Gadis kecil itu berlari semampunya di bawah guyuran hujan. Kaki kecilnya berjamahan langsung dengan dinginnya aspal. Tangisnya memecah alunan merdu hujan yang menghujam bumi. Gemuruh petir tidaklah membuatnya gentar untuk terus berlari. Beberapa Kali kakinya tersandung, karena matanya tidak bisa menangkap visualisasi dunia ini. Ya, gadis kecil itu buta. Sudah delapan tahun sejak ia lahir, ia tidak mengenal warna-warni dunia.
Lama berlari, lututnya pun terasa lemas. Akhirnya kakinya menabrak sebuah tiang. Ia jatuh tersungkur. Gadis itu kemudian meraba tiang itu, ternyata itu adalah penyangga sebuh gubuk yang terbuat dari kayu. Ia merangkak dengan hati-hati ke gubuk itu. Gadis itu menekuk lututnya dan kembali menangis. Bahkan, gubuk reot ini rasanya lebih baik dari rumahnya. Rumahnya terasa begitu mengerikan, setiap hari hanya ada suara pertengkaran ayah dan ibunya. Saling menyalahkan, tuduh menuduh, mengumpat, menyindir, ya hanya itu yang bisa ia dengar setiap harinya. Ia hampir lupa definisi kehangatan keluarga. Terakhir ia merasakan hal itu sekitar tiga tahun lalu, ketika kakak perempuannya masih hidup. Kakaknya yang cantik dan berprestasi. Hingga suatu hari, kakaknya ditemukan tewas gantung diri di kamar dalam keadaan tengah mengandung. Entah siapa ayahnya. Yang jelas, gadis kecil itu tak menyangka bahwa kakak kesayangannya itu tega melakukan perbuatan sekeji itu.
Sejak saat itu, kedua orangtuanya saling menyalahkan satu sama lain. Ayah menganggap bahwa ibu tak sanggup menjalankan perannya sebagai ‘guru pertama’ bagi anak karena kesibukannya mengurus butik, dan ibu balik menuduh ayah tak becus menjadi ayah karena kesibukannya berpolitik di Senayan. Entah siapa yang paling bersalah, yang jelas gadis kecil itu rindu akan peluk hangat keluarga yang harmonis seperti dulu.
Tiba-tiba, gadis itu merasakan kehangatan. Rupanya seseorang tengah meletakkan jaket ke tubuhnya.
“Masa depan kita masih panjang. Kenapa kamu rela bolos sekolah demi hujan-hujanan?” tanya seorang bocah lelaki.
“Sherenia Quininda,” bocah laki-laki itu mengeja badge seragam si gadis. Memang sih nama gadis itu agaknya ribet. “Rumit sekali namamu.”
Gadis itu cemberut mendengar penilaian si bocah laki-laki. Tidak bisakah dia berbohong sedikit demi menyenangkan dirinya? Memang dia tidak bisa lihat apa kalau Sheren sedang bersedih?
“Aku Gio Clavis,” ucap si bocah lelaki. “Hobiku adalah menyembunyikan dasi ayah, lalu melihatnya dijewer ibu karena ibu kira ayah lupa menaruhnya. Padahal aku yang menyembunyikannya. Haha…” ujar Gio panjang lebar, lalu diakhiri dengan tawa yang menggelegar. Gio tidak berbohong, itu memang hobinya, menurut Gio adegan paling lucu di dunia ini ialah ketika ayahnya yang terlihat garang di luar itu, tunduk patuh saat dijewer oleh ibu.
“Hiks.. Hiks” tangis Sheren.
Sontak Gio menoleh ke arahnya dan mengrenyit keheranan. Bukankah Gio barusan melawak? Tapi mengapa gadis di sebelahnya itu malah menangis?
“Mengapa kamu menangis? Aku kan sudah melawak barusan?” tanya Gio kesal.
Sheren merasa bersalah karena tangisannya itu. Seolah ia tidak menghargai usaha Gio untuk menyenangkannya.
“Terima kasih Gio sudah berusaha. Aku hanya iri padamu,” jawab Sheren sembari mengusap air matanya.
“Kepada?”
“Kepadamu. Aku merindukan lelucon semacam itu di keluargaku. Tapi, ayah ibuku sedang marahan hampir tiga tahun lamanya,” jawab Sheren. Matanya menerawang ke depan seolah masa indah itu ada di depan matanya.
“Kata mamaku, masalah itu mendewasakan,” ucap Gio.
“Berarti orang dewasa itu punya banyak masalah?” tanya Sheren bingung.
“Hmm,”
“Ih, nggak seru, Sheren nggak mau dewasa kalau gitu,” ucap Sheren lesu.
Gio tertawa sembari menusuk pipi bakpao milik Sheren dengan telunjuknya, “Itu artinya pikiran kamu masih sempit. Di alam dewasa banyak yang bisa kita dapetin tauk,” jawab Gio.
“Contohnya?”
“Bisa naek roll coaster. Kan kalo naek roll coaster batas usianya 17 tahun,” polos Gio.
Keduanya sontak tertawa. Gio yang sadar akan sempitnya argumen yang ia keluarkan, dan Sheren yang gemas dengan Gio yang sok pintar.
“Mau aku ajak ke surga?” tanya Gio.
Sheren reflek menggeleng ketakutan. “Aku masih mau jadi orang dewasa dulu. Mau main roll coaster. Matinya kalau udah tua aja.”
Gio memutar bola matanya kesal, “Memang siapa yang mau ajakin kamu mati?”
“Barusan. Surga kan adanya kalo udah mati,” jawab Sheren polos.
“Payah. Aku itu mau ngajakin kamu ke tempet yang bagus banget. Pokoknya bisa bikin kamu nggak sedih lagi deh,” ucap Gio percaya diri.
“Iya deh iya. Tapi jauh nggak?” tanya Sheren.
Gio menggaruk rambutnya yang tidak gatal, “Enggak sih. Cuma lima menit dari sini,” ucap Gio tenang guna menyembunyikan kebohongannya. Kabar baiknya, Sheren setuju.
Sheren sudah sangat antusias mengikuti ajakan Gio. Namun ternyata bocah itu malah mengajaknya ke ayunan besi yang berjarak sepuluh langkah dari gubuk. “Katanya mau ngajakin ke tempat yang cakep, kalau naik ayunan mah aku sering” adu Sheren.
Gio menjitak kepala Sheren dengan jahil, “Hey hey, ini bukan ayunan sembarang. Kamu tahu kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena kamu naiknya bersama a. Haha,” canda Gio. Begini nih benih-benih buaya darat.
“Dih!” Sheren yang kesal melampiaskannya dengan mencubit Gio kuat-kuat. Bukannya kesakitan, Gio malah semakin mengeraskan tawanya. Suara tawa Gio terdengar sangat renyah seolah menghipnotis Sheren untuk ikut tertawa.
“Sudah- sudah. Sini aku jelaskan rahasia mengubah ayunan biasa begini menjadi ayunan ala surga. Pertama, angkat wajahmu ke langit. Rileks. Nikmati tiap tetesan air hujan yang ada. Bayangkan mereka adalah vitamin kebahagiaan yang tuhan kirimkan buatmu. Lupakan semua masalah yang sedang kamu punya. Anggap saja hujan ini adalah charger untukmu. Kamu bisa mengisi bateraimu di sini,” ucap Gio meyakinkan. Dari cara bicaranya, Sharen pikir Gio cocok menjadi tukang hipnotis, karena saat ini dirinya benar-benar mematuhi perkataan Gio. Dan rasanya sangat nyaman. Perlahan, Gio mengayunkan ayunan mereka.
“Sudah rileks?” tanya Gio. Sharen kemudia menjawab dengan anggukan kepala saja.
“Sekarang aku akan mengayunkannya semakin kencang. Hitungan ke-10, kita berteriak sekencang-kencangnya. Anggap saja kita sedang membuang beban di dada. Paham?”
“Ya,” jawab Sheren mantap.
“Aaaaaa!” teriak keduanya. Teriakan itu ditutup dengan tawa bahagia dari Gio dan Sheren. Sore itu Sheren seolah menemukan kembali dirinya yang dulu. Sharen yang periang, cerewet dan ekspresif. Untuk pertama kalinya setelah tiga tahun lamanya dan itu semua karena Gio.
Sejak saat itu, Gio dan Sheren mengklaim tempat itu sebagai wilayah kekuasaan mereka. Setiap sore mereka selalu bertemu di tempat itu untuk bermain bersama, atau sekadar bertukar cerita. Hingga suatu hari, tiba-tiba sifat Gio sedikit berubah. Ia jadi agak pendiam. Ia juga tiba-tiba meminta Sheren untuk mengajarinya cara menulis huruf dengan braile. Sheren awalnya tidak menaruh curiga sama sekali. Hingga suatu sore ia menunggu sekian lama kedatangan Gio hingga larut malam, tapi ia tak kunjung datang. Alih-alih datang, seorang bocah berusia sekitar enam tahunlah yang datang dan mengaku membawa titipan surat dari Gio. Di situ, Gio mengucapkan kata perpisahan.
Gio pamit Sheren. Jangan cari Gio. Gio mau pergi ke tempat yang jauh banget. Sheren kalau besok udah boleh naek roll coaster harus hati-hati ya. Pegangan yang kuat, jangan sampe jatoh. Kalo sampe jatoh, Gio bakal jewer Sheren. Bye.
Untuk yang tercinta, Sherenia Quininda.
Dari yang tertampan, Gio Clavis.
*******************************
14 tahun kemudian
Sheren tersenyum puas sepanjang hari. Ia sibuk menandatangani buku karya miliknya yang hendak dibeli oleh para pembeli. Hari ini ia diundang ke sebuah mall di Jakarta untuk bergabung bersama komunitas milik Alana, sahabatnya. Komunitas Alana ialah komunitas fashion ternama, Sheren diajak oleh Alana untuk berkolaborasi mengadakan pameran bersama dirinya. Alana fashion show, dan Sheren bedah buku.
Usai acara, Sheren berjalan menuju gubuk tempat favoritnya bersama Gio dulu. Sudah sekian lama gadis itu tidak mengunjunginya, karena ia harus ikut ayahnya pindah ke Bandung usai kedua orang tuanya itu bercerai 14 tahun lalu. Untuk mengobati kerinduannya pada kota Jakarta, Sheren memutuskan untuk tinggal selama tiga hari di Jakarta untuk mengobati rasa rindunya.
Ketika hendak menyebrang ke tempat di mana taman itu berada, seseorang tiba-tiba menabrak Sheren. Orang itu menggeram kesal karena ia pun ikut terjatuh.
“Ah, maaf. Aku tidak melihatmu tadi,” sesal Sheren sembari mencoba meraba tangan orang itu. Namun, tiba-tiba orang itu menarik tangan Sheren dan menyeretnya berlari bersamanya. Anehnya bukannya menolak, Sheren malah mematuhi orang itu. Sekian lama berlari, orang itu membawa Sheren bersembunyi di semak belukar.
Orang itu menatap Sheren dengan gembira. Tak disangka ia bisa kembali bertemu dengan malaikat kecilnya itu di sini setelah 14 tahun lamanya terpisah. “Apa kabar my Queen?”
Sheren tersentak mendengar panggilan itu. Di dunia ini ia hanya mengizinkan satu orang saja yang memanggilnya dengan sebutan nama tengahnya, dan itu adalah Gio. Sheren segera menyentuh wajah orang itu untuk memastikan. “Kaukah Gio?”
“Hmmt,” jawabnya.
Sheren menangis penuh haru sembari memukul-mukul lengan Gio. “Gio jahat! Kenapa tiba-tiba ninggalin aku tanpa jejak?”
“Siapa bilang? Kan aku ninggalin surat buat kamu,” bantah Gio.
“It’s different thing, Gio! Nggak ada petunjuk supaya aku bisa cari kamu. Alamat kek, nomor telepon kek, atau apalah itu,” ucap Sheren masih sesenggukan.
“Forgive me, my Queen,” ucap Gio tulus sembari menjabat tangan perempuan itu. Ia memang sengaja membiarkan Sheren tidak bisa mencarinya. Ia takut Sheren berada dalam bahaya jika harus berdekatan dengannya. Rahasia kelam keluarganya terlalu berbahaya untuk Sheren. Gio tak mau malaikat kecilnya terluka karena itu.
Gio akhirnya mengajak Sheren berjalan ke sungai terdekat. Awalnya Sheren menolak karena ia lebih ingin pergi ke gubuk dan ayunan langganan mereka dulu. Tapi, Gio beralasan kalau tempat itu sudah digusur, padahal sebenarnya tidak. Gio sengaja mencari tempat yang sepi, kondisi saat ini terlalu berbahaya buatnya berada di keramaian. Sesampainya di sungai, mereka saling bertukar cerita satu sama lain. Namun, percakapan itu lebih didominasi oleh Sheren. Gio lebih berperan sebagai pendengar setia. Mengetahui perkembangan Sheren yang signifikan, bahkan sesukses ini sudah membuat Gio senang. Sheren-nya sudah kembali menemukan jiwa aslinya yang periang, tidak seperti saat pertama kali mereka bertemu. Tak terasa hari semakin sore, Sheren terpaksa harus mengakhiri pertemun mereka, karena malam ini Sheren harus menghadiri sebuah acara amal di panti asuhan.
“Besok hari terakhirku di Jakarta. Bisakah kita bertemu lagi?” tanya Sheren. “Please. Aku masih merindukanmu,” tambah Sheren dengan wajah memelas.
Gio tersenyum melihat perempuan itu. Entahlah, sedari dulu hanya Sheren yang bisa menentramkan hatinya. “Tentu. Besok juga hari terakhirku di sini.”
Sheren tersenyum puas. Mobil pesanan Sheren sudah datang. Gio pun segera membantunya untuk memasuki mobil itu. Mereka saling melambaikan tangan. Sheren perlahan menghilang dari pandangan Gio, menyisakan kehangatan di hati Gio, sayangnya Gio tau bahwa rasa itu tidak akan pernah berujung indah.
*************************************
“Lo gila! Kita itu harus segera meninggalkan Jakarta malam ini juga. Semua sudah siap. Tapi kenapa lo malah minta besok? Polisi-polisi itu pasti bakal semakin gencar nyariin kita!” amuk seorang lelaki bertubuh gempal dengan tato yang bertebaran di sekujur tubuhnya.
“Kalian duluan aja. Gue masih ada urusan!” ketus Gio. “Kalaupun gue akhirnya ketangkep, gue janji gak bakal bocorin rahasia kita,” tambahnya.
Si pria bertato terlihat sedang berusaha menahan emosinya, “Tapi ayah lu udah amanahin ke gue buat jagain lu.”
“Gue bisa jaga diri sendiri.”
*****************************
Sore harinya Sheren sudah berada di perjalanan menuju sungai Cilele, tempatnya dan Gio bertemu kemarin. Sheren membawakan sebuah sweeter rajut yang ia buat sendiri. Tujuh tahun lalu Sheren bergabung di komunitas tuna netra produktif. Di sana banyak sekali pelatihan skill untuk para tuna netra sepertinya, salah satunya ialah merajut. Sheren dengan semangat mempelajarinya. Setelah cakap, ia pun mencoba membuat sweeter pasanagn, satu untuknya, satu untuk Gio. Karena gadis itu yakin suatu saat bisa bertemu dengan Gio kembali. Dan terwujudlah keinginan itu. Akhirnya ia bisa menyerahkan sweter itu untuk pemiliknya.
“Mbaknya kok berani sih pergi sendirian. Hati-hati loh, kalo ketemu geng Clavis” ucap si sopir mobil tiiba-tiba.
Sheren sontak terkejut mendengar nama geng itu. Seperti nama belakang Gio. “Memang geng itu kenapa, Pak?” tanya Sheren.
Sopir iu kemudian bercerita, “Sekarang ini polisi lagi gencar memburu komplotan geng itu. Mereka adalah komplotan mafia Ibukota, kadang mereka juga jadi pembunuh bayaran. Ngeri deh pokoknya. Ketua geng itu masih muda, Mbak. Ganteng banget.”
Sheren menegang mendengar pengakuan si sopir. Clavis? Sheren berharap-harap cemas, semoga clavis ini bukan clavis-nya Gio. Tapi, kemudian Sheren mengingat bahwa ada sesuatu yang janggal dari Gio kemarin. Ia seperti mencium aroma darah yang bercampur dengan parfum mint milik Gio. Apa jangan-jangan?
“GC, Mbak,” ucap sopir itu.
“Apanya, Pak?” tanya Sharen dengan nada terkejut.
“Inisial ketua geng clavis,” jawab si sopir.
“Kepanjangannya?” tanya Sheren.
“Haduh, saya inget-inget dulu,” jawab si sopir kikuk sembari menggaruk tengkuknya.
Selama perjalanan Sheren berusaha menata hatinya untuk mengumpulkan kepercayaan sepenuhnya pada Gio-nya. Setelah satu jam perjalanan, sampailah Sheren di lokasi. Usai membayar, Sheren pun bergegas membuka pintu.
“Gio Clavis. Hehe, bapak baru inget,” ucap si sopir. Sheren yang terkejut hanya bisa menganguk.
Sesampainya di lokasi ternyata Gio sudah menunggunya. Laki-laki itu membawakan Sheren nasi goreng buatannya. Dulu sewaktu mereka kecil, Gio sering sekali membawa nasi goreng buatannya itu. Karena Sheren tidak percaya itu buatannya, Gio sampai membawa panci, kompor dan bumbu dapu lainnya ke taman untuk membuktikan pada Sheren bahwa memang Gio sendirilah yang memasaknya.
“Eum, rasanya nggak berubah. Tambah enak malahan,” puji Sheren usai menyendokkan nasi ke mulutnya.
“Gio dilawan,” sombong Gio yang kemudian menusuk gemas pipi Sheren dnegan telunjuknya.
Sheren yang kesal pun mencoba membalas perbuatan Gio, tapi ia malah tersandung dan menabrak sebuah tas.
“Aw!” pekik Sheren. Gio segera menyingkirkan tas itu guna menolong Sheren. Namun, tas itu malah ditahan oleh Sheren.
“Tas siapa ini?” tanya Sheren sok polos. Tangan kanannya mengepal menahan sesuatu yang mengalir dari telapak tangannya.
“Ah, itu milikku. Aku tadi baru saja pulang kerja. Dari pada bolak-balik pikirku langsung saja ke sini,” jawab Gio setenang mungkin. Gio kemudian panik melihat Sheren tertunduk dan menangis.
“My Queen, ada apa? Apa lututmu terluka karena jatuh?” tanya Gio. Ia mendekat dan mencoba menenangkan Sheren.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Sheren pilu.
“Masihkah kamu Gio-ku dulu atau bukan?” tangan kanan Sheren yang terluka kemudian menggenggam kemeja Gio. Rupanya tangan Sharen tergores pisau yang Gio simpan dalam tasnya. Pisau itu mungkin mencuat karena penuhnya muatan dalam tas Gio.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Karena Gio-ku dulu tak pernah berbohong. Tapi kamu? Sejak awal kamu berbohong. Kerja apa kamu sampai membawa benda tajam ke sana? Aku tau apa isi tasmu karena barusan saat aku jatuh aku membuka isinya. Dan lihat! Tanganku terluka,” ucap Sheren dengan penuh penekanan.
“Dan coba jelaskan aroma darah yang kucium saat kemarin pertama kita bertmeu. Kamu tidak terluka sama sekali kemarin, tapi dari mana darah itu? Aku tak mau mempercayai ucapan sopir tadi yang bilang kamu adalah ketua mafia itu, tapi,,,” Sheren menghentikan ucapannya karena rasa sesak di dadanya begitu kuat. Sheren menangis sejadi-jadinya. Tangannya semakin kuat mencengkram ujung kemeja Gio.
“Angkat tangan!” segerombol polisi kini mengepung Gio dan Sheren. “Nona, kemarilah, menjauh dari pembunuh itu!” teriak si kapten polisi.
“Siapa? Di mana penjahatnya?” tanya Sheren lemah.
“Tuan Gio Clavis,” jawab si kapten. Para polisi segera mendekati Gio dan bersiap memborgol kedua tangannya. Sebelum diborgol, Gio mengisyaratkan pada para polisi itu untuk berhenti sebentar. Gio kemudian mengambil sesuatu dari kantong kemejanya. Sebuah surat dengan tulisan huruf braile untuk Sheren. Ia kemudian menyodorkannya pada Sheren.
“Aku jelaskan semuanya di sini,” ucap Gio dengan tenang sembari meletakkan surat itu di pangkuan Sheren. Namun Sharen malah melempar surat itu darinya.
“Kamu tega meninggalkanku dengan cara seperti ini lagi Gio? 14 tahun lalu kamu pergi dengan sepucuk surat, lalu sekarang kamu ulangi lagi? Tidakkah kamu merasakan betapa hancurnya perasaanku?” marah Sheren.
Gio memungut kembali surat itu dan memberikannya pada Sheren, “Dengar my Queen, aku bukan manusia baik-baik. Bahkan sejak awal kita bertemu. Saat aku bilang akan pindah, sebenarnya aku tak benar-benar pergi. Aku hanya mencari alasan supaya tidak bertemu denganmu lagi. Saat itu pertama kali aku tau bahwa keluargaku ialah keluarga mafia, kami punya banyak musuh. Aku tidak ingin kamu terluka jika berdekatan denganku, makannya aku menjauh. Aku bahkan selalu mengawasimu tiap kali kamu pergi ke taman itu sendiri. Aku ikut hancur melihatmu menangis setiap sorenya di sana. Aku hancur. Dan sekarang kamu sudah tahu kan semua rahasia besarku. Semenjak ayahku mati dibunuh oleh musuhnya, aku semakin menggila, entah berapa nyawa yang sudah ku bunuh sejak saat itu. Aku menghabisi setiap nyawa yang terlibat dalam pembunuhan ayahku.”
Gio menjeda nafas sebentar. Ia memperhatikan Sheren yang sudah tidak sehisteris awal tadi, “Jadi, lupakan pendosa ini. Anggap semua kebaikanku dulu adalah angin lalu. Aku pamit. Jaga dirimu baik-baik.”
Gio mengusap puncak kepala Sheren hingga membuat rambut cokelatnya berantakan. Matanya bertabrakan dengan manik mata Sheren yang tengah menatapnya juga. Ia tersenyum, walaupun ia tau Sheren tak bisa membalasnya.