Menu

Ditelanjangi Masa Silam | Cerpen Nirmala Puspa

 

“Kita butuh hening sejenak, kamu juga sibuk sama tugas akhirmu kan… aku gak mau ganggu kamu aja, biar kamu fokus,” tak lama kemudian matanya menjatuhkan air mata dan menghisap air liur yang ada di hidung.

“Kamu sakit, Sil?”

“Nggak kok, aku cuman pilek aja,”

“Yaelah itu sakit flu, kita berhenti di apotek dulu ya beli obat,”

“Nggak deh, ntar juga sembuh sendiri,”

“Ya deh, terserah kamu, ntar kalo sakit,”

“Cium aku aja,” sahut sisil sambil tertawa, dan mereka pun tertawa.

Malam menjemput sore diiringi haluan udara lembut yang sedang dinanti-nanti seluruh semesta, mendeskripsikan jiwa-jiwa penuh pertanyaan, dan malam akan menjawabnya dengan kepastian. Suasana coffee shop malam ini sunyi hanya Reyhan, Sisil, Naga, Keyli dan Awak Café yang setia melayani pelanggan yang tak banyak itu untuk sekadar minum kopi atau makan kue olahan rumahan sambil ngobrol, dan wifian.

Berjam-jam mereka duduk ngobrol hanyut dalam suasana klasik Café Mozart seakan-akan tempat ini adalah rumah basecamp mereka. Karena memang tiada orang lain selain mereka. 

“Reyhan Kalavati,” sebut Sisil menyebut nama Reyhan dengan nada terbata-bata. 

“Kenapa, Sil?”

“Kita dua tahun pacaran, kamu belum pernah ngenalin aku ke orang tuamu. Aku tahu di rumahmu hanya ada kamu yang selalu sepi tak berpenghuni.” Bendungan air mata tak kuasa menetes deras diiringi dengan senyum tipu daya palsu mencoba tuk memperkuat diri.

Kedua sahabatnya memandangi dua temannya yang tiba-tiba saja berduka, sehingga suasana pun mencekam, tidak menghibur sesuai dengan angan-angannya sebelum sampai di coffee shop ini. 

Dimeja, aku melihat kenyataan pahit dengan diiringi pertanyaan-pertanyaan misterius, karena di telepon genggam Sisil terlihat nama dan foto persis mirip ibuku Ririn Sugandi yang menelpon Sisil. Mereka berdua terhanyut dalam kesedihan yang tak terencanakan, waktu seakan dituntut untuk berhenti, tak hanya itu dunia pun mengamini malam ini. 

“Dia Ibuku.”

“Satu minggu yang lalu aku berhasil menangkap segala pertanyaanku tentang dirimu, foto bayi yang digendong oleh ibu tiriku yang wajahnya sangat mirip denganmu. Anak bayi itu memakai baju bayi berwarna putih, topi coklat dengan toh (tanda lahir) di leher.

Ternyata sosok itu kini tepat didepanku, yaitu kamu, Reyhan Kalavati, seorang pria yang menjadi pacarku selama dua tahun dan kita yang sudah menikmati satu sama lain dengan cinta. 

Yaa… kita sudah bercinta berdua menikmati malam dengan sisa-sisa dunia yang membawa berita palsunya,” kata Sisil dengan meneteskan air mata.

Aku dan Sisil terikat dalam hubungan terlarang cinta sedarah yang tak boleh dilakukan oleh manusia manapun di seluruh muka bumi ini,” Ucap dengan penuh penyesalan.

Kopi, dan kue olahan rumahan seperti stupa dibiarkannya begitu saja, tiada yang lebih agung selain menangisi kenyataan. Kedua sahabatnya pun turut bersedih atas apa yang menimpa kedua sahabatnya itu, kenyataan pahit mereka adalah kakak adik.

Sejak malam itu mulut membisu serta bumi berhenti bergravitasi dipukul oleh kenyataan yang bertubi-tubi, dan menyedihkan. 

***

Pagi ini terdengar kabar dari koran langganan Reyhan terdapat foto Ibunya yang sedang  tertangkap di jalan raya karena kasus penggelapan uang di rumah sakit tempat ibunya bekerja. Matahari menjulang semakin tingginya menunjukkan hari semakin siang, panas menggercap dalam tubuh.

Sisil ditemukan tewas di depan rumahnya, dan Reyhan bertemu dengan Bapak kandungnya. Reyhan dan Bapaknya tak saling mengenal, namun ikatan anak dan orang tua yang tak bisa bohong berhasil menggabungkan kembali dua hati yang terpisah. Hati berkepala batu tetap keras, ego dan amarah menguasai ayahnya, Reyhan bukan anak yang diinginkan oleh Bapaknya.

Seperti minyak dan air aku dan bapakku tak pernah bisa bersatu, saat kami bertemu pun aku berusaha menjauh. Tak ada rasa sayang, dan cinta untuknya yang tersisa dari hati seorang lelaki sepertiku. Aku tetap menganggap bapakku adalah orang yang menyebabkan hidupku seperti ini. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. 

Setelah semua kejadian kualami dengan kesedihan, dan amarah itu kini aku memutuskan untuk benar-benar pergi meninggalkan rumah sesuai dengan saran almarhum ibu tempo lalu. Dua orang yg kucintai meninggal dengan kehendaknya sendiri. Kini hari-hariku hanya tersisa untuk diriku sendiri, dan sahabatku, serta orang-orang baru yang akan menghiasi kehidupanku nantinya. 

Selain Naga, seorang yang bisa aku percaya saat ini adalah dokter psikolog yang bersedia berikan pelayanan pengobatan seutuhnya untuk diriku. Masa silam telah menelanjangiku, tak kenal waktu, hari meracuni jiwa dan kesadaranku sebagai manusia. Namun aku percaya pasti ada cahaya untuk diriku sendiri.

***

Lamunanku tersikap oleh suara ketukan pintu dan suara pintu itu lama-kelamaan terbuka sendiri. Tepat di depanku berdiri seorang perempuan yang tak lain ialah kekasihku Rosa. 

“Udah kutebak pasti kamu belum mandi,” ucapnya dengan tersenyum

“Eh, sembarangan… udah wangi, ganteng gini, ya meski cuman pakai celana kolor dan kaos,”

Perempuan ini memelukku, aku jadi ingat pelukan ibu saat itu. Meski ibuku seorang narapidana, dia perempuan yang kuat, dan hebat. Kini keduanya memelukku dengan erat.

Tuliskan komentar