Menu

Vonis untuk Jago Bom | Cerpen Esti Nuryani Kasam

Vonis untuk Jago Bom | Cerpen Esti Nuryani Kasam | Sumber: https://bangka.tribunnews.com/

 

Di negaranya di mana ia tinggal, mati syahid adalah dambaan. Demikianlah teman baruku; Syafaat Abdullah mengawali ceritanya. Orang-orang terdekat akan bangga memiliki almarhum yang telah mati sebagai syuhada. Dan mati dengan sebutan demikian memang banyak diminati oleh pemuda-pemuda seusianya. Ia sendiri menyiapkan pemboman dengan sangat rahasia. Untuk itu, demi mengecoh orang-orang, ia tetap kuliah kendati sekali-sekali membolos. Di samping itu, di kampus ia bisa bertanya sedikit-sedikit mengenai bom pada teman-teman yang dianggapnya lebih pintar. Pergaulan dengan lingkungannya ia kurangi. Terkadang, seharian waktunya habis di toko-toko elektronika untuk menemukan peralatan yang paling baik demi hasil yang terbaik. Jika peralatan itu kalah baik dengan yang ia dapatkan kemudian, yang lama ia singkirkan. Jadilah rangkaian bom itu memang tersusun sesuai yang diinginkannya.

Setelah perhitungan sasaran yang dijadikan setting telah ia yakini dengan mantap, diambil pula sisa tabungannya untuk merayakan usia kalahirannya. Keluarga pun mendukungnya sebagai keinginan wajar setelah hidup seperempat abad sebagai anak tunggal, pemuda kuliahan yang aktif di berbagai kegiatan kampus dengan banyak teman. Barangkali, setelah banyak kesibukan ia jalankan, sedikit keriangan bisa merupakan penyegaran baginya. Padahal bukan keriangan yang ia inginkan. Malahan, setelah berkumpul kira-kira seratus lima puluhan orang, ia minta didoakan keselamatannya. Kemudian ia berorasi. Isinya agar mereka menghidupkan jihad fi sabilillah secara nyata. Ia tidak peduli bawa hadirin tercengang mendengar pidatonya yang sama sekali tak berhubungan  dengan ulang tahunnya.

Ya, pikirannya sudah terlalu terobsesi untuk melakukan pemboman bunuh diri. Kepada pamannya selalu ia katakan, bahwa satu minggu lagi ia akan berjihad sendirian. Dan itu terjadi, persis saat musuh negaranya melakukan arak-arakan massal nasional yang ia tak mau tahu apa nama perayaannya. Tercapailah apa yang ingin ia buktikan sebagai pejuang jihad fi sabilillah yang patut diteladani. Bom yang ia rekatkan di perutnya meledak, dengan suara terdengar sampai radius 3 km lebih, daya ledak 10 knot, seketika membunuh 197 orang, dan itu masih bertambah lagi dan lagi, setelah beberapa pasien yang luka parah di rumah sakit menemui ajalnya juga.

“Anda betul-betul hebat! Jumlah orang yang menghadiri ulang tahun Anda bahkan kalah banyak dengan musuh yang berhasil terbantai.”

“Aaaahhhh…ini hanya kebetulan,” jawab Si Pemuda tinggi besar dengan tubuh gempal dan lekuk-lekuk wajah yang demikian tegas tersebut merendah, kendati perkataannya itu tak sedikit pun mengurangi kegirangan yang menyertai kesuksesannya melewati pemboman bunuh diri pada tengah siang seminggu yang lalu. “Anda di sini juga sebagai orang hebat, bukan?”

“O, tidak! Saya tidak sehebat itu,” jawabku menyanggah. “Saya bukan syuhada. Saya tidak menyediakan diri untuk mati syahid. Perbuatan saya semata-mata karena desakan perjuangan.”

“Ya, bukankah perjuangan, semuanya memang mendesak?” sambungnya tanpa menunggu penjelasan terlebih dahulu.

“Betul. Tapi waktu itu, posisi kami betul-betul terancam. Musuh hampir mencapai markas vital. Nah, dalam keadaan demikian, pemimpin berinisiatif untuk mengacaukan pos musuh, sehingga kami punya kesempatan berbenah, mencari tempat lain. Akhirnya, dipilihlah cara mengebom tanpa meninggalkan jejak bahwa posisi mereka sebenarnya sudah dekat dengan target operasi. Satu-satunya cara, ya, pemboman bunuh diri itu. Mula-mula seorang jenderal bersedia melakukannya. Tapi tak satu orang pun setuju. Perawakannya bisa menimbulkan kecurigaan. Apalagi kecakapannya masih dibutuhkan untuk perjuangan jangka panjang. Yang mereka inginkan, paling tepat adalah orang dengan sosok lemah, dekil, dan terlihat bebal. Ya, saya menyadadari seperti itulah saya. Bahkan saya sering membuat kakak saya mendapat kesulitan, dan malah merepotkan markas. Kakak saya seorang jenderal yang disegani. Ia menyayangi saya. Karenanya, sepuluh tahun yang lalu saya diperbolehkan mengikutinya. Sebenarnya mendengar perkataan ‘pemboman’ saja saya sudah takut, apalagi melakukannya. Tapi saya tak lari. Teman kakak meminta persetujuannya di hadapan saya, dan tanpa berani melihat wajahku, akhirnya ia mengangguk juga. Lalu kakak menubrukku, menangis untuk pertama kali dalam hidupnya. Padahal, ketika mama dan papa tiada, ia tidak demikian.” Aku mulai menitikkan air mata.

