Menu

Singgah di Negeri Euphemesia | Cerpen Sudadi

Singgah di Negeri Euphemesia | Cerpen Sudadi

 

Perjalanan naik kereta Logawa dari Gubeng siang itu sangat aku nikmati. Sepanjang jalan aku lihat pemandangan kota-kota di Jawa Timur yang memberi nuansa lapang. Pepohonan hijau masih nampak di kanan kiri menyejukkan dan mendamaikan hati. Sawah dan kebun-kebun menghijau menyegarkan pandangan mata. Setelah melewati Jombang aku tak kuat menahan kantuk. Kelelahan mengikuti acara Kongres Kebudayaan Jawa di Hotel Mercure Surabaya yang lama kutahan mengantarku tidur siang.

Saat terbangun kulihat orang yang duduk di sebelahku bukan lagi lelaki yang bersamamu dari Stasiun Gubeng. Sekilas kuamati lelaki itu berkumis panjang dan berjangkut lebat. Sebagian dari kumis dan janggutnya nampak telah memutih. Uniknya, lelaki tua itu mengenakan tutup kepala khas Jawa yang biasa disebut ‘iket’. Destar itu menutupi sebagian rambutnya yang juga telah memutih.

“Sudah bangun Mas?”

Nggih Mbah,” jawabku spontan.

“Kulihat tidurmu tadi nyenyak sekali. Habis kecapaian ya?”

“Kok tahu kalau aku tidur nyenyak, Mbah? Tadi dari Gubeng aku nggak duduk sama Mbah?”

“Penumpang sebelahmu turun. Dan aku pindah ke sini. Kenalkan namaku Ki Utomo. Panggilan saja aku dengan sebutan Ki.”

“Oh ya. Betul Ki. Capai sekali. Persidangan di Kongres Budaya Jawa membutuhkan banyak energi.”

“Jadi Mas ini gemar budaya Jawa ya?”

“Gemar sekali Ki. Kebetulan aku jadi penulis sastra dan budaya Jawa.”

“Saya bangga pada anak-anak muda yang masih peduli pada budayanya sendiri, tidak larut pada hingar bingar budaya asing. Tapi mau nggak kamu saya kenalkan negeri lain yang budayanya khas sekali?”

“Mau sekali Ki. Tapi kapan?”

“Sekarang.”

“Ah? Sekarang? Kita sedang di dalam kereta api, Ki.”

“Tak masalah. Coba pejamkan mata dan pegangi tangan kananku ini. Sebentar lagi kamu akan menginjakkan kakimu di Negeri Euphemesia!”

“Namanya asing sekali.”

“Nggak juga. Sebenarnya kau telah mengenalnya. Ayo Nakmas! Pegangi tangan kananku!”

Aku ikuti saja perintah Ki Utomo. Kupegangi tangan kanan Ki Utomo erat-erat. Kulitnya yang kisut kurasakan di telapak tanganku. Mengikuti Ki Utomo selanjutnya, mataku segera aku pejamkan. Tak seberapa lama, aku sudah sampai di suatu negeri yang terang benderang. ‘Inikah yang disebut Negeri Euphemesia?’ tanyaku dalam hati.

Aku telusuri jalanan di Negeri Euphemesia. Kulihat jalan-jalan yang lebar, mulus, tak berlubang. Pepohonan hijau diselingi bunga-bunga indah yang mekar berwarna-warni. Tiang-tiang lampu jalanan terbuat dari besi yang dibentuk serupa hiasan istana bercat hijau tua. Orang-orang yang berdiri di kanan kiri jalan yang melihat kami selalu menganggukkan kepala setengah membungkuk seperti isyarat hormat ala Jepang tradisional. Senyum mereka tersungging di bibir. Sungguh satu keramahan yang luar biasa.

“Luar biasa. Seperti negeri impian Ki Utomo,” komentarku memecah kesunyian.

“Makanya kamu saya ajak ke negeri ini. Biar tahu.”

“Indah dan penuh keramahan.”

“Tapi kamu harus tahu aturan hidup di negeri ini. Kalau tidak tahu, kau bisa celaka.”

“Apa saja Ki?”

“Ini negeri penuh kesopanan. Segala sesuatunya harus diperhalus, tidak boleh berkata terus terang. Tak aneh kalau diberi sebutan Negeri Euphemesia.”

“Contohnya bagaimana Ki?”

