Menu

Senjani | Cerpen Naila Aulia

 Beberapa hari berlalu, hari masih bergulir seperti biasanya, namun kehidupan Senjani berubah. Semenjak kejadian di UKS dan di kantin, para siswa seolah menjaga jarak dari Senjani. Pasalnya ancaman dari geng El masih terasa mengerikan bahkan hingga kini Langit dan Senjani tidak lagi menampakkan kedekatan mereka. Langit seperti biasa masih suka mencari keributan ke sana ke sini, mulai dari berkelahi sampai membolos. Entahlah, orang itu sering kali membolos akhir-akhir ini. Senjani mencoba tidak peduli, tapi hatinya menolak.

Hari ini Senjani bersama anak panti yang lain mengadakan kunjungan ke bakti sosial ke Rumah Sakit Jiwa Husada. Mereka tentu sangat senang karena kunjungan itu dipimpin oleh seorang dermawan kaya raya, ia bermaksud mengajari anak panti berbagi karena biasanya mereka lah yang menerima bantuan. Ada baiknya mentalitas mereka ini ditempa supaya tidak terus menerus menjadi penerima saja. 

Senjani berjalan melewati lorong rumah sakit usai berbaur bersama para pasien guna berkebun. Namun, langkahnya terhenti tatkala mendengar keributan dari ruang Kenanga 05. Di sana nampak seorang perempuan paruh baya yang menjerit-jerit karena ketakutan sehingga membuat para suster kewalahan. Dengan yakin ia memasuki ruangan tersebut. 

“Dia kenapa, Sus?” tanya Senjani heran. 

“Nyonya Kejora menangisi boneka bayinya. Boneka itu ia anggap sebagai anaknya yang telah meninggal. Tapi, semalam nyonya lupa menaruh bonekanya di mana sehingga kini kelimpungan sendiri,” jelas salah satu perawat. 

Senjani iba melihat perempuan itu, Nyonya Kejora. Tiba-tiba saja ia membayangkan bahwa perempuan di hadapannya ini adalah ibu kandungnya. Senjani mendekati Kejora perlahan. Ia mengulurkan tangan sembari tersenyum tulus. Ajaib, Kejora langsung terdiam tenang. Pelan, Senjani menarik Kejora ke dalam pelukannya. Para perawat terheran-heran melihat interaksi keduanya. 

“Aku Kejora. Nama kamu siapa?” tanya Kejora usai menguraikan pelukannya. 

“Saya Senjani. Eum, boleh saya memanggil kamu dengan sebutan Mama?” tanya Senjani hati-hati. 

Ternyata Kejora merespon dengan sangat baik. Ia mengangguk dengan cepat. “Coba panggil aku, Mama.”

“Mama Kejora,” panggil Senjani dengan suara gemetar. Perasaannya membuncah bahagia. Kejora kemudian menarik Senja ke taman belakang rumah sakit untuk bermain bersama.
“Tidak apa kan, Sus?” tanya Senjani. Suster mengangguk perlahan, “Jika terjadi sesuatu langsung telpon nomor ini.”

***

 Senjani dan Kejora begitu asyik merangkai bunga kenanga di taman belakang. Interaksi mereka terlihat sangat dekat, seolah sudah lama bertemu. Kejora ternyata memiliki suara yang indah, sehingga Senjani mengajak perempuan paruh baya itu bernyanyi. 

“Mama! Mama baik-baik aja kan? Tadi suster Vanya nelpon katanya mama lagi ngambek,” ucap Langit yang tiba-tiba memeluk Kejora dengan ekspresi khawatirnya. 

“Eh, Langit! Kamu dateng juga! Kenalin ini anak baru mama, namanya Senja,” pekik Kejora girang. Ia menyeret puteranya itu ke arah Senjani. 

“Langit?,” “Senja?” panggil mereka bersamaan. 

“Duh, mama seneng banget deh liat dua anak mama akur. Nih mama buat tiga bando bunga. Satu buat Langit, satu buat Senja, satu buat Bintang. Ha! Bintang mana? Bintang!” amuk Kejora galak. Perempuan itu menjambak rambutnya sendiri seraya berteriak histeris. Langit yang berusaha menenangkannya saja malah dicakar habis-habisan olehnya.

Tiba-tiba saja Kejora berlari ke dekat semak-semak dan mengambil sebuah gunting kebun di sana. “Bintang, tunggu mama. Mama akan ikut kamu ke surga. Haha!”

“Mama!”

***

Senja menatap iba Langit. Laki-laki itu terduduk lemas di kursi ruang tunggu, menantikan ibunya yang tak kunjung sadar setelah tadi ia berhasil mengambil gunting taman dan mencoba melukai pergelangan tangannya sendiri. Walaupun dokter telah memberi keterangan bahwa luka Kejora tidak terlalu parah, tapi tetap saja Langit masih khawatir setengah mati. 

Senjani kemudian duduk di sebelah Langit. Ia menyodorkan sandwich dan air mineral pada Langit. “Makan dulu, sambil aku obati lukamu.”

Langit hanya terdiam mengabaikan Senjani. Terpaksa perempuan itu mengalah dan hanya mengobati lengan Langit yang terluka oleh Kejora. Langit di hadapannya terlihat sangat rapuh, berbeda dengan Langit yang ia kenal pertama kali. “Mama pasti selamat. Banyakin do’a aja.”

“Kamu bisa bilang semudah itu karena lo masih punya ma-” 

“Loh aku kan nggak ada mama” potong Senjani. “Maaf,” ucap Langit tulus. Laki-laki itu berkali-kali menghela napasnya berat. 

“Oh. Jadi ternyata kamu bela-belain bolos berhari-hari hanya demi berkunjung ke tempat ini,” ucap seorang pria paruh baya berwajah mirip Langit. Senjani tebak itu ayah Langit. 

“Lihat! Perempuan itu cuma bisa nyusahin kamu. Kamu sendiri yang bilang mau jadi dokter. Dokter itu pekerjaan berat, harus dipersiapkan sejak dini. Tapi lihat! Kamu malah jadi berandalan nggak jelas gini,” hardik laki-laki itu sekali lagi. 

Tangan Langit terkepal kuat, pertanda emosinya yang memuncak tajam. “Dan perempuan yang menyusahkanku itu adalah mama aku, bahkan istri anda sampai detik ini. Kasihan sekali dia memiliki suami jahannam seperti anda.”

PLAK! Langit mundur satu langkah usai tamparan keras itu mendarat di pipi Langit. “Nggak tahu diuntung memang kamu. Nggak guna! Saya biayain kamu supaya bisa sukses kayak Bintang, tapi kamu malah jadi berandalan kayak gini.”

Dengan gesit laki-laki paruh baya itu menghajar Langit hingga ia terjungkal ke hadapan Senjani. Namun, Langit sama sekali tidak membalasnya, ia hanya pasrah menerima pukulan demi pukulan itu. Senjani segera memanggil petugas keamanan untuk melerai mereka. 

***

Tuliskan komentar