Menu

Pelukan Terakhir | Cerpen Krismarliyanti

Pelukan Terakhir | Krismarliyanti | https://steemit.com/

 

Pembunuh!”

“Anak tidak tahu diri. Masuk neraka kamu!”

Cih!”

Sedikit pun Arun tidak tampak gentar dengan caci maki bahkan ludah yang mendarat di pipinya. Dengan langkah tegap dia berjalan di antara kerumunan tetangga dan para petugas kepolisian. Tangannya telah di borgol, kebebasan raganya telah dirampas tetapi jiwanya bebas lepas dan senyum manisnya merekah.

***

Arun, gadis kecil yang baru saja menginjak remaja. Rambutnya hitam sepinggang. Kulitnya sawo matang dan mulus. keningnya dihiasi rambut halus yang nyaris menyentuh alis. Senyumnya simpul dan malu-malu.

Warga Gang Seroja mengenal Arun sebagai pedagang gorengan keliling. Setiap sore, dia berkeliling menjajakan dagangan ke setiap gang di kampungnya. Gorengan yang dimasaknya sendiri dengan modal hasil menyisihkan uang jajan dari ibunya.

Arun tinggal berdua dengan ibunya, Bu Suni. Janda muda yang tidak pernah tersenyum. sejak pindah ke kontrakan itu, tidak pernah ada yang tahu asal-usul mereka. Bu Suni hanyalah buruh cuci seterika. Beberapa orang memakai jasanya hanya karena iba.

Sejak bayi, Arun tidak pernah mengenal bapaknya.”Bapakmu mati digondol setan!” jawab ibunya dengan muka merah dan mata melotot. Pernah satu kali dia memaksa ibunya untuk mengatakan di mana bapaknya, tamparan keras yang sangat menyakitkan pun mendarat di pipinya. Sejak itu, Arun tidak pernah lagi bertanya tentang sosok laki-laki yang selalu dirindukannya.

“Arun, kata emakku, bapakmu itu kawin lagi,” ujar Amma suatu hari. Amma adalah anak Bu Romlah, pemilik warung sayur yang ada di depan Gang Seroja. Bu Romlah memang cerewet  tetapi karena warungnya yang paling lengkap, orang-orang suka belanja di warungnya. Setiap pagi warung itu selalu ramai, tidak hanya belanja tetapi juga berbincang tentang kabar terbaru di kampung mereka.

Amma memang tidak jauh berbeda dengan ibunya, selalu tahu semua hal tentang orang lain. Arun sering mendengarkan cerita menarik tentang tetangganya dari Amma. Entah itu tentang suami yang selingkuh atau pun anak gadis yang hamil tanpa suami. Cerita yang tidak pernah dimengerti anak seusia Arun tetapi nyaris setiap hari, ketika mereka berjalan ke sekolah, Arun selalu mendengar cerita semacam itu.

“Emakmu kata siapa?” selidik Arun.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

“Emak pernah lihat ibumu menjambak seorang perempuan di pasar. Dan ibumu teriak, ‘perempuan setan perebut suami orang’, begitu katanya,” kata Amma dengna mulut monyong dan mata melotot.

Arun hanya terdiam dan tertunduk. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang sudah dilakukan bapak terhadap dirinya dan ibunya. Pikiran Arun pun sibuk membayangkan seperti apa rupa bapaknya. Bagaiman suaranya dan dari mana dia berasal. Apa yang terjadi jika dia bertemu bapaknya.

Arun memang pendiam tetapi dia anak yang cerdas. Nilai di sekolahnya selalu memuaskan tetapi tidak banyak yang mau berteman dengan Arun. “Dia anak haram, bapaknya saja ‘gak jelas” bisik beberapa teman sekolahnya. Arun tidak lagi sedih ketika mendengar cercaan itu, dia hanya terdiam dan berpikir, kenapa bapak meninggalkan ibu dan aku?

Arun sering terlihat sendiri. Terkadang dia hanya tinggal di kelas ketika semua teman-temannya bermain atau jajan di gerbang sekolah. Matanya selalu menerawang seolah-olah dia mencari bayangan bapaknya.

Tidak banyak yang dia inginkan dalam hidupnya. Bertemu bapak dan melanjutkan sekolah. “Saya tidak mau kalau hanya lulus SD saja Pak. Saya mau jadi perawat,” kata Arun saat Pak Samsul—wali kelasnya, bertanya perihal rencananya.

