Menu

Ditelanjangi Masa Silam | Cerpen Nirmala Puspa

 

“Dewasa seperti apa yang ibu maksud? Tak ada sangkut pautnya dengan kedewasaan. Udah… Reyhan gak mau tahu, Reyhan gak mau pergi dari rumah ini,” bentak Reyhan kepada Ibunya.

Sejenak rumah kecil itu menjadi hening, dan kaku tiada yang bersuara selain isakan tangis dari hati seorang ibu.

Tak disangka semua ini seperti mimpi, dan waktu berjalan begitu sangat cepat, kini Reyhan menjadi pembangkang, begitu sulit untuk menguasainya “batin ibu,”

Memangkas rambut menjadi pelampiasan ketika marah, kebiasaan seperti ini kulakukan sejak masih kecil, ya sedikit melegakan pikiran. Tanyaku dalam diri sendiri, kenapa Tuhan tak memberikan kelebihan kepada seluruh manusia tentang membaca perasaan? Sehingga, jika tahu perasaan ibu ataupun semua orang tak seharusnya ia berperilaku seperti ini. Memang kata hati manusia tak bisa terbaca oleh siapapun, tapi setidaknya rasa itu bisa diketahui oleh sama rasa.

“Braaaaakkkkkkkkk!” suara gunting terlempar begitu keras di meja rias. 

“Kalau Ibu datang ke rumah ini nemuin Reyhan cuma untuk pindah rumah, jangan pernah menemuiku. Ini  terakhir kalinya ibu menemuiku.”

Meraih jaket dan sepatu meninggalkan ibu seorang diri, dan keluar lalu mengendarai motor. 

Jalanan terbawa mimpi, dihasut oleh bermacam imaji, hidup seperti hanya ingin ditangisi dari semua yang diuji. Terlahir dari kehidupan yang amat brengsek ini sulit bagiku untuk menjadi manusia sejati.

 “Anjiiiing!” teriak Reyhan di atas motor dengan kencang

Reyhan pergi ke tempat ia biasa melampiaskan amarahnya dengan berteriak, menyanyi atau berdiam diri. Sampai di tempat tujuannya, dibawah pohon cemara terdapat rumah kayu kecil yang ia bangun waktu SMA bersama sahabatnya Naga. Reyhan melemparkan tas, dan segera saja duduk di kursi kayu sambil menghisap rokok. Matanya yang mirip ibunya tengah memandangi langit, yang seakan langit merupakan orang tuanya sendiri.  

“Hanya aku saja jika sedih merasa jenuh, pekat, retak, hilang, rasanya ingin terbang melebamkan diri pada matahari… aaarrrrrrgggghh bajingan!”

“Seandainya pasir yang digenggam ini bisa jadi orang pasti akan kujadikan teman dan kurawat dia. Dua ekor tupai yang berlarian, berkejaran di atas ranting pohon cemara, mereka seakan-akan tak memiliki masalah dalam hidupnya, sepertinya memang manusia saja yang hidup dari masalahnya. “Gerutu Reyhan”.

Menelepon sahabatnya.

“Kamu di mana, Ga?”

“Hallo, Han… Aku lagi di dekat rumahmu, kenapa?”

“Sini, Ga … aku lagi butuh kamu, di tempat biasa ya…”

“Okey… habis nyelesaiin desain aku ke situ.”

Reyhan menutup telepon genggamnya.

Pikiranku akan masa lalu terpenuhi oleh getah yang kental seakan sulit untuk dihilangkan, dalam setiap gerak selalu meninggalkan jejak. Tumbuhan alang-alang dalam hati ialah kecemasan yang tak terhitung berapa kilogram, cemas memang seringkali mengajak kita untuk segera berkemas.

Seperti mengakhiri segalanya, tanpa perlu adanya rasa was-was. Menangkap keputusan dengan cepat, akal pun hilang, hanya ada satu suara yg paling benar, ialah nafsu dengan kepuasan sesaatnya.

“Jadi sudah sampai mana engkau berkelahi?” sambil tersenyum dan memeluk Reyhan.

“Sejak akan berkelahi dengan Ibu,” jawabku dengan penuh amarah

“Kenapa Bapak ninggalin Reyhan? Bapak dan Ibu sama gilanya.”

Naga tak lama kemudian datang lalu memarkir motornya, tepat di sampingnya dengan jarak lima puluh meter ia melihat sahabatnya didepan rumah kayu. Berjalan mendekati Reyhan sambil merangkulnya. 

“Han,”

“Naga… masih ingat sama Om? Makasih kamu udah jaga Reyhan, Om gak bisa ngasih apa-apa selain doa. Kamu mau minum, Om ambilkan minum, sebentar.”

“Maaf, Ga, Bapak aku memang gitu, suka cerewet.”

Naga membalas ucapan Reyhan dengan senyuman, ia menyadari kalau temannya memiliki gangguan mental identitas disosiatif (dissociative identity disorder), disebabkan karena kekerasan fisik dari ibunya, bullying teman, emosional, dan beban pikiran tentang keluarganya yang tak pernah ia ketahui seluk beluknya dari kecil hingga saat ini yang tak pernah tahu Bapak dan kejelasan keluarganya seperti apa.

“Ibuku minta pindah rumah”

“Kalau itu yang terbaik buat kamu dan ibumu kenapa enggak?”

“Enggak, aku udah nyaman banget dirumah itu Ga… ya kamu tahu sendiri kan”? aku tak bisa berada dilingkungan baru, sahabatku satu-satunya yang paling bisa paham sama aku, ya kamu.

“Iya… tahu” jawab Naga kepada sahabatnya dengan menghela nafas panjang

Asap rokok mengepul tebal mengisi ruang-ruang udara seakan ingin mencari tempat tinggal yang nyaman di setiap pohon cemara. Sore itu udara yang semakin dingin menusuk hingga ke tulang, hidung Reyhan pun berdarah. Segera saja Naga mengeluarkan botol minum yang berisi kopi panas dari tasnya. Kopi dituang untuk menghangatkan sahabatnya yang tengah menggigil kedinginan.

“Kopi, Han,”

“Makasih, Ga,” 

“Kamu gak pengen ngasih kesempatan buat Ibumu, Han… gak semua yang kamu pikirkan itu buruk, barangkali ini adalah pindahan rumah yang bakal bawa dampak positif buatmu dan ibumu, lagian gak ada salahnya kita nurut sama orang tua”.

“Kamu gak tahu tentang keluargaku?! Jangan sok-sokan tahu, deh…”

Pohon di samping Reyhan menjadi sasaran empuk untuk melayangkan kepalan tangan dan kakinya. Saat itu amarah bagaikan Raja, seringkali kita menyeduh amarah tanpa memperhitungkan jeda untuk berhenti sejenak, dan setelahnya dimakan rasa malu akibat marah yg telah berlalu. 

“Beruntunglah kita dikaruniai Tuhan sifat pemaaf, lautan kesabaran dan kebijaksanaan membentang luas tak pandang bulu. Kita hanya manusia Han, yang penuh luka, dan rasa sakit. Kita perlu memaafkan diri sendiri serta orang-orang yang udah nyakitin kita,” kata Naga sambil merangkul sahabatnya. 

Rumput dan pohon berbisik berbicara kepada angin tentang cinta, dan luka yg silih berganti dinikmati oleh siapa saja. Reyhan dan Naga mereka saling menyayangi sejak kecil, susah dan senang dialami bersama. Hari sudah semakin larut Naga mengantarkan pulang Reyhan. 

***

Tuliskan komentar