“Dan akhirnya kapal-kapal itu pulang ke pelabuhannya masing-masing. Satu ke utara, satu ke selatan, sebagaimana mestinya. Sebagaimana cerita baik yang diselesaikan, walau tidak pernah diciptakan.”
“Senjani Pradana Dewi,” panggil Langit lirih bercampur rindu. Bagaimana bisa perpisahan dua puluh lima tahun lalu itu berujung dengan pertemuan semenyakitkan ini? Perempuan yang tak pernah bosan ia do’akan di setiap sujud panjangnya itu kini terbaring lemah di ruang pasien miliknya. Menurut informasi dari para perawat, perempuan itu sudah tak sadarkan diri tiga hari lamanya.
“Kanker darah” lirih Tsana. “Bunda kuat banget bertahan, padahal udah sejak tiga puluh lima tahun lalu,” curhat Tsana, perempuan yang mengaku sebagai anak asuh Senjani. Ucapan Tsana sontak saja mengejutkan Langit. Tiga puluh lima tahun katanya? Itu berarti sejak Senjani masih bersamanya? Ketika Senjani masih terlihat setegar karang sehingga Langit tega berkali-kali menyakitinya.
“Kemana keluarga Bundamu?” Tsana menggeleng lemah sebagai jawaban. “Bunda nggak punya keluarga,” jawab Tsana kemudian.
“Bunda nggak pernah cerita. Jadi, saya sama sekali nggak tahu siapa keluarganya. Yang ku tahu, bunda adalah orang yang berambisi membahagiakan orang lain tanpa peduli dengan kebahagiaannya sendiri. Bunda terlalu baik. Bunda-” Tsana terisak sehingga tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia sontak berlari keluar menumpahkan air matanya. Ia semakin bingung, padahal dahulu Senjani menjauhinya dengan alasan ia akan menikah dengan keponakan dari orang tua angkatnya. Tapi nyatanya? Senjani masih saja sebatang kara.
Langit memandang nanar Senjani. Wajahnya memang sudah tidak seelok dulu, beberapa gelombang keriput menghiasi wajahnya, rambut hitam panjang yang dulu sering Langit kagumi kini mulai memutih. Anehnya semua kurang itu masih saja mampu mendamaikan Langit, menghasilkan debaran lembut di dadanya. Langit belum bisa melupakan Senjani, bahkan hingga kini usia mereka genap lima puluh tahun. Langit menggenggam jemari ringkih Senjani. Air matanya luruh seketika bersamaan dengan jemari mereka yang saling bertautan.
“Senja. Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku?” tanya Langit sembari terisak pelan. Pelan, Langit merasakan jemari yang ia genggam itu bergerak. “Langit.”
Secepat kilat Langit mendongakkan kepala mencari asal panggilan itu. Betapa terkejutnya ketika dilihatnya Senjani tengah berjuang membuka matanya perlahan. Sorotnya masih sama, tapi sangat terlihat gurat kesedihan dan sepi di dalamnya. Seperti kesetanan, Langit segera memanggil tenaga medis yang lain. Sedangkan Senjani masih meyakinkan diri tentang ‘Apakah benar di hadapannya kini adalah Langit-nya?’
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]
***
Flashback On, 35 tahun yang lalu.
Senjani melompat dari bus ke halte dengan hati-hati. Tangannya ia gunakan sebagai pelindung kepala karena hujan yang mengguyur Jakarta tak kunjung reda hingga fajar menyingsing. Senjani panik sekali karena ia terlambat di hari pertama ia masuk sekolah baru. Senjani mengeluarkan payung dari dalam tas dan bergegas meninggalkan halte. Namun kemudian matanya menangkap sesosok laki-laki yang memakai seragam serupa dengan miliknya. Kondisinya cukup mengenaskan, wajahnya lebam dengan tatapan kosong menerawang ke depan. Ia terlihat rapuh.
“Kak, ini hansaplast buat luka kakak.” Sepersekian detik menunggu jawaban, orang itu tetap tidak bergeming. “Tuli mungkin,” gumam Senjani.
Meskipun diabaikan, nyatanya Senjani tidak pergi. Ia menunduk sembari menempelkan perban tempel pada kening laki-laki itu. Seolah sadar, laki-laki itu dengan galaknya menarik paksa perban itu dan bersiap pergi. ‘Dasar sok kuat,’ pikir Senjani.
“Tunggu!” Senjani mencengkram tas lak-laki itu. “Kalo kamu nggak bisa ngehargain orang, setidaknya kamu harus hargai diri sendiri. Kalo capek ya istirahat, kalo luka ya diobati. Jangan suka egois sama diri sendiri–” Jeda Senjani sembari memicingkan mata menilik name badge si cowok, “Langit,” lanjutnya. Senjani berbalik dan berlari secepat mungkin membelah derasnya hujan.
“Cepet sembuh, Langit!” pekik Senjani dari kejauhan. Ia berlari secepat mungkin menuju gerbang sekolah barunya. Menyisakan Langit yang masih termenung di tempatnya.
***