Menu

Sastrawan Damaira Korban ‘65, Siapa Dia? | HA. Muntaha Mansur (terakota.id)

Kami bukan lagi

Bunga pajangan

Yang layu dalam jambangan

Cantik dalam menurut

Indah dalam menyerah

Molek tidak menentang

Ke neraka mesti ngikut

Ke sorga hanya menumpang


Terakota.id–Penggalan bait di atas diambil dari puisi bertajuk Wanita. Puisi ini ditulis seorang pengarang perempuan Indonesia bernama Damaira. Pertama kali dimuat di majalah Api Kartini, Maret 1959. Damaira merupakan nama samaran Sugiarti Siswadi, pengarang perempuan Indonesia yang namanya dikubur rezim Orde Baru (Orba).

Sejumlah seniman berkumpul di Jakarta karena menilai revolusi Agustus 1945 dianggap belum selesai. Mereka mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), 17 Agustus 1950. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra tak Membakar Buku menyebut Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi. Mereka bekerja di lapangan kebudayaan, terutama kesenian dan ilmu.

Majalah Tempo, Lekra dan Geger 1965 (2014: 12), Gregorius Soeharsojo Goenita, seniman Lekra asal Sidoarjo, mengaku kepincut masuk Lekra karena visi yang dibawanya. Lekra menurut George, mengusung tema revolusi dan kondisi rakyat tertindas. Hal yang sama diungkap Djoko Pekik. Ia tertarik karena lekra mengusung kredo kerakyatan, memompa semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan neokolonialisme.

Kapitalisme ialah corak produksi yang di dalamnya orang-orang dipilah-pilah berdasarkan hubungannya dengan akses dan kepemilikan sarana produksi (selengkapnya lih. Dede Mulyanto, 2012: 22). Sedang, neokolonialisme merupakan suatu sifat dari relasi antar-negara dan arus kekuasaaan di dalam satu sistem akumulasi kapital yang bersifat global (lih. David Harvey, 2010: 38). Sukarno dalam Indonesia Menggugat menyebutnya sebagai sistem yang menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain. Bentuk mutakhirnya, menurut Sukarno, mulai merambah Hindia-Belanda di abad ke-19 dan 20, berbasiskan pada liberalisasi investasi, perdagangan bebas dan komersialisasi tanah.

Setali tiga uang dengan PKI, partai politik legal kala itu, yang didapuk sebagai dalang pembunuhan para Jenderal dan rencana kudeta pada 1965. Lekra mengalami hal yang sama, dibubarkan. Para senimannya diburu untuk dipenjarakan maupun dibunuh. Padahal, Lekra berbeda dengan PKI. Lekra bukan lembaga di bawah naungan PKI.

Nyoto sendiri, salah satu pendiri Lekra sekaligus pengurus pusat PKI, menolak ketika Lekra dimasukkan ke dalam PKI. Oey Hay Djoen (Majalah Tempo, 2014: 54), mengatakan bahwa pertimbangan penolakan Nyoto sederhana. Lantara Lekra terdiri dari banyak seniman yang bukan anggota partai, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani.

“Sebab, tak satu pun yang berhasil mem-PKI-kan Lekra kecuali Soeharto. Bahkan Aidit tak bisa,” kata Putu Oka Sukanta, seniman Lekra asal Bali (Majalah Tempo, 2014:60).

Di lembaga inilah Sugiarti Siswandi aktif. Ia termasuk orang penting di tubuh Lekra. Ia terpilih sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra saat Kongres I Lekra, 1959, di Solo. Ia sejajar dengan Affandi, Agam Wispi, Njoto, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, dan sosok-sosok penting lainnya. Ia tidak hanya aktif dalam gerakan politik kebudayaan. Tapi juga produktif dalam berkarya.

Karya-karyanya sering muncul di media massa, terutama Harian Rakjat. Selain itu, ia juga aktif dalam penerbitan majalah Api Kartini. Di majalah milik Gerwani ini, Sugiarti Siswandi lebih berperan sebagai jurnalis. Di sana lah ia kerap menggunakan nama pena, Damaira (dalam puisi) dan akronim S.S. (dalam sebuah saduran).

Aktivitas Sugiarti Siswadi dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dijadikan alasan utama oleh Orba dalam menghapus jejaknya. Biografinya sulit ditelusuri. Karya-karyanya ditutup rapat, dilarang untuk dibaca. Satu-satunya buku yang pernah diterbitkan atas namanya dengan judul Sorga Dibumi, dilarang sekaligus oleh dua lembaga. Yaitu oleh Pembantu Mentri P.D dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo pada 1965 dan Tim Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada 1967.

Namanya kerap disebut sebagai pengarang perempuan Indonesia. Tapi tak pernah disebutkan biografinya. Ia juga tidak dimasukkan dalam angkatan sastra manapun.

Manaqib Sugiarti Siswandi ini dapat dibaca dalam buku Karya-karya Lengkap Sugiarti Siswandi: Hayat Kreatif Sastrawan Lekra. Buku ini ditulis oleh Fairuzul Mumtaz. Sorang santri alumni Pesantren Krapyak dan pesantren di Brabo, Grobogan.

Fairuzul Mumtaz kepada Terakota.id menuturkan Sugiarti adalah sosok yang unik. Ia merupakan satrawan Lekra yang produktif. Bahkan, menurut Fairuzul, Sugiarti lebih produktif dari sastrawan laki-laki pada masanya. Pada kurun 1957-1965, ada sekitar 22 karya Sugiarti yang bertebaran di koran, majalah, maupun dalam bentuk antologi. Di antaranya kumpulan cerpen Sorga Dibumi, kumpulan puisi Gelora Api 26, Satu Mei Didesa, Kasih Bersemi, Orang Kedua, Pengadilan Tani, Budak Kecil, Kepada Sahabat Asia-Afrika dan lain sebagainya.

“Ia juga anggota Lekra di teras depan. Tapi namanya tenggelam begitu saja. Tak ada yg berniat menguliknya sama sekali. Karya-karyanya pun tak dapat dianggap remeh dari sisi kualitas. Mungkin tak hanya Sugiarti, sastrawan perempuan Lekra hampir tidak ada yang berniat mengangkatnya menjadi tema utama dalam penulisan maupun penelitian,” terang Fairuzul melalui pesan elektronik.

Selain itu, Sugiarti merupakan yang terdepan dalam memikirkan nasib anak-anak melalui sastra. Sugiarti tidak antipolitik. Sebab, menurut Fairuz, ia sadar sedang berada dalam lingkaran merah. Puisinya dikutip di mana-mana dan beberapa karyanya yang berbicara tentang anak dan perempuan, menurut Fairuz, masih cukup relevan hingga kini.

Sebagaimana penjelasan Fairuzul, nama-nama pengarang Lekra hanya disebut sekilas. Bahkan, menurutnya, tidak lebih dari 140 karakter twit untuk menjabarkan biografi mereka. Begitu pula dengan sastrawan Lekra yang berada di pengasingan atau menjadi diaspora, juga sangat jarang menyebut nama-nama perempuan teman mereka.

“Sesekali saya menemui nama Sugiarti di buku Hersri Setiawan dan puisi Abdul Kahar Ibrahim. Selebihnya mungkin mereka (me)lupa(kan),” jelas Fairuzul.

Pada masa itu, periode 1950-1965, penulis perempuan dalam tubuh Lekra masih sangat sedikit. Dapat dihitung dengan jari. Menurut Fairuzul (2016: 54), agak sulit menentukan apakah seorang penulis perempuan yang dimuat di media massa, seperti Harian Rakjat atau Api Kartini, adalah anggota Lekra.

Bagi Fairuzul, yang lebih memungkinkan adalah melihat dari susunan pengurus Lekra. Dari sana ia menemukan tiga nama perempuan: Dhalia, S. Rukiah Kertapati, dan Sugiarti Siswadi.

“Mengenai nama-nama perempuan Lekra saya tak hafal betul. Beberapa saya sebut di buku tapi lengkapnya bisa dilihat di trilogi Lekra Tak Membakar Buku,” ucap Fairuzul.

Soal bagaimana pengarang perempuan Lekra ditempatkan, Fairuzul justru balik mempertanyakan. Menurutnya, kalau pengarang perempuan Lekra saja tak pernah disebut-sebut, bagaimana mereka akan ditempatkan? Nama S. Rukiah menurutnya sering disebut. Belakangan ada yg menerbitkan bukunya.

“Selain itu tidak ada. Rukiah pun belum diketahui dengan jelas, apakah ia Lekra atau bukan. Meski begitu, ia sahabat Sugiarti. Atau mungkin juga karena karya perempuan Lekra belum cukup untuk diterbitkan dalam antologi tunggal,” terang Fairuz.

Dengan bukunya, Fairuz berharap ada teman atau kerabat atau keluarga Sugiarti yang bisa memberikan keterangan lebih lengkap. Sehingga dapat disajikan lebih komplit kepada pembaca.

Tