Menu

Senjani | Cerpen Naila Aulia

 

Flashback Of 35 tahun kemudian.

Langit mengalungkan kembali stetoskop ke lehernya usai men-check-up keadaan Senjani. Ia kemudian menyuntikkan vitamin ke dalam selang infus perempuan itu. “Dokter pelan-pelan loh nyuntiknya. Bundaku kesakitan tuh,” keluh Tsana sembari melotot tajam ke arah Langit. Langit terkekeh pelan, pasalnya ia sudah sangat ekstra berhati-hati kali ini. Ia bahkan menggunakan jarum suntik bayi karena takut menyakiti Senjani. 

“Tsana nggak sopan ih sama dokter Langit,” omel Senjani sembari mencoba tersenyum di tengah rasa sakitnya itu. 

“Iya, tuh dengerin bunda kamu. Asal kamu tahu ya, Tsana, bunda kamu itu sewaktu muda kuatnya minta ampun,” imbuh Langit.

“Loh dokter mantan temen kelasnya Bunda?”tanya Tsana antusias. Langit mengangguk mantap lalu berbisik ke Tsanna, “Lebih tepatnya mantan pacar bunda kamu.”

“Langit!” tegur Senjani galak. Rona merah seketika menjalari pipi tirusnya. 

“Ceritain dong soal masa muda Bunda, Dok,” rengek Tsana jahil. Senang sekali rasanya bisa menggoda bundanya itu. 

Langit tertawa terbahak melihat Senjani yang berpura-pura cemberut dengan wajah memerah. “Kalau mau ketawa ya ketawa aja, Senja.” Senjani semakin kesal, ia melempari Langit dengan buah anggur miliknya. Tsana ikut tertawa melihat pertengkaran sepasang manusia itu.. Tsana terpana melihat tatapan Senjani saat ini, tatapan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, tatapan cinta. Tsana mengikuti nalurinya untuk membiarkan Langit dan Senjani. 

***

Hari ini adalah hari terakhir Senjani menginap di rumah sakit. Tsana memasukkan beberapa pakaian Senjani ke dalam tas untuk dibawa pulang malam nanti. Tangannya sibuk merapikan baju, sedangkan mulutnya sibuk menceritakan kisah Langit kepada Senjani. Tsana mengaku sangat mengagumi sosok Langit, “Selain cerdas, dokter Langit itu awet muda, Bund. Gila pasti dulu pas muda ganteng banget, pantes jadi mantan bunda.” 

Senjani geleng-geleng sendiri mendengar celotehan anak asuhnya itu. Senjani cukup kaget saat mengetahui bahwa Langit masih sendiri bahkan sampai setua ini. Apakah mungkin Langit masih menunggunya? Hah, entahlah. Walaupun selama empat hari dirawat, Langit tidak pernah absen untuk menjenguknya baik sebagai dokter maupun teman, mereka tidak pernah menyinggung soal kerumitan hubungan mereka dulu. 

“Selamat pagi, Senja, Tsana!” sapa Langit dari ambang pintu. Ia berjalan penuh wibawa ke arah Senjani. “Bunga cantik untuk perempuan galak,” goda Langit. 

“Jahat banget,” tawa Senjani. Tangannya meraih bunga mawar kuning yang Langit bawakan lalu menghirupnya. “Makasih, Ngit.”

“Aw! Aku masih di bawah umur!” pekik Tsana geli. Ia memeluk Senjani penuh kasih lalu mengecup pipinya. Kemudian ia menyalami Langit dengan penuh hormat, “Makasih, Dok. Dokter udah bikin Bundaku lebih bahagia. Aku harap bisa manggil dokter dengan sebutan ayah secepatnya.” Tsana kemudian berlari keluar usai menggoda kedua manusia dewasa itu. 

“Ya ampun, anak itu suka banget emang godain bundanya,” omel Senjani kesal diikuti tawa renyah Langit.

Langit menyerahkan enam buah buku untuk Senjani. “Nama pena, Langit Senja. Itu kamu kan? Buku-buku ini karya kamu kan?” Senjani mengangguk pelan sebagai jawaban. 

“Aku dah baca semua. Susah banget buat dapetin buku-buku kamu. Aku juga nggak nyangka kalo ini kamu. Juga, aku salah nggak sih kalo berpikiran bahwa objek yang kamu pakai adalah aku?” Langit menggaruk kepalanya salah tingkah karena Senjani hanya diam saja sembari menatap buku-buku yang Langit bawa. 

“Selalu kamu. Semua tentang kamu, Langit Eddenlion Arjuna,” jawab Senjani memecah keheningan. 

“Sekian tahun dengan objek yang masih sama? Tidak adakah yang lebih baik dari aku?” Langit menahan napas dengan khawatir.

“Pernah ku temukan yang lebih baik dari kamu. Tapi aku hapus karena itu bukan kamu.” Langit menghembuskan napas lega. Rupanya puluhan tahun yang membentang, sama sekali tidak mengubah perasaan Langit maupun Senja. 

“Aku memutuskan menunggumu sejak malam ketika kamu pergi hingga detik ini, Senjani. Berkali-kali aku merasa penantian ini akan sia-sia saja karena sedikit pun aku tidak bisa melacak keberadaanmu.”

Senjani menangkup wajahnya dengan kedua tangan, ia menangis haru. “Langit, maaf.” 

Langit menggeleng tegas mendengar ucapan Senjani. Ia menepuk pundak Senjani yang bergetar. “Hey, kamu nggak salah. Aku yang memilih ini semua. Aku yang emang udah stuck sama kamu bahkan setelah kamu ninggalin aku. Salahkan perempuan-perempuan itu yang nggak bisa mengungguli kelebihan kamu satu pun.”

Senjani semakin tergugu mendengarnya. “Kembalilah kepadaku, Senjani.”

Senjani membeku setelahnya. Ia menatap Langit lekat-lekat lalu menggeleng. “Aku nggak bisa, Ngit.”

“Kenapa? Aku udah jadi dokter seperti yang kamu mau. Kamu pun juga udah jadi penulis seperti yang kamu mau. Perasaan kita pun masih sama, dan-”

“Aku sakit!” potong Senjani setengah berteriak. “Maaf, aku nggak bermaksud ngebentak kamu. Tapi, maksudku aku bakal nyusahin kamu suatu saat nanti. Aku nggak bisa lihat kamu susah, Ngit.” 

“Jadi itu yang kamu pikirkan waktu mutusin buat meninggalkan aku dulu?” tanya Langit lembut kemudian di-iya-kan oleh Senjani. 

“Senjani, dengar aku. Cinta itu bukan cuma soal seneng aja. Sakit, tangis, berantem, semua itu juga bagian dari cinta. Nggak ada kisah cinta yang bisa terhindar dari masalah. Karena cinta itu bukan soal menyatukan kesempurnaan, tapi menyatukan dua insan yang penuh kurang guna menciptakan kesempurnaan itu sendiri.”

“Jika kesempurnaan membuatmu bahagia, maka beri aku waktu untuk belajar menerima itu. Karena aku sudah terlanjur mencintai segala kekuranganmu.” Langit memandang tulus tepat ke dalam kedua bola mata Senjani. Tuhan, entah bagaimana cara meyakinkan malaikat di depannya kini. Ia benar-benar tulus. 

Senjani tersenyum bahagia. Ia mengusap air matanya, ‘Tuhan, inikah akhir kisah kami?’ tanya Senjani dalam hati. 

“Jadi?” tanya Langit memastikan. “Maukah kamu melangkah bersamaku ke surga-Nya?” 

Senjani mengangguk mantap. Seketika Langit merasa lega, seolah beban di pundaknya selama tiga puluh lima tahun ini luruh seketika hanya karena anggukan dari seorang Senjani Pradana Dewi.[]

 

Tuliskan komentar