena nenek sampai detik ini masih berusaha bisa berlaku layaknya bulan.”
“Berlaku layaknya bulan bagaimana, Nek? Burhan semakin tidak mengerti.”
“Kamu tahu bulan itu hanya menerima dan kemudian memantulkan cahaya matahari. Meski yang diberikannya hanya sebatas pantulan tetapi cahayanya begitu menenangkan. Tidak peduli banyak atau sedikit cahaya yang diterima bulan dari matahari. Dia tetap memantulkan seluruh cahayanya kepada penduduk bumi tanpa pernah pilih kasih. Sinar matahari yang awalnya terasa panas dan seringkali mengusik kita para manusia, dapat diubahnya menjadi cahaya yang tenang dan menyenangkan. Banyak atau sedikitnya cahaya matahari yang dia terima, tidak sekalipun membuat bulan mengeluh. Nenek ingin seperti bulan. Nenek ingin menjadi manusia yang mampu mengubah hal-hal buruk menjadi hal yang menyenangkan. Mau menerima segala sesuatu tanpa mengeluh. Dan mampu berperilaku menyenangkan bagi semua umat manusia. Tanpa pernah meninggalkan luka di hati siapapun.”
Usai berkata demikian mendadak wajah nenek menampilkan cahaya begitu menyilaukan. Begitu silaunya. Hingga berhasil memaksaku menggerakkan kedua telapak tanganku untuk melindungi kedua mataku dari cahaya yang keluar dari wajah nenek.
“Arghhhh…, Nek!” teriakku sembari terengah-engah.
“Bang, bangun, Bang! Ini masih tengah malam. Abang mimpi yang sama dengan kemarin?” tanya Badri, teman satu selku.
“Iya,” jawabku singkat sambil terus mencoba menata napasku kembali.
Malam itu pandanganku tertuju pada selembar koran yang kujadikan alas tidur. Di koran itu tertulis dengan jelas namaku tersangkut kasus korupsi yang merugikan negara sekian puluh milyar. Dan sebagai balasan atas tindakanku itu, aku harus mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang terhitung lama.
“Nek, maaf. Maafkan Burhan. Burhan mengaku salah. Apa masih ada kesempatan bagi Burhan untuk memiliki wajah bercahaya seperti wajah nenek?” tanyaku sembari menutup mata.