“Ya, sudahlah. Kuikhlaskan semuanya, bahkan sehari sebelum bom itu diikatkan ke pinggang. Bukankah hidup ini pilihan? Sayangnya, kakakku tidak tega lagi melihatku. Jadi ia tak tahu kalau saya telah mengikhlaskan diri. Esok harinya, saya menyamar sebagai tukang pencari madu di hutan. Yah,… tapi keberhasilan saya tidak seberapa karena saya grogi berat. Sebelum berada di tengah sepasukan tentara yang menginterogasiku, sudah saya tekan detonator yang ada di paha kanan. Dari pemboman itu, hanya tujuh orang yang mati seketika, kemudian bertambah dua lagi yang meninggal. Selebihnya hanya luka-luka. Begitulah, sekalipun lebih tua dua tahun, saya sama sekali kalah hebat dengan Anda,” kataku mengakhiri cerita.

Tiba-tiba pengeras suara memanggil. Sebagai dua orang tahanan dalam pemboman bunuh diri, kasus kami menjadi istimewa. Sekarang saatnya menerima vonis. Pengadilan di sini memang berbeda dari pengadilan di mana pun juga. Segala sesuatu sudah diketahui melalui monitor abadi, menggunakan sistem kerja otomatis yang beroperasi sepanjang jaman, sejak peradaban baru dimulai hingga setelah kiamat, dan dikendalikan langsung oleh kekuatan supranatural penguasa dunia. Tak segelintir pun manusia mengerti perihal seluk-beluk pengadilan ini kecuali bahwa kami tak bisa lari barang sejengkal pun dari proses tersebut.

“Sudah pasti kehebatan itu akan membawa Anda dikirim ke istana sebagai raja,” kataku sungguh-sungguh sebelum kami melampaui pintu.

Ia hanya mengangkat bahu sembari tersenyum, menggambarkan betapa ia telah meyakini hal itu sebelumnya.

Kini kami telah berada di ruangan pemvonisan. Para ahli hukum berpakaian serba putih, para hadirin beraneka ragam. Kami berdua mengenakan baju abu-abu yang segera akan berganti hitam atau putih secara otomatis tergantung salah tidaknya vonis yang akan kami terima, begitu keluar dari pengadilan untuk dikirim ke istana atau ke penjara.

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Temanku mendapat giliran pertama untuk ditanya.

“Nama?” penanya mencocokkan dengan catatan yang dihadapinya.

“Syafaat Abdullah.”

“Umur?”

“Dua puluh empat tahun.”

“Asal?”

“Timur Tengah, kampung Palestina.”

“Benar, kamu telah membunuh 102 orang warga sipil?”

“Ya, itu memang saya. Pelaku tunggal!” tekannya mendongakkan kepala girang.

Lalu giliran kursiku ke depan secara otomatis begitu kursi Syafaat diundurkan. Entah di mana letak remote control pengendali berada.

“Nama?” tanya orang itu.

Aku tak segera menjawab. Keringatku mulai membasah. Bulu kudukku berdiri, dan otot-ototku bergemeretak, meregang ketakutan.

“Nama?” ulangnya begitu pertanyaan sebelumnya tak segera kujawab.

“Quiena Rafael, dua puluh tujuh tahun, Asia, Filipina, Kampung Muslim,” jawabku semakin gemetaran.

“Benar, telah membunuh sembilan tentara bersenjata lengkap yang sedang mencari markasmu?”

Kali ini aku tak berani menjawab dengan kata-kata kecuali menganggukkan kepala pelan.

“Oke, kalau begitu sudah cocok,” katanya sembari memberi isyarat pada petugas lain dan melanjutkan, “Sekarang, kalian berdua tinggal mendengarkan vonis.”

Sang Hakim mulai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua  hadirin tenang. Lalu mulailah perkataan yang kami nantikan itu terdengar. “Setelah mengetahui perbuatan kedua terdakwa secara jelas, maka saudara Quiena Rafael dipercayakan sebuah istana untuk menjadi raja, dan saudara Syafaat Abdullah sebagai penghuni penjara.”

Seketika itu juga aku terpana tak percaya, setengah gembira, setengah ragu. Jangan-jangan pembacaan vonis itu terbalik. Siapa sangka memang begitu kenyataannya. Tetapi, bajuku telah berubah putih. Itulah jawabannya.

Sedangkan temanku, Syafaat, berdiri hampir mencopot baju yang menghitam, mengacungkan tangan, dengan tubuh meregang amarah dan berkata, “Tidak mungkin! Ini tidak adil! Saya berhasil membunuh lebih banyak. Saya lebih muda. Saya pelaku tunggal. Saya pahlawan! ….”

Pak Hakim membentaknya keras. “Saya! Saya! Saya! Tak tahukah Anda, perkataan itu saja telah menjelaskan betapa perbuatan Anda memang demi ambisi Anda sendiri dan bukan perjuangan!” lantangnya seperti geledek di siang bolong. “Pengawal! Amankan dia!” teriaknya sekali lagi.

Syafaat meronta, meninggalkan gaung nestapa yang terpantul dari setiap jengkal tembok.

Aku termangu di kursiku. Sekelebat, terbayang kakakku yang suka mondar-mandir memikirkan langkah perjuangan kemudian.***

 

(Ceprn Vonis untuk Jago Bom ini pernah dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, 16 September 2001.)

Tuliskan komentar