Menu

Resah | Cerpen Hikmatul Ika

Resah Cerpen Hikmatul Ika | https://www.liputan6.com/

 

“Apa lagi yang membuat kamu bingung sih, Za?”

Lamat-lamat aku memandang pesan elektronik itu dengan bimbang dan resah. Tentu saja begitu dilema. Bagaimana mungkin tidak gugup dengan kabar yang disampaikan sebelumnya? Mbak Nining yang tidak biasanya berbalas pesan serius, mengapa tiba-tiba menjadi kakak yang berbeda?

Hari sebelumnya pun aku telah merasakannya. Kakak satu-satunya itu entah mengapa bergelagat aneh, bahkan tidak biasanya terlalu dalam mengulik urusan pribadiku. Terdengar ganjil memang. Kendati kami bersaudara dan sesama wanita, tapi tak sekalipun membiarkan orang-orang bahkan sekelas Mbak Nining masuk terlalu dalam dan mengulik kehidupanku.

“Masih bingung?” kuterima pesan itu lagi. Aku diam begitu lama dan menimbang banyak hal, terlebih masih terkejut, juga resah.

Aku mondar-mandir sembari menggigit jari dibarengi layar laptop yang berkedip-kedip. Seolah-olah layar laptop itu mengikuti irama jantung yang semakin cepat dan kencang. Sepertinya tidak peduli lagi bila suatu saat lengah dan membiarkan naskah yang sedang kutulis hilang tanpa disimpan. Ya, aku sudah tidak peduli.

“Bagaimana menurut, Mbak Nining?” ungkapku mencari berbagai saran.

Dalam keheningan malam itu, aku belum bisa berpikir jernih, pikiranku berkecamuk. Sayang, pesan yang kukirim sudah centang satu.

Di suatu waktu, si embok pun pernah ikut menimpali, “Nduk, kamu sudah cukup umur untuk menikah. Selagi Embok dan orang tuamu masih ada, memangnya apa lagi yang ditunggu?” ungkap si embok suatu ketika.

Aku hanya bergeming tidak bisa menjawab dengan pasti. Meski pada kenyataannya yang dikatakan si embok itu benar, tapi aku tidak setuju. Bagiku, pernikahan bukan perkara usia, tapi kesiapan menghadapi hari-hari berikutnya.

“Kenapa, apakah kamu sudah memiliki teman dekat?” Si embok mencoba memecah kebisuan.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

Tentu saja aku mengelak. Meskipun iya, aku masih tidak yakin dengan status hubungan dengan teman dekat yang disebut-sebut si embok itu. Hubungan tersebut terlalu jauh dari kata kenyataan. Sebab terlalu banyak halang rintang dan perbedaan yang begitu kentara. Hubungan yang sudah tidak sehat dan terlepas betapa terasingnya teman dekat itu akhir-akhir ini.

“Ya sudah kamu sama dia saja” balas teman dekat itu ketika kuceritakan situasinya.

Aku tidak paham, apakah dia benar-benar marah atau sekadar pura-pura? Apakah dia kecewa atau hanya berperan belaka? Bisa jadi sebatas biasa saja. Sebab terlampau sering ketika kutanya tanggapannya tentangku, dia selalu mengelak dengan beragam cara bahkan nyaris mengalihkan segala pembicaraan.

Semua terjadi mungkin karena aku terlalu berharap padanya. Toh, dia pun sempat mengatakan bila tak terlalu ingin berurusan dengan hal-hal romansa. Dunianya hanya bermain dan bersenang-senang. Dia masih ingin mengikuti arah angin yang entah akan memberhentikannya di mana. Namun di sisi lain, adakalanya bersikap serius seolah-olah dia memang telah berkomitmen dengan keegoisan dan kekeraskepalaanku. Adakalanya dia bersikap seolah-olah aku adalah kebahagiaannya, bahkan seolah-olah separuh jiwanya. Lantas bagaimana mungkin tidak bimbang kepadanya?

“Mbak, kan enggak paham kriteria suami idamanmu, Za. Selama ibadah dan kepribadiannya baik, enggak ada salahnya, kan? Kali ini yang terpenting kamu cocok dulu dengan si calon, Mbak Nining yakin yang lain pasti bisa mengikuti. Kamu masih bingung?” kuterima pesan bernada yang sama lagi.

 

Tuliskan komentar