Perawat memang impian Arun. Dia selalu kagum ketika melihat beberapa perawat yang kebetulan melintasi gerbang sekolahnya. Ya, sekolahnya memang berdekatan dengan rumah sakit umum. Dia masih ingat ketika ada kecelakan di depan sekolahnya, dengan sigap mereka menolong korban, dan para perawat itu bergerak cepat seperti malaikat yang melayani tanpa pamrih.

Pak Samsul hanyalah sebagian orang yang menaruh rasa prihatin terhadap Arun. Sebagai wali kelas, dia memang memberikan perhatian lebih dibandingkan yang lainnya. Entah karena Arun seusia dengan anaknya yang meninggal akibat sakit atau mungkin sekedar iba dengan keadaan Arun.

***

Ini adalah tahun terakhir bagi Arun menjadi murid SD. Sebentar lagi ujian akhir nasional akan dimulai. Arun semakin tekun belajar. Siang hari sebelum jualan, dia sempatkan membaca kembali pelajaran sekolah. Malam hari sebelum tidur, dia juga selalu membaca buku, apa saja yang bisa dibaca olehnya. Bahkan pungutan koran bekas pun dia baca.

“Tingkahmu sudah kayak anak gedongan saja, ‘Run,” cela ibunya ketika melihat Arun sedang membuka  majalah bekas yang sudah lusuh.

“Majalahnya dikasih sama Mak Wati, Bu, warung gang sebelah. Lumayan buat bungkus gorengan,” jawabnya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya.

“Kamu pikir ibumu bodoh, majalah butut gitu pastinya tidak kamu beli. Tidur, sana! Baca terus, memangnya baca majalah bisa bikin kita kaya!”

Begitulah Bu Suni, dia selalu saja nyinyir setiap kali melihat anaknya belajar. Wajahnya selalu murung dan nada bicaranya selalu ketus. Mungkinkah semua karena beban hidup yang ditanggungnnya atau karena cinta yang telah dikoyak pengkhianatan.

***

Minggu ujian pun dilalui Arun dengan senyuman. Dia berhenti berjualan hanya untuk belajar. Setiap pagi, dia selalu bangun sebelum subuh untuk belajar lalu shalat subuh kemudian menyiapkan sarapan untuk dirinya dan ibunya.

Tibalah hari yang dinantikan, hari kelulusan. Arun terlihat cemas. Sekolah pagi itu sangat riuh. Mereka berkerumun mencari namanya tertera di papan pengumuman yang terletak di depan perpustakaan. Di sana tertera, siapa yang akan mempunyai masa depan gemilang. Nilai tertinggi dan menjadi lulusan terbaik. Beberapa anak terlihat murung sementara sebagian lagi bersorak gembira.

“Arun!” teriak Amma yang berdiri paling depan dari papan pengumuman.

“Arun, lulus terbaik!” teriak seorang anak yang Arun sendiri tidak mengetahui namanya.

Arun hanya bisa tertunduk lalu menangis bahagia. Bahkan ketika kemenangan menyapanya, Arun masih saja tidak berani untuk mendekati teman-temannya. Sungguh, ketakutan Arun telah membuat dirinya terasingkan.

Diterimanya ijazah itu dengan tangan gemetar dan tangis bahagia. Deretan nilai yang sangat memuaskan terlihat sangat indah di mata Arun. Inilah harapanku, gumamnya.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

Terlihat jelas binar bahagia di matanya. Wajahnya semringah dan senyum manisnya terus mengembang. Semua kerja kerasnya tidak sia-sia. Dia menjadi salah satu lulusan terbaik di angkatannya. Tidak hanya dirinya saja yang merasa sangat bangga, tapi juga Pak Samsul dan guru-guru lainnya.

“Arun, ini ada sedikit uang dari kami. Semoga bisa meringankan beban ibumu. Kamu harus daftar SMP, ya!” ujar Pak Samsul. Dengan tangan gemetar, Arun pun menerima amplop yang berisi uang itu. Katanya, itu adalah sumbangan dari para guru untuk biaya pendaftaran SMP.

Tidak ada kata yang mampu Arun ucapkan. Hanya tetesan air mata haru yang membasahi pipinya. Impiannya semakin dekat dan harapan hidupnya semakin membubung. Mungkin kalau aku sudah jadi perawat, Bapak mau menemuiku, batinnya.

Dengan langkah tergesa, ditinggalkannya gerbang sekolah. Dia sudah tidak sabar untuk segera mengabarkan kebahagiaan itu kepada ibunya. Senyum tak juga lekang dari wajahnya. Beberapa orang yang melihatnya pun ikut tersenyum dan heran. Ah, ibu pasti senang dengan nilaiku, batinnya.

***

Dari kejauhan tampak rumah petak dengan cat biru yang sudah kusam. Pintunya tertutup dan suasana pun tampak lengang. Hari masih terlalu dini, mungkin orang-orang masih sibuk dengan pekerjaannya. Termasuk Bu Suni.

“Bu?” Perlahan Arun membuka pintu rumahnya. Sepi. Pintu dapur pun tertutup.

“Bu?” Panggilnya lagi sambil keheranan. Seharusnya tidak sulit menemukan ibunya di rumah kontrakan yang sangat kecil ini.

Apa mungkin Ibu sedang tidur, gumamnya sambil perlahan mengetuk pintu kamar ibunya. Ditempelkannya telinganya ke daun pintu. Sesaat, keningnya berkerut lalu perlahan dia ketuk kembali pintunya.

“Ganggu saja! Orangtua lagi istirahat,” tiba-tiba saja terdengar lengkingan ibunya dari balik pintu.

“Bu, Arun lulus, Bu!” Tanpa mempedulikan teriakan ibunya, Arun mengabarkan berita penting itu.

“Pergi sana, Ibu mau tidur!” hardik ibunya.

Arun pun masih belum menyerah. Dia tidak peduli dengan omelan ibunya. Bukannya dia sudah biasa mendengar kata-kata kasar ibunya. Tetapi mungkin dia akan berubah ketika melihat ijazahku, pikirnya sambil membuka pintu kamar ibunya yang ternyata tidak dikunci.

“Bu, nilai Arun yang terbaik, Bu,” lirih Arun sambil mendekati ibunya.

Ehm…,” jawabnya tak acuh sambil menarik kain sarung yang menutupi sebagian tubuhnya.

Tanpa disadari Bu Suni, perlahan air mata Arun pun menitik dan membasahi kasur di mana dia terbaring. Perih rasanya hati Arun. Harapan yang begitu berarti untuknya ternyata sama sekali tidak mampu mengubah sikap ibunya.

Dengan rasa pilu, Arun pun meninggalkan ibunya. Diseka air matanya dengan punggung tangan yang kotor oleh debu. Lalu dimasukannya ijazah itu ke dalam tas sekolahnya yang sudah bolong di setiap pojoknya.

***

Sore berganti malam, Arun masih saja tenggelam dalam kesedihannya. Dalam tidurnya, dia terisak dengan map berisi ijazah dalam pelukan. Luka batin yang dideranya terlalu dalam dan harapannya semakin jauh terhalang awan hitam.

“Arun, bangun!” teriakan ibunya di pagi hari membuat Arun terperanjat. Dia baru saja tertidur. Luka yang ditorehkan ibunya terlalu besar untuk Arun sehingga membuat matanya tak mampu terpejam hingga subuh tadi.

Perlahan, dia pun beranjak menuju kamar mandi. Ibunya telah bersiap untuk pergi ke rumah tetangga, mencuci baju. Pagi itu berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tidak ada ucapan “selamat” atau pun pelukan bangga.

Ini adalah hari pertama Arun lulus SD. Ditatapnya lekat-lekat ijazahnya. Dan tiba-tiba dia teringat akan amplop pemberian Pak Samsul. Diraih tasnya, lalu dibuka amplop putih yang sudah lusuh itu.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

Banyak sekali uangnya. Lima ratus ribu, gumamnya. Air mata pun kembali membasahi pipinya. Uang itu tentu saja belum cukup untuk daftar SMP. Dia pun beranjak mengambil dompet kecil dagangannya yang disembunyikan di bawah kasur.

Dengan hati-hati, Arun menghitung lembar demi lembar uang yang telah dikumpulkannya dengan susah payah. Terdengar helaan napas yang sangat berat dan wajah yang sangat kecewa.

Tiga ratus ribu rupiah. Mana cukup untuk daftar sekolah, gumamnya lagi. Tatapannya nanar memandang ke setiap sudut kamarnya yang sempit dan gelap tanpa jendela. Impiannya perlahan pupus. Harapannya terbang semakin jauh. Arun merenung memeluk kakinya.

Matahari semakin tinggi. Sinarnya tampak menerobos melalui celah lubang angin ruang depan. Dari kamarnya, gadis kecil itu menatap ruangan yang begitu lengang. Tatapannya hampa dan wajahnya nelangsa. Arun masih duduk terpaku sampai ketika Amma berteriak memanggil namanya.

“Arun!” Lengkingan suaranya terdengar sangat jelas dan memaksa Arun untuk bangkit dan membuka pintu.

“Ma, aku sepertinya tidak jadi daftar SMP,” ujar Arun lesu sambil duduk di kursi bambu di teras rumahnya.

Loh, kenapa? Kan, sayang nilaimu.”

“Ibu diam saja dan uang tabunganku juga tidak cukup.”

Amma pun terdiam. Dan kedua anak kecil itu hanya saling pandang tanpa arti.

“Kita main saja di lapangan, yuk!” ajak Amma berusaha menghibur Arun.

“Aku harus masak nasi. Sebentar lagi Ibu pulang.”

“Ya sudah, kalau begitu. Tapi nanti malam kamu ngaji, kan?”

Hanya anggukan kecil yang diberikan Arun kepada Amma. Gadis kecil itu sudah seperti mayat berjalan. Mukanya pucat akibat menangis sejak semalam dan tubuhnya lesu tanpa semangat.

***

“Bu, kapan Ibu antar Arun daftar sekolah?” Akhirnya Arun memberanikan diri bertanya kepada ibunya sore itu.

“Kamu itu anak tukang cuci, buat apa sekolah,” jawab ibunya tak acuh sambil memijit kakinya.

“Tapi Arun sudah punya tabungan, Bu, buat bayar pendaftaran,” jawabnya sambil menyodorkan amplop putih berisi uang.

“Uang dari mana itu?” kata ibunya sambil meraih dan menghitung lembaran lusuh uang kertas.

“Dari Pak Samsul dan hasil jualan, Bu.”

“Pak Samsul wali kelas kamu?” tanya ibunya dengan heran.

“Iya, katanya itu sumbangan dari para guru buat biaya pendaftaran.”

Sejenak Bu Suni terdiam sambil menatap lekat-lekat wajah anaknya. Tiba-tiba dia mengusap wajah Arun sambil tersenyum. Disibakkannya poni yang menutupi kening putri satu-satunya itu. Terlihat dia mengernyitkan dahi seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.

“Arun, kamu tahu kan kalau Ibu sayang kamu?”

“Iya, Bu. Arun tahu,” jawab Arun heran dengan sikap ibunya yang tiba-tiba saja berubah. Baru sekali ini dia melihat ibunya berkata lembut dan membelainya.

“Ibu hanya ingin kamu bahagia tetapi Ibu tidak mampu menyekolahkanmu,” katanya lirih sambil terus menatap anaknya.

“Bu…,” Arun pun seperti mendapatkan harapan baru terhadap sikap ibunya. Dia pun mendekati ibunya kemudian memeluknya.

“Arun bisa sambil bekerja, Bu. Arun bisa jualan di sekolah. Biarkan Arun membayar sendiri sekolah Arun,” bisiknya. “Arun ingin jadi perawat. Nanti Ibu tidak usah cuci baju orang lagi.”

Sore itu pun menjadi sangat haru. Pelukan ibu dan anak itu terlihat begitu indah dan syahdu. Arun terlihat semakin erat memeluk ibunya, sementara Bu Suni membelai lembut rambut anaknya. Tampak senyum Bu Suni mengandung arti dan tatapan matanya penuh teka-teki.

***

Arun terlihat begitu ceria. Sejak subuh tadi dia terbangun. Bahkan sebelum azan subuh dia sudah melipat selimut dan bersiap untuk shalat subuh. Senyumnya terus mengembang, bahkan dalam tidur pun dia tersenyum. Harapannya kembali tumbuh sejak kemarin sore.

Matahari sudah nampak. Arun sudah rapi dengan pakaian terbaiknya. Ditatap lekat-lekat ijazahnya. Teh manis dan nasi goreng untuk ibunya sudah ia siapkan sejak tadi. Bu Suni pun tampak semringah pagi ini.

Rambut panjanganya yang biasa tergelung acak sekarang diikat rapi. Dengan dress berwarna merah pudar bermotifkan bunga sepatu, Bu Suni tampak lebih muda dan cantik. Bibirnya pun dipoles dengan lipstik berwarna merah muda.

Sungguh cantik ibuku, bisik Arun sambil tersenyum.

Segera setelah ibu dan anak itu menghabiskan sarapannya, mereka pun berjalan menuju jalan raya. Di mana angkutan kota menunggu untuk mengantarkan mereka sampai ke SMP yang dimaksud Arun.

***

Tuliskan komentar