Menu

Ditelanjangi Masa Silam | Cerpen Nirmala Puspa

 

Kini sudah habis waktuku untuk menyembunyikan semuanya, semua orang sudah tak mempercayai aku lagi. Takut, cemas, terjerat semua perasaan, dan pikiran semuanya semakin menggeliat dari waktu ke waktu, hari ke hari, begitu mencekam seakan tak bisa melarikan diri. 

Ibu Reyhan bekerja di Rumah Sakit Kasih Jakarta Selatan sebagai asisten apoteker, beberapa akhir ini di rumah sakit banyak orang yang mengamati gerak-geriknya. Namun, ia tetap saja bersikap tenang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa dan menganggap semuanya hanya halusinasinya saja. Di meja kerjanya ia seperti kehilangan sesuatu, Nampak seperti berbeda dari biasanya

“Astaga… siapa yang udah mengobrak-abrik laci ini?” tangan gemetar sambil mengobrak-abrik meja yang penuh buku dan alat tulis kantor.

Ingatanku tersirat, kalau aku lupa bawa pulang catatan pemasukan dan pengeluaran hasil apoteker yang aku kerjakan kemarin malam hingga pagi tadi.  Kecerobohan yang membuat segalanya hancur berantakan, namun terkadang juga kecerobohan bisa membawa seseorang menuju hal tak terduga.

Oh… entahlah… aku seperti di penghujung kehidupan, tergantung ini bisa selamat atau tidak. Bahkan, teman dekatku saja rela mengadu ke kepala rumah sakit, mungkin hanya untuk sekedar mencari muka atau ingin naik jabatan. 

Kejadian ini bermula saat Ibu Reyhan memesan, menerima barang, dan melakukan pembayaran ke distributor. Setiap bulan ia menerima gaji sebesar dua juta lima ratus rupiah, dan ditambah intensif sebesar dua ratus lima puluh ribu sampai tiga ratus lima puluh ribu.

Faktur yang sudah jatuh tempo ia berikan kepada petugas lain untuk mengambil uang tagihan apotik rumah sakit. Segala keuntungan yang ia dapat dari penggelapan itu sebagian diberikan kepada ayah Reyhan dan sebagian lagi untuk kepentingan pribadinya. 

Pihak rumah sakit merasakan curiga yang mendalam, sehingga berniat untuk menelusuri gudang, dan meja Ibu Reyhan, pada akhirnya menemukan beberapa bukti yaitu, seperti penggandaan faktur. 

“Ini celaka… aku harus segera …”

ia berlari tergopoh-gopoh melewati lorong-lorong rumah sakit, bersama dengan hujan tangisan dan perasaan yang takut. 

“Semua ini karena suamiku yang menikahi perempuan lain, dan sekarang istrinya meninggal gara-gara over dosis, jadi harus membiayai rumah sakit, biayain kehidupan mereka hah… memang payah, ujung-ujungnya aku yang kena batu,  sekarang aku yang harus menanggung semuanya.” 

Lorong rumah sakit tak lain halnya seperti Lorong waktu yang tiba-tiba saja menggeliat memasuki pipa-pipa pikiran untuk memaksa melihat, dan mengingat kembali. Tetesan air mata tak kuasa pecah di sepanjang jalan, jantung dipacu oleh kuda yang bernama nafsu untuk menguasai akal dan pikiran yaitu melakukan hal yang dianggapnya baik, tetapi tidak untuk orang lain.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

***

Di Sekolah Musik Nadaria, Sisil baru saja merampungkan latihan biolanya, bakat bermusik diperoleh dari Bapaknya Ari Trihatmodjo ialah seorang pemain biola. Sejak kecil Bapak mendisiplinkan Sisil untuk bisa bermain biola, sedangkan Sisil sendiri minatnya dalam melukis.

Pilihan dari orang tua memang tepat, tapi untuk siapa? Maunya orang tua begitu, maunya anak begini, pilihan dari seorang anak juga gak salah jika selama itu positif. Bakat tidak menjadi berkat meski seorang lihai dan karakter karyanya kuat, sungguh hidup tak sebercanda ini, batin Sisil sambil mengunyah permen karet yang dari waktu latihan tak dibuang”. Padahal tidak ada yang boleh makan dan minum di dalam studio musik. 

“Sil… jemput mama di depan Toko Segitiga sekarang,” bicara Mama pada Sisil di telepon genggam.

“Tumben mama minta jemput, maaf Ma, Sisil capek barusan selesai latihan, lagian kan mama bisa naik angkutan umum,” telepon genggam langsung dimatikannya begitu saja.

Sore hanya sementara, sungguh menyedihkan untuk pecinta sore sepertiku. Berharap sore itu sepanjang waktu dan hari, aku merasa hanya langit sore yang pemandangannya menakjubkan, seolah-olah mereka bercerita tentang segala hal.

Bahkan, kisah yang tak dijangkau manusia, tentang seekor merpati yang dikejar oleh katak… hahaha tertawaku diatas motor, tak peduli semua mata di lampu merah memperhatikanku. Terkadang langit sore juga menceritakan kisahku, soal mimpi yang terpendam, bakat yang sia-sia kumiliki digantikan bakat sintetis yang direkayasa oleh orang tuaku sendiri.

Reyhan dan Naga berhenti di depan Rumah Sisil tepatnya di kawasan Kemang Jakarta Selatan, kebetulan ia baru saja sampai rumah, terlihat ditangan kanannya memegang Biola. 

“Sil …. Kita main, yuk,” ucap Reyhan dari seberang rumah Sisil.

Sisil menoleh mencari keberadaan suara itu yang tak lain ialah kekasihnya Reyhan.

“sejak kapan kamu ada disini?” jawabnya dengan muka kesal dan lelah. 

“Barusan aja… kebetulan ceweknya Naga barusan buka coffee shop, kamu pasti suka tempatnya, soalnya disana banyak alat musik klasik yang tak hanya dijadikan pajangan, tapi juga bisa dimainkan,”

 “Wah kedengarannya menarik, tapi ….”

“Tapi kenapa Sil?” tanya Naga dan Reyhan bebarengan dengan nada heran

“Aku harus nyeleseiin notasi balok hari ini,”

“Kita udah lama banget gak jalan bareng dan gak pernah ngobrol sekarang, kenapa sih? Kamu ngejauh dari aku?”

“Okey… Kita berangkat, tapi sebentar aku ambil helm dan naruh biola ini dulu di rumah”.

Tak lama kemudian mereka bertiga semua berangkat, Reyhan dan Sisil tak saling berbicara. Raut wajah Sisil menyimpan banyak ragu, banyak pertanyaan, pikirannya mengarah pada kejadian yang dialaminya satu bulan lalu ketika ia pergi ke kamar ayahnya, saat itu Pak Ari sedang pergi ke Singapura hingga sekarang dalam rangka konser perdananya.

Di dalam kamar ayahnya ia mencari akta kelahiran untuk keperluan mendaftar kuliah S2 musik di Music Scholarship, Musician Institute, Amerika. Tak sengaja ia menemukan kotak berwarna coklat yang didalamnya berisi baju bayi putih dengan gambar kartun bear dan topi berwarna coklat muda, di bawah topi itu tersimpan foto perempuan berambut pendek dan bayi laki-laki mirip Reyhan.

Sejak kejadian itu Sisil tak pernah menelepon ayahnya dan menghubungi Reyhan. Rasa sedih, sakit, menyeruak ke dalam jiwa, seakan bibir dan hati lumpuh tak mengucap apapun, memilih diam. 

“Sil lama banget aku pengen telfon kamu, tapi WhatsAppku kamu blokir ya, kenapa sih cerita dong… lagian kan kita dah dua tahun pacaran, yang pasti kita bukan SMA lagi. Aku mau nanti kamu cerita ya waktu di coffee shop,” diraihnya tangan Sisil hingga memeluk Reyhan. 

 

Tuliskan komentar