Menu

Global + Lokal = Kesusastraan | Eka Kurniawan

Yogyakarta Sebagai Medan Kesusastraan

Yang menarik, kesadaran akan ketimpangan ini juga terjadi akhir-akhir ini, justru di “pusat-pusat” (jika boleh dibilang begitu) kesusastraan global. Di New York dan London, sebagaimana di Paris dan Barcelona. Juga melebar ke pusat-pusat penerbitan Eropa lainnya. Mereka mulai menyadari perlunya membaca “dunia” dengan lebih terbuka, lebih lebar, lebih adil. Beberapa penerbit, besar dan kecil, mengkhususkan diri atau memberi porsi yang besar kepada kesusastraan dari negeri-negeri/bahasa-bahasa yang selama ini tak terbaca. Kesusastraan dari negeri-negeri Asia dan Afrika mulai muncul tak hanya di toko buku, tapi juga dalam perbincangan. Bahkan beberapa di antaranya berhasil menyedot perhatian dengan memenangi berbagai penghargaan, yang selama ini cenderung memusat ke Eropa.

Dalam konteks semacam ini, saya rasa menarik melihat Yogyakarta dengan iklim (dan sumber daya) perbukuan serta kesusastraannya. Dalam kancah global, sebagaimana kesusastraan Indonesia umumnya, Yogyakarta barangkali hanya kota kecil di peri-peri jejaring kesusastraan global. Ia terhubung ke sana, tapi betotannya barangkali tak terasa. Bahkan untuk ukuran Asia pun, kesusastraan modern kita masih di bawah dominasi pusat-pusat kesusastraan macam Jepang, China, India, Arab, dan akhir-akhir ini Korea mencuri perhatian. Meskipun begitu, dalam konteks nasional Indonesia, Yogyakarta adalah “pusat”. Yogyakarta adalam pemain dominan dalam kesusastraan nasional.

Sebagian besar penulis Indonesia, jika tidak lahir di sekitaran Yogyakarta, mungkin pernah tinggal di sana. Atau bukunya diterbitkan penerbit Yogyakarta. Atau setidaknya sekali-dua kali, atau sering, melakukan acara kesusastraan di Yogyakarta. Dalam tingkat tertentu, kehidupan kesusastraan di Yogyakarta jauh melampaui kota-kota lain di Indonesia, termasuk Jakarta. Ini didukung oleh iklim perbukuan, lingkungan universitas, dan tradisi kebudayaan yang panjang di mana hubungan jejaring dengan dunia intelektual dan kesenian lainnya erat terjadi. Itulah kenapa Yogyakarta bisa disebut sebagai “pusat”, setidaknya salah satu “pusat” dalam konteks kesusastraan nasional.

Bicara kembali konteks global dan lokal, Yogyakarta menempati posisi yang unik. Ke luar, ia bisa menatap kesusastraan global yang begitu luas, dipenuhi oleh pemain-pemain besar maupun kecil. Ke dalam, ia menghadapi kesusastraan lokal, yang terhubung ke dunia melalui dirinya. Bayangkan penulis-penulis atau kesusastraan yang tumbuh dan lahir di wilayah-wilayah tepian (secara teritorial maupun kebudayaan) Indonesia. Penulis dari Aceh, Kalimantan, Nusa Tenggara, bahkan Jakarta, yang masuk ke jejaring kesusastraan global ini melalui simpul Yogykarta.

Di sini kita bisa melihat ketimpangan dalam ke susastraan global, pada dasarnya juga direplika dalam wilayah kesusastraan lokal. Tak hanya secara wilayah, di mana Yogyakarta menjadi simpul utama yang mempengaruhi ke susastraan Nasional, tetapi juga secara gagasan. Jika ke susastraan global yang dipengaruhi oleh ke susastraan Inggris sangat kental warna putih-kristen-lelaki, dalam ke susastraan Indonesia bisa jadi kental warna lelaki-jawa-islam. Tak terelakkan, jika kita mengingat simpul utamanya ada di Yogyakarta.

Sebagai wilayah pinggiran dalam konteks kesusastraan global, masih banyak yang harus dilakukan memang. Dunia kesusastraan yang timpang erat kaitannya juga dengan dunia politik dan ekonomi yang timpang. Tapi, jika pusat-pusat dunia mulai tersadarkan untuk membaca lebih adil dan beragam, dengan menerjemahkan karya-karya dari negeri/bahasa yang tak mereka sebelumnya, di sini saya kira Yogyakarta bisa berbuat hal yang sama. Ke susastraan Indonesia harus menjadi jauh lebih egaliter: memberi ruang yang luas pada berbagai tradisi agar bisa dibaca luas.

Yogyakarta tentu saja sudah melakukannya. Akan tetapi, saya membayangkan Yogyakarta tak hanya menjadi simpul bagi penulis dan ke susastraan dari berbagai wilayah masuk ke arena. Saya berharap, tradisi yang terbangun di Yogyakarta juga bisa direplika di berbagai tempat, tentu dengan kondisi masing-masing. Iklim intelektual dan perbukuan yang beragam di mana-mana, akan menciptakan kesusastraan yang lebih egaliter. Orang Jawa akan sama familiarnya dengan kebudayaan Bugis sebagaimana tentang kebudayaannya, melalui buku dan kesusastraan. Demikian juga orang Bali membaca kesusastraan Aceh. Kesusastraan global yang egaliter, bisa dimulai melalui kesusastraan lokal yang egaliter.

Terakhir, tentu saja ke susastraan yang egaliter tak hanya merefleksikan keberimbangan wilayah atau budaya, tetapi juga subkultur-subkultur lainnya yangs ering termarjinalkan. Memberi ruang yang lebih luas untuk perempuan, untuk orientasi seksual yang berbeda, juga kelompok-kelompok minoritas lainnya (dalam agama, bahasa, maupun etnis), sama pentingnya dengan memberi tempat kepada tradisi ke susastraan berbasis wilayah. Yogyakarta sudah melakukannya, tapi harus secara sadar terus melakukannya. Jika ia bisa melakukannya dengan berhasil dalam konteks nasional, dunia global barangkali bisa mencontohnya dengan baik.

Jakarta, 26 September 2019

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

Tuliskan komentar