Menu

Ditelanjangi Masa Silam | Cerpen Nirmala Puspa

Karya Nirmala Puspa

Sejak kejadian lima tahun silam hingga saat ini, diriku dalam dunia begitu ambigu, dan aku juga tak benar-benar bisa memilah pikiran kacau atau tidak yang terbendung di kepala. Sedangkan, waktu berputar begitu cepat, mereka seperti sekumpulan orang yang sedang mengejar buronan. Aku harus bisa mengalahkan pikiranku yang buruk itu. 

Tubuhku menggigil dalam dinginnya Bogor, sementara nanti sore harus pergi ke kantor untuk bertemu dengan seseorang.  Pada waktu yang bersamaan Rosa memintaku untuk bertemu juga di sore ini.  Akhirnya aku putuskan duduk sebentar menenangkan pikiran, sejenak mengambil nafas sambil meminum kopi dan makan sedikit kue . 

“Ummm kue ini lezat sekali, sepertinya ini resep baru,” ujarku dengan tersenyum

Terjebak oleh pagi dengan kue dan kopi seperti sepasang kekasih yang tak terpisahkan, lamunanku seakan menayangkan beberapa kolase tentang sesuatu yang tlah aku tempuh selama ini. Tetap saja meskipun begitu kita tidak bisa berpindah tempat dari yang sekarang kita alami. Sekarang ialah sekarang ya hadapi. Saat ini berada di masa diri harus semakin matang dan bijak dalam menentukan sebuah pilihan.

Ya… pilihan yang tentu di dalamnya terdapat tugas yang harus diselesaikan. Sebagian besar dari kita manusia dituntut untuk merampungkan tugas apapun itu di bumi ini tempat kita hidup, tentu saja dengan dua akibat, entah hasil memuaskan atau tidak. Mulai dari proses sebuah usaha menuju keberhasilan, yang didalam proses itu terdapat kesialan, kesedihan, kegembiraan, keterpurukan, dari semua itu sungguh tak bisa terelakkan. Rasa campur aduk mengalir setiap waktu, selalu saja dikejar was-was, bahkan sesaat jiwa remuk jika terbelit kesialan ataupun kesedihan.

Namun berbeda dengan rasa yang selalu senang dan gembira ya tentu pasti bakal enteng-enteng saja menjalani apapun. Oiya… satu ini tak jauh beda dengan rasa, yaitu angan-angan yang terisi memenuhi isi kepala, mereka seperti hantu yang siap menghantui kapan saja dan dimana saja. Jika dipikir-pikir, hidup itu rumit namun harus hidup lebih dari kehidupan itu sendiri. Memenuhi segala kewajiban dengan tuntas, yang terkadang diri ini masih saja bajingan dalam menjadi manusia.

 Jika saja permasalahan semua itu tak terjadi,  aku bisa menyelamatkan diriku dari guratan luka, setidaknya perasaan dan tubuh yang kacau ini sirna tak membekas. Andai bulan, dan bintang tahu  masa laluku yang seperti terompet tahun baru berbunyi nyaring  sangat berdesing dipikiran, seperti peluru yang tertancap di kepala.

Ingin rasanya aku membuang semua ke tempat sampah, dan tak peduli apa yang akan terjadi padaku nantinya. Ingatanku tentang semua hal di masa silam yang menyakitkan seperti peringatan yang tak bisa terlupakan, meminta untuk selalu dikenang, menjerat seluruh tubuh dan jiwa, aku benar-benar ditelanjangi masa silam.

lima tahun yang lalu…

Tiada yang bisa lolos dari waktu… jam weker berdering kencang menunjukkan pukul 07.30 WIB. Masih tersisa kabut yang merangkai simpulnya menjelma menjadi tali yang melingkar dan mengikat pada kepala manusia. Pagi menyeruak diatas tempat tidurku merasuk ke dalam kalbu, sungguh tak bisa melarikan diri dari pagi. Bercinta dengan selimut, kasur, dan guling ialah kenyamanan paripurna yang tak bisa diganggu gugat.

“Boleh masuk?” 

“Masih tanya?” jawabku dengan mengerutkan dahi dan membuka selimut

“Reyhan,” suara ini terdengar lirih

 “Pulang… malam masih berlangsung…” ditariknya selimut hingga menutupi bagian kepala sampai kaki. 

Pelan-pelan selimut kutarik ke bawah mata, pintu dibuka oleh seorang perempuan yang berjalan pelan, terlihat tangannya yang lembut sedang menanggalkan tas dan jaket diatas kursi warna coklat. Matanya memandang penuh teliti di setiap sudut kamar, tatapannya yang tajam mampu mengetahui sampah yang terselip di lekukan bagian manapun, langsung saja ia mengambilnya. Tak lama kemudian perempuan itu menghampiriku, dan berdiri di depan tempat tidurku. Spontan langsung saja aku duduk. 

 Perempuan ini ialah ibuku memelukku dengan hangat yang rasanya seperti dipeluk oleh bidadari.

“Lain kali sebelum tidur pintu kamar dikunci dulu,” 

“Ibu datang kapan? Kok Reyhan gak dikasih tahu… kan Reyhan bisa mandi dan bersihin kamar dulu, biar keliatan rapi.”

Ibu tersenyum, “Kau masih sama seperti dulu, bangun tidur dan mandinya siang-siang, gak malu sama matahari?” tangannya yang lembut mengacak-acak rambutku.

Perempuan itu berdiri, tubuh dan rambutnya masih sama seperti ketika ia masih muda. Aku tahu dia yang dulu, tak sengaja kumenemukan kotak kecil di lemari pakaiannya yang berisi bunga kering dan kumpulan album foto masa mudanya.  Ibu ialah seorang gadis cantik idaman para pria. Wajahnya tetap sama seperti dulu, matanya yang tajam menatapku dengan penuh haru.

“Lima hari lagi kita akan pindah rumah, ibu sudah menyiapkan rumah baru untuk kita tinggal, kau pasti sangat menyukainya.” Ujarnya sambil mencium pipiku

“Untuk apa berpindah rumah? Di sini Reyhan udah nyaman banget. Lagian ibu kemana aja selama ini? udah hampir satu tahun aku sendiri di rumah ini,” Jawab Reyhan dengan nada marah.

Sementara Ibu hanya terdiam, tak bisa mengatakan apapun yang semestinya dikatakan. 

Reyhan beranjak dari tempat tidur, dan melepaskan pelukan ibu menuju ke kamar mandi, sedangkan Ibu memandangi seisi rumah yang berisi foto anak semata wayangnya sewaktu kecil. Salah satu yang mencuri perhatian pandangan ibu ialah foto Reyhan yang memakai topi warna coklat dan baju berwarna putih, saat masih berusia tiga bulan.

Foto itu memiliki kenangan manis, untuk pertama dan terakhir yang ditangkap oleh orang istimewa di depan gedung pertunjukan dan seseorang itu yang saat ini selalu menjadi pertanyaan Reyhan. Mata tajam ibu mendadak layu, beserta menghujankan tangisan yang diiringi oleh hati yang lara dan penyesalan yang selalu tak memberikan ampun. 

Sementara itu anak laki-laki semata wayangnya keluar dari kamar mandi melihat ibunya yang sedang berdiri kaku di depan foto masa kecilnya. 

“Siapa yang didalam foto itu?” tanya Reyhan

“Kamu, anakku” diiringi dengan mengusap air mata

“Bukan, dia itu orang yang selama ini kesepian memiliki orang tua tapi terasa yatim piatu,” ucapnya marah.

“Kamu sama sekali gak pernah tahu apa yang ibu rasakan dan yang terjadi selama ini,”

“Ya … memang … gak pernah tahu, dan apa pernah selama ini jika Reyhan sakit ibu selalu ada ? bahkan saat waktu senang sekalipun.” 

Menjawab perkataan Reyhan Ibu juga tengah mengambil air putih untuk meminum obat. “Reyhan tahu sendiri ibu sibuk bekerja banyak pekerjaan diluar rumah sakit, ibu bekerja semua untuk Reyhan. Sekarang apa yang tidak terpenuhi semua kebutuhanmu? Setiap bulan ibu selalu memberimu uang, bahkan sampai kamu bolos masuk kuliah ibu juga tak marah, jadi, tolong jaga ucapanmu. Dan satu hal yang tidak pernah berubah darimu, kamu masih seperti anak kecil hingga sekarang. Kamu memang tak pernah bisa dewasa,” 

 

Tuliskan komentar