“Kalau mau bilang ‘gelap’ harus diganti ‘tidak terang’, ‘macet’ – ‘kurang lancar’, ‘bodoh’—‘tidak pintar’, ‘susah’—‘pra senang’, dan seterusnya. Pokoknya harus menggunakan kata-kata yang sopan dan halus. Tak boleh dikatakan apa adanya.”

“Begitu ya Ki?”

“Ingat ya? Jangan sampai keliru. Kalau keliru ngomong bisa celaka kamu.”

“Kuingat-ingat pesanmu Ki.”

“Nanti kau bebas mengembara di tempat ini. Aku awasi dari jauh.”

“Baik Ki.”

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

Segera kutinggalkan Ki Utomo. Aku berjalan ke sebuah tempat. Dari jauh aku lihat banyak orang berkerumun. Mereka hilir mudik keluar masuk pasar. Nampak orang-orang itu juga membeli makanan dan minuman beraneka ragam di warung pinggir pasar. Seperti di negeriku, di beberapa pojok tempat itu ternyata banyak teronggok sampah kotor dan mulai bau. Di dekat pojok sebelah kanan kulihat beberapa orang membuang sampah seenaknya. Anehnya SATPAM yang berdiri di tempat itu membiarkan mereka. Tak ada teguran atau tilang.

“Tak kusangka banyak yang tidak sadar kebersihan. Tempat itu jadi kotor sekali ya Mas!” kataku pada SATPAM.

“Apa katamu?” kata Mas SATPAM.

“Eh…karena sampah berserakan, tempat ini jadi kotor.”

“Kamu orang mana?”

“Indonesia Mas.”

“Pantas tidak tahu aturan di sini. Kau sudah melakukan perbuatan tidak terpuji di Negeri Euphemesia.”

“Apa itu Mas?”

“Kau bilang kotor. Padahal yang betul kurang bersih.”

“Oh ya maaf. Tempat ini jadi kelihatan kurang bersih,” kataku meralat setelah memukulkan tanganku ke mulutku sendiri.

“Nah…itu baru bagus.”

Aku segera meninggalkan tempat itu. Kudekati kios-kios yang menjajakan makanan dan minuman tepat di depanku. Aku jadi ingat tadi belum sempat makan siang saat di Kereta Logawa. Tawaran nasi goreng dari petugas kereta api yang berdandan bak pramugari Garuda selalu kutolak. Sekarang aku baru merasakan lapar. Tapi tak perlu cemas. Aku yakin kios-kios makanan itu menyediakan makanan yang bisa mengatasi keluhan perutku.

“Mbak, boleh aku pesan sotonya,” kataku pada seorang perempuan cantik penjaga kios soto.

“Boleh. Silahkan duduk. Tunggu sebentar ya Mas.”

Aku mengangguk. Segera saja aku duduk di kursi di depan kios soto itu. Tak berapa lama kemudian, soto yang aku pesan sudah datang. Baunya yang sedap mengaduk-aduk seleraku. Kuamati sotonya masih panas, dan aku berceletuk, “Aduh, panas sekali!” Mendengar celetukanku itu, perempuan cantik penjaga kios soto segera mendekatiku.

“Mas tadi bilang apa?”

“Sotonya panas sekali Mbak.”

“Mas pasti bukan penduduk Negeri Euphemesia.”

“Kok tahu?”

“Di sini tidak ada orang mengeluh seperti itu Mas. Kalau soto terlalu panas, cukup bilang belum bisa disantap. Tidak boleh mengeluh terlalu panas.”

“Oh ya aku ingat. Maaf Mbak, sotonya belum bisa disantap sekarang.”

“Nah..itu lebih bagus Mas. Silahkan lanjutkan.”

“Terimakasih Mbak.”

Menunggu tak terlalu lama, soto pesananku sudah bisa dimakan. Segera kunikmati sajian soto daging yang empuk. Aramonya langsung membangkitkan seleraku. Ditambah sedikit sambal, kucuran air jeruk nipis, dan kecap, soto itu jadi hidangan istimewa. Lauknya aku ambil sate ayam dan rambak kulit sapi. Dilengkapi tempe goreng, lengkap sudah sajian soto daging sore itu. Tak sampai tujuh menit, soto lezat itu sudah berpindah ke perutku.

Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Kucari dompet di saku. Setelah kubuka, dompetku hanya ada sedikit uang tersisa. Aku segera berjalan menghampiri penjaja soto yang cantik tadi.

“Berapa Mbak semuanya?”

“Tujuh puluh ribu Mas.”

Celaka. Ternyata uangku yang tersisa di dompet tinggal lima puluh ribu. Sisanya kusimpan di tas yang tak kubawa mengembara ke Negeri Euphemesia. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku kembali ke kereta api dulu untuk ambil uang. Aku serahkan saja uang itu.

“Maaf Mbak, hanya ada lima puluh ribu rupiah tersisa di dompet.”

“Terus yang dua puluh ribu bagaimana?”

“Hutang Mbak.”

“Maaf Mas. Di negeri ini tidak ada istilah hutang. Yang ada ‘pinjaman’. Itu lebih halus dan lebih sopan tentunya.”

“Oh ya aku dipinjami uang dulu dua puluh ribu, nanti aku bayarkan ke Mbak.”

“Baik. Ini Mas,” katanya sambil menyerahkan uang duapuluh ribuan kepadaku.

Lazimnya di Negeri Euphemesia, uang pinjaman dua puluh ribu rupiah itu segera aku gunakan untuk membayar soto yang telah habis kumakan. Aku segera berlalu meninggalkan kios soto yang mengesankan itu. Aku penasaran dengan keadaan di pasar Negeri Euphemesia. Kutelusuri gang-gang di dalam pasar. Banyak orang berjejalan di pasar melakukan jual beli. Hilir mudik berlalu lalang. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Di suatu titik di dalam pasar aku lihat lelaki gondrong yang gerak-geriknya mencurigakan. Aku amati terus lelaki gondrong itu. Ketika banyak orang berdesakan, ia cepat beraksi. Ia gerayangi saku orang-orang. Dia embat dompet beserta isinya. Tak kusangka, di Negeri Euphemesia ini juga ada copet.

Aku terus berjalan menjelajahi pasar. Di beberapa tempat lain juga kulihat perempuan yang mau mengambil dagangan yang sedang dijual. Awalnya perempuan paruh baya itu mendekati sebuah kios pakaian. Rambutan keriting kusut tak tertata. Kulitnya kotor penuh bekas luka. Banyak orang yang datang ke kios itu. Ketika penjual sibuk melayani pembeli, perempuan itu menarik lembaran kain, dilipat-lipat sekenanya, dan dimasukkan ke tas besar yang dipegangi di tangannya. Ia berlari mengambil kain satu lembar tak diketahui pemiliknya.

Di sebelahnya lagi aku lehat lelaki berkulit hitam. Ia ambil setumpuk perhiasan yang dari sebuah etalase yang sedikit terbuka. Kali ini aku tak mampu menahan diam. Perhiasan emas itu pasti sangat berharga. Pemiliknya pasti sangat merugi kalau harus kehilangan perhiasan setumpuk itu. Lelaki itu nekat mengangkat tumpukan perhiasan, aku akan segera berteriak. Tapi, aku ingat ini Negeri Euphemsia. Apa kata ganti ‘maling’? Kupikir-pikir, tak kutemukan. Ah…aku tak bisa bisa menahan lagi. Tak kuat aku bungkam. Akhirnya aku berteriak, “Maling! Maling! Maling!”

Lelaki yang kuteriaki maling itu segera berlari menggondol perhiasan emas yang disimpan di saku celananya. Anehnya, orang-orang di pasar itu tidak mengejar dia. Pasar memang jadi geger, namun mereka tidak mengejar maling itu. Mereka justru mengejarku. Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan pasar itu. Aku harus selamat. Seorang SATPAM yang mengejarku berteriak keras, “Dasar tidak tahu adat sopan santun! Tidak ada maling di Negeri Euphemesia ini!”

Aku terus berlari meninggalkan pasar. Orang-orang mengejar dan mengepungku. Aku hampir saja tertangkap dan dihakimi massa. Kali ini aku tak bisa berkutik lagi. Aku pasti akan dihajar orang-orang. Kututupi kepalaku dengan tangan. Aku meringkus seperti pesakitan. Di saat terpojok itu, aku ingat Ki Utomo. Di mana dia? Aku segera berteriak memanggil Ki Utomo. Teriak yang sekeras-kerasnya. Untunglah ia segera datang. Aku disuruh memegangi tangan kanannya. Dengan cepat aku turuti perintahnya. Mataku aku pejamkan. Tak seberapa lama aku sudah duduk di kursi Kereta Api Logawa. Waktunya sudah melewati Maghrib, petang itu kereta api telah sampai Stasiun Kutoarjo. Anehnya tak kulihat lagi Ki Utomo. Aku tak tahu dia pergi ke mana. Ketika pemberitahuan kereta api aku dengar, aku segera mencari pintu keluar dari Kereta Logawa.

 

Wadaslintang, 17 Agustus 2019

Tuliskan komentar