Menu

JEMBATAN DAN YANG TETAPI | CERPEN MUHAMMAD QADHAFI

 

 

Yang di bawah jembatan menyeru-nyeru, menyepak pikiranku dari lamunan yang keras kepala.

“Oei… tahan… jangan lompat! Jangan bunuh diri!” Kemudian kata-kata lain menyusul, kurang jelas terdengar.

Tetapi justru teriakan mereka itulah yang hampir membunuhku. Yang mengejutkanku. Yang membuat pantatku bergeser dari tiang pembatas jembatan. Padahal aku sendiri tidak sedang berniat mati dekat-dekat ini.

Dan menghambur-hamburkan napas bukanlah cara canggih membela diri. Maka, aku melongok ke bawah jembatan, ke arah mereka, tersenyum wajar, lalu menyulut sebatang rokok. Dengan sesantai mungkin. Dan cukup dengan begitu, pikirku, mereka akan langsung mengerti bahwa tak ada tanda-tanda kedatangan Maut dari senyum dan caraku merokok.

Tetapi mereka tetap menyeru, melambai-lambaikan tangan, membuatku kembali merasa sedang berdiri pada papan loncat kolam renang, sedangkan mereka adalah para turis, para penonton, yang histeris, yang menanti aksi terjun ke kolam. Dan bunyi sirine mendekat, membuka konser di kolam renang.

***

Karena bus jurusan Semarang-Solo yang kunaiki batal transit di terminal Kartasura, mau tidak mau aku terpaksa turun di pertigaan yang asing. Lalu aku berjalan dungu—memutar-mutar leher sambil misuh.

“Su… ok! Tak ada bus Solo-Jogja yang lewat.”

Dan keletihan berusaha keras mengambrukkan kakiku, mengaburkan penglihatanku. Juga kemarau. Juga debu-debu yang sedang belajar terbang. Hingga sulit bagiku mengendalikan gumaman, muntahan kosakata binatang

Maka kuluruskan kaki di kursi angkringan tepi jalan. Maka perlu memesan teh panas dan meminumnya sambil diselingi merokok. Maka ketenangan pulang ke tubuhku. Maka aku percaya, asap rokok dan teh panas bersahabat karib. Maka mereka bekerja sama menjinakkan seluruh binatang pisuhan dalam mulutku.

Setelah memuji persahabatan aneh antara rokok dan teh dalam hati, kemudian aku bangkit. Kemudian membayar dengan receh. Kemudian menanyakan halte bus Solo-Jogja terdekat. Kemudian penjual angkringan menerangkan dengan gerak telunjuk dan kata-kata sopan, bahwa aku dapat lebih cepat menyeberang langsung. Tanpa zebracross, tanpa jembatan penyeberangan, dan memang demikianlah orang-orang di sekitarku ketika itu menyeberang. Dan mereka tetap selamat hingga seberang jalan.

Walau semula berniat mencontoh etika para pelanggar lalu lintas, tetapi niatan itu segera sirna. Sebab jalan di hadapanku sedang ramai-ramainya. Sebab orang-orang berkendara seperti dalam perlombaan, bersalip-salipan, dan pantang terlihat lamban. Bahkan angin dan asap knalpot—yang berebut menampar-nampar wajahku—turut campur melukai nyaliku.

Meskipun penglihatan jarak jauhku terhadap huruf dan wajah orang lain cukup mengecewakan, tetapi, setidaknya, aku masih mampu memastikan bahwa sekitar 100 meter dari kananku berdiri sebuah jembatan layang. Daripada menyeberang sekenanya (tanpa berkeyakinan bahwa Tuhan akan melindungi orang-orang yang melanggar lalu lintas), kupikir jembatan layang adalah solusi terbaik untuk orang semacamku: pengecut, kurang olah raga, dan sering terlambat.

Setiba di hadapan besi-besi jembatan yang pesing dan karatan, aku terdiam sejenak, membayang-bayangkan. Barangkali, yang paling merasakan manfaatnya hanyalah orang yang butuh tidur dan kencing gratis di malam hari.

Bagaimana pun juga, akhirnya aku memanjat dua puluh anak tangga yang yatim itu, yang tidak pernah mendapat kasih sayang lelaki mana pun. Dengan terengah-engah aku melangkah, semakin ke atas. Sedang mereka tetap dingin dan diam. Mungkin karena aku bukan ayah yang mereka nantikan. Sejenak menghela napas panjang, kemudian karena kupikir masa depan anak-anak tangga itu bukan berada di tanganku, maka kutinggalkan mereka.

Ketika menapaki bentang jembatan, aku merasa seperti tengah memijak lembaran seng yang dipaku sekenanya—yang bahkan jika terkena tempias hujan paling letih sekalipun, tetap akan menyalak bunyinya. Barangkali orang-orang tertentu mengerti itu, terutama para pekerja proyek jembatan layang yang kini sedang menawarkanku kemungkinan terjeblos sedalam enam meter dengan omnivora-omnivora beroda yang siap menyambarku tanpa ampun di bawahnya.

Dengan kecemasan yang masuk akal, aku menepi, mencari sisi kokoh jembatan. Dengan tangan kanan memegang pagar jembatan dan tangan kiri menutup hidung, aku menitinya perlahan. Saat itulah terdengar langkah berat dari belakang.

Lalu aku menoleh. Lalu terlihat seseorang muncul dari arah tangga, rambutnya pendek, berponi. Tetapi wajahnya merunduk, matanya sembunyi di balik poni. Sepertinya, ia laki-laki cengeng. Lalu ia putar badannya. Lalu duduk di antara tepi anak tangga dan tiang jembatan. Lalu aku malas menatap tengkuk dan singletnya. Lalu kuanggap saja dia bapak yang dinantikan para anak tangga itu. Lalu aku kembali meniti jembatan, mengabaikannya.

Setelah beberapa meter melangkah dan menutup hidung, aku terhenti. Sebab cahaya senja yang sedang merah-merahnya merayuku untuk mengaguminya. Lantas aku menghadap ke barat, menatap ketenangan senja. Dan aku teringat tentang pacarku.

Seperti pacarku, senja itu suka merayu dan cantik luar biasa di waktu-waktu tertentu. Tetapi, sayang, pacarku gampang cemburu. Dalam satu minggu, pacarku bisa cemburu sebanyak dua hingga tiga kali, sebanyak itu pula dia mengancam akan bunuh diri. Jika sudah begitu, bagaimana pun juga aku harus segera menemuinya (dia memberiku batas waktu 1×24 jam sejak ancaman bunuh diri itu diungkapkan). Dan biasanya aku selalu tepat waktu, selalu berhasil membuatnya kembali mencium bibirku dengan desahan cinta. Sesaat, semuanya kembali baik-baik saja. Sesaat, dia kembali suka merayu mesra. Sesaat, dia jadi cantik luar biasa. Sesaat, sebelum kemudian dia mengulang kecemburuan dan ancaman bunuh dirinya, lagi dan lagi, sebagaimana yang terjadi kemarin.

Jika ancamannya sungguh-sungguh, dalam dua tahun terakhir, tentu dia telah berutang hampir 200 nyawa kepadaku. Betapa mustahil seorang mahasiswi 24 tahun memiliki cadangan nyawa sebanyak itu. Kecuali, jika dia percaya bahwa nyawa lahir dari setiap hubungan iseng antara rindu dan cemburu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, tampaknya memang benar begitu.

Yang jembatan, yang hubungan, yang ancaman, dan yang lain-lain—semuanya mungkin memang dibuat hanya karena (dan untuk) main-main. Sekilas aku meneliti waktu di pergelangan tanganku, dua jam lagi batas waktu yang ditentukan pacarku akan habis. Untuk apa menganggapnya serius? Untuk apa cemas? Untuk apa tepat waktu? Untuk menuruti keisengan pacarku?

Yang kuinginkan sekarang hanya main-main. Karenanya aku memilih untuk naik ke pembatas jembatan—nangkring tanpa memedulikan waktu, hubungan, keseriusan, ancaman, kepengecutanku sendiri, atau hal-hal lain selain senja dan main-main. Semacam duduk telanjang dada di atas papan loncat kolam renang. Lalu iseng-iseng kukagumi senja sambil melamunkan hal-hal menyenangkan yang belum sempat kuandaikan sebelumnya. Terus berandai-andai. Terus.

“Jangan lompat!” Yang di bawah jembatan menyeru-nyeru, menyepak pikiranku dari lamunan yang keras kepala.

***

Tetapi lama-kelamaan, kudengar kata “singlet putih”—terselip di antara rentetan kata lain yang bermuntahan dari mulut orang-orang di bawahku. Karenanya, aku jadi teringat kepada bapak para anak tangga. Lalu aku menoleh ke kanan. Tetapi, di tempat duduknya semula, hanya terlihat bayangan kaki menggantung-memanjang. Maka aku pandangi atap jembatan. Dan kutemukan asal bayangan. Dan kaki itu terjun bersama pemiliknya.

Mungkin lompatan lelaki cengeng adalah bagian aksi panggung pembuka konser black metal. Diawali intro sirine monoton. Lalu suara serak vokalis polisi dari megaphone. Lalu percikan darah. Lalu penonton histeris. Lalu aku hampir saja tepuk tangan.

Tetapi, di bawah, benar-benar bukan kolam renang. Tetapi aku tetap ngotot menganggapnya aksi panggung kontemporer. Tetapi justru lantas berseliweran ingatan tentang para anak tangga yatim, tentang ancaman pacarku, tentang cemburu, tentang rindu, tentang keseriusan, tentang kenyataan, tentang rentang waktu di jam tanganku.

Yang kulakukan saat ini hanyalah berjongkok—menenggelamkan muka di antara kedua lututku sambil menggerakkan pemutar jam tangan, tanpa menatapnya, terus memutarnya melawan arah jarum jam, terus, hingga telapak yang kasar meraih tanganku. Dan kutatap kostum orang itu baik-baik. Betapa dia personil black metal yang formal. Dan aku minta tanda tangan. Tetapi dia menyeretku, turun jembatan.[*]

Kartasura-Janti

 September 2015

 

 

Pernah dipublikasikan di

Joglosemar (21 Februari 2016)

Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM (25 Maret 2017)

 

Ilustrasi oleh Mathorian Enka.

Tuliskan komentar