Menu

Global + Lokal = Kesusastraan | Eka Kurniawan

Kondisi Kesusastraan Kita

Hal yang sama tentu terjadi dalam kesusastraan. Sekali lagi, sebagaimana internet yang kita ketahui sekarang, sebagaimana kuliner yang sudah kita bicarakan, kesusastraan merupakan suatu jejaring dunia yang jauh lebih tua. kadang-kadang ia bersifat egaliter. Kita berbagi pengetahuan dan pengalaman, dari satu negeri ke negeri lain, dari satu peradaban ke peradaban lain, bahkan dari satu generasi ke generasi lain. Meskipun begitu, selalu ada kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dalam jejaring semacam itu, hingga hubungan yang egaliter berubah menjadi hubungan dominasi-mendominasi.

Dalam konteks kesusastraan global, secara kasat mata kita bisa melihat dominasi semacam ini. Jika kita bicara tentang kesusastraan global, pada dasarnya besar kemungkinan kita bicara tentang kesusastraan berbahasa Inggris, atau kesusastraan dari bahasa lain yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yang artinya, kesusastraan yang telah dipilih, dikurasi, untuk selera pembaca bahasa Inggris. Dunia, pada akhirnya memandang kesusastraan global nyaris persis seperti pembaca bahasa Inggris (umumnya di Amerika atau Britania) memandang kesusastraan.

Di ruang-ruang diskusi di Yogya, atau di buku-buku karya penulis Yogya (sebetulnya penulis mana saja di Indonesia), kita bisa melihat pengaruh ini dengan nyata. Dengan mudah kita mendengar seseorang bicara tentang Ernest Hemingway, John Steinbeck, atau penulis-penulis Eropa yang mereka kenal melalui terjemahan Inggris (dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit lokal) macam Franz Kafka, Gabriel Garcia Marquez, Jorge Luis Borges, dan lain sebagainya. Kita bisa melihat hirarki ini dengan jelas: pertama kesusastraan berbahasa Inggris, kedua, kesusastraan berbahasa Eropa yang secara kultur denkat dengan kultur berbahasa Inggris, setelah itu barangkali negeri-negeri Asia dan Afrika.

Di mana letak kesusastraan Indonesia dalam konteks global ini? Sangat jelas, di pinggiran. Sangat sulit menemukan penulis Jepang, Hungaria, Jerman, Prancis membicarakan gagasan-gagasan kesusastraan Indonesia dalam obrolan paling remeh sekalipun, kecuali tentu saja orang-orang yang memang punya hubungan tertentu (pendidikan, keluarga, ekonomi) dengan Indonesia. Dalam konteks seperti itu, kita juga bisa menempatkan kesusastraan dan para penulis di Yogya secara umum. Kita berada di dalam jejaring kesusastraan global, tapi sebagaimana jejaring kuliner yang menciptakan kolonialisme, kita berada dalam posisi subdominan.

Posisi yang timpang ini sudah banyak dibicarakan, bahkan sejak era kolonial di mana penjajahan tak melulu dilakukan secara fisik, tetapi juga melalui penaklukan gagasan. Kesadaran ini tak hanya terjadi di kalangan subdominan, di mana mereka mencoba “melawan balik”. Kasus bagaimana kesusastraan Amerika Latin masuk ke dunia lama (artinya ke dunia nenek moyang mereka), barangkali merupakan contoh yang baik, meskipun untuk melakukan itu, mereka juga “terpaksa” melakukannya melalui salah satu bahasa penakluk: Spanyol. Melalui bahasa Spanyol mereka menyeberang ke bahasa Inggris dan kemudian menjadi fenomena global.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

 

Tuliskan komentar