Menu

Trubadur | Cerpen Kiki Sulistyo

Sumber gambar: https://olearys.se/

Sumber gambar: https://olearys.se/

Seorang penyanyi rap ditangkap polisi tadi malam. Dia baru saja membawakan lagu ketiga dalam pertunjukan di sebuah garasi kecil milik seorang pecinta kucing. Lagu itu berbicara tentang semangat hidup dan bagaimana menjadi diri sendiri, nyaris tidak ada kalimat provokatif atau subversif yang bisa jadi alasan bagi penegak hukum untuk menahannya. Namun kenyataannya petugas kepolisian menahannya seakan ia tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan. 

Acara itu bubar seketika. Penyanyi lain yang belum dapat giliran tampil langsung mengemas peralatannya dan pulang–kecuali Diego Militia, bintang tamu acara itu, seorang trubadur dari Argentina yang kebetulan mampir dalam tur panjangnya mengelilingi dunia. 

Ketika polisi memasuki panggung, para penonton yang sedang berjingkrak mengikuti irama mengira kalau petugas-petugas itu bagian dari pertunjukan. Setelah tahu apa yang terjadi, mereka sontak membisu. Si penyanyi rap sempat melawan, meskipun terlihat roman mukanya berubah pucat. Dalam situasi semacam itu memang tidak ada gunanya melawan, sebab melawan polisi artinya melawan hukum dan melawan hukum adalah alasan paling sahih bagi polisi untuk menahanmu.

Sempat terjadi ketegangan. Tuan rumah yang merasa bertanggung jawab langsung turun tangan. Polisi tidak mempedulikannya, mereka hanya punya satu cita-cita, yaitu segera menggelandang si penyanyi rap ke mobil dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mewujudkan cita-cita itu.

Setelah acara bubar, Diego Militia berkata pada tuan rumah, bahwa dulu dia pernah bercita-cita jadi polisi. “Saya tidak melihat ada alasan untuk menahan Sukab. Dia orang baik,” kata tuan rumah. Sukab adalah si penyanyi rap. Siapa pun tahu Sukab memang orang baik. Hidupnya sederhana. Dia lahir dan dibesarkan di suatu desa kecil yang sekarang termasuk wilayah Timor Leste. Dalam wawancara dengan sebuah majalah bawah tanah, Sukab menceritakan masa kecilnya yang penuh kekerasan. Namun hal itu justru menumbuhkan sikap tertentu pada dirinya untuk menolak kekerasan.

“Dulu, di Buenos Aires, ada kawan saya yang ditangkap polisi. Dia juga seorang penyanyi. Kawan saya itu mati setelah beberapa hari dalam tahanan. Kabarnya dia bunuh diri, tapi saya tidak percaya. Saat itu saya sudah lama tak lagi berniat jadi polisi,” ujar Diego Militia. 

Tinggal tuan rumah dan Diego Militia yang bertahan di garasi itu. Amplifier, mixer, pelantang, dan kabel-kabel berserakan di sekitar. Lampu panggung sudah dipadamkan, tapi udara tetap panas. Kucing-kucing berkeliaran, sesekali menggosok-gosokkan leher ke kaki tuan rumah. Saat itu memang waktu di mana mereka mestinya mendapat jatah makan. Tuan rumah mengelus-elus kepala dan leher kucing-kucing itu secara bergiliran, tapi tak tampak tanda-tanda dia akan beranjak mengambil makanan. 

“Kawanmu penyanyi rap juga?” tanya tuan rumah. 

“Bukan. Saya pikir dia penyanyi yang aneh. Terus terang, menurut saya sebenarnya dia tidak bisa bernyanyi. Suaranya sumbang dan selalu keluar tempo. Malah saya pikir dia tidak hanya buta tempo, tapi juga buta nada. Tapi dia punya pikiran yang maju tentang musik. Orang-orang menyukainya, sebagian menyebutnya revolusioner.”

“Karena dia revolusioner maka dia ditangkap,” ucap tuan rumah antara pertanyaan dan pernyataan.

“Bukan. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa dia ditangkap. Waktu itu memang sedang banyak demonstrasi. Tapi saya tahu benar Borges tidak tertarik untuk ikut. Lirik-liriknya pun jauh dari keras, malah menurut saya aneh dan susah dipahami.”

“Siapa namanya?”

“Borges. Luis Borges.”

“Saya seperti pernah mendengar nama itu.”

“Benarkah? Tapi setahu saya, dia tidak pernah merekam lagunya. Dia penyanyi panggung, meskipun tidak pernah tampil di panggung-panggung besar. Dia sering main di tempat-tempat tak lazim, misalnya panti jompo, halaman kantor pos, di depan siswa kursus karate, atau di depan kandang babi.”

“Nah, saya ingat sekarang. Sukab pernah menyebut nama itu.” 

“Dari mana Sukab tahu?”

“Saya juga tidak tahu,” jawab tuan rumah.

Lewat tengah malam Diego Militia pamit. Dia menenteng gitarnya dan berjalan kaki. Di dekat pintu gerbang, setelah menengok dan yakin tuan rumah tak melihatnya, dia menendang seekor kucing yang sedang berbaring. Kucing itu mencelat, Diego Militia buru-buru mempercepat langkahnya. Dia berbelok ke kiri, ke arah jalan besar. Beberapa anjing menggonggong di kejauhan. Lampu jalan di bibir simpang berkedip-kedip seperti mata serangga.

Di simpang Diego Militia sedikit bimbang, akan belok kiri atau kanan. Lantas dia putuskan kembali belok kiri, seakan-akan dia adalah pemeluk marxis yang teguh. Dia melewati rumah ibadah dan melihat beberapa pemuda berkumpul di depan gerbang. Pemuda-pemuda itu bercakap-cakap dengan suara dikecilkan. Meski tidak melihat dengan teliti, Diego merasa mata pemuda-pemuda itu mengikuti langkahnya. Timbul dalam dirinya keinginan untuk menghampiri mereka dan menendang salah satunya, tapi dia sadar, ini bukan di Argentina.

Setelah melewati deretan rumah dinas yang kosong dan sebuah wisma tua, dia sampai di perempatan. Jalanan sepi, tapi lampu lalu lintas tetap bekerja. Beberapa pengendara motor tak lagi mematuhi lampu-lampu itu. Ketika kembali hendak berbelok ke kiri, ke arah gedung perpustakaan, Diego melihat seseorang duduk di trotoar.

“Sukab?” 

Orang itu menoleh dan menatapnya dengan heran. Diego segera duduk di sampingnya lantas mengulurkan tangan.

“Saya Diego. Mestinya saya juga tampil tadi. Tapi setelah polisi-polisi itu membawamu, acara dibubarkan.”

Sukab menjabat tangan Diego. “Benarkah? Wah, sayang sekali. Padahal saya berniat kembali ke sana. Saya duduk di sini karena tertarik pada seseorang yang baru masuk ke mini market itu.” Sukab menunjuk bangunan mini market yang buka dua puluh empat jam. 

“Jadi kau tidak benar-benar ditangkap?”

“Tidak. Mereka cuma membawa saya ke perpustakaan untuk menanyakan pendapat saya tentang beberapa bab dalam sebuah novel.”

“Sungguh aneh. Novel tentang apa?”

“Tentang suatu peristiwa di Dili beberapa tahun lalu.” Sukab mengeluarkan sebuah buku dari balik bajunya. Diego membaca judul di sampul buku itu.

Jazz, Parfum, dan Insiden. Judul yang bagus. Cocok untuk judul album musik,” ujar Diego. 

“Maaf. Bung dari mana? Sudah pasti bukan orang Indonesia. Tapi kok fasih berbahasa Indonesia?”

“Saya dari Buenos Aires.”

“Sudah lama tinggal di Indonesia?”

“Tidak. Saya baru tiba beberapa hari lalu. Ketemu Mahmud, tuan rumah kita, di hotel tempat saya menginap. Kami ngobrol-ngobrol, lalu dia menawarkan saya main di acara tadi. Kebetulan saya sedang tur keliling dunia.”

“Apakah bung sudah belajar bahasa Indonesia sebelumnya?”

“Sebenarnya tidak. Ah, untuk menjawab pertanyaanmu saya harus menyampaikan sebuah rahasia. Tapi tolong jaga rahasia ini, ya.”

Sukab mengangguk. “Tenang saja. Saya bisa menjaga rahasia seperti orang kikir menjaga harta bendanya.”    

“Begini. Saya pernah ditangkap polisi dan dipukuli sampai nyaris mati. Setelah dibebaskan, telinga saya tak berfungsi beberapa bulan. Ketika kembali normal, tiba-tiba saya sudah menguasai semua bahasa di dunia. Saya tahu ini hal yang susah dipercaya, tapi begitulah kenyataannya.” 

Sukab tidak terkejut, air mukanya dingin. “Saya percaya,” katanya sambil terus menatap ke arah mini market. Keduanya diam beberapa saat.

“Apakah polisi-polisi tadi bertanya soal laporan insiden dalam novel ini?” tanya Diego kemudian. Dia membalik-balik halaman novel dan menemukan bagian yang dimaksudnya.

“Bukan. Mereka bertanya tentang jazz. Mereka meminta pada saya beberapa rekomendasi musisi jazz yang harusnya mereka dengar. Mereka kira sayalah yang menulis novel itu.”

“Tapi di sini tertulis nama pengarangnya, Seno Gumira Ajidarma.”

“Itu memang nama lengkap saya di kartu tanda penduduk. Sukab adalah nama panggung saya.”

“Oh.” Diego mengangguk-angguk. 

Saat itu mereka melihat seseorang keluar dari mini market. “Nah, itu dia,” seru Sukab. “Bung lihat orang itu? Namanya Borges. Sebentar lagi dia akan ditangkap polisi.”

Benar saja. Saat Borges berjalan ke kiri, beberapa orang polisi menghampiri dan langsung membekuknya. Dia sempat melawan sehingga polisi-polisi itu terpaksa menjatuhkannya. Borges dinaikkan ke mobil patroli yang langsung melaju kencang. Pelayan-pelayan mini market keluar untuk melihat peristiwa itu. Beberapa orang pemuda juga berkumpul di tempat kejadian. Dari tengah kerumunan kecil itu seseorang melambai pada Sukab dan Diego. Itu Mahmud, si pecinta kucing. Dia langsung menyeberang.

“Kalian di sini rupanya. Tadi saya mau beli makanan kucing,” katanya seolah ada yang bertanya. “Sukab? Cepat sekali kau dibebaskan. Padahal saya sudah berencana mengajak Hotman, kawan saya yang pengacara, untuk membebaskanmu.”

“Polisi-polisi itu tidak menangkap, mereka cuma ingin bercakap-cakap,” ujar Diego seakan-akan dia adalah Sukab.

“Nah, kalau begitu bagaimana kalau kita lanjutkan acara di sini saja?” 

“Gagasan bagus. Ayo!” Diego Militia langsung mengeluarkan gitarnya dan berdiri. Sukab ikut berdiri dan bersiap melontarkan rima-rimanya. “Yo. Yo. Bukankah kita harus menyelesaikan apa yang sudah kita mulai?” Si pecinta kucing senang sekali, seolah ia baru saja mencetuskan revolusi. Ia bertepuk tangan, berusaha mengikuti tempo gitar. Meski tidak berhasil tapi dia tampak semakin senang. Nyatalah, dia buta nada dan buta tempo. 

Mendengar suara gitar dan tepuk tangan, pemuda-pemuda yang berkumpul di depan mini market mendekat. Para pelayan mini market juga mendekat. Di trotoar, di sebelah kiri lampu perempatan, lewat tengah malam itu, sebuah konser musik berlangsung. Anjing-anjing menggonggong menimpali keriuhan. Dari kejauhan terdengar sirine polisi. Novel Jazz, Parfum, dan Insiden tergeletak di trotoar. Seekor kucing menyeret kakinya lalu langsung merebahkan tubuhnya di atas novel itu. Kaki kanan bagian belakang binatang itu nyaris patah, ia menatap sia-sia pada orang yang tadi telah menendangnya, yang kini berdiri tak jauh darinya dan seperti kesurupan menggaruk-garuk gitar. *** 

 

Blencong, 22 November 2020

Tuliskan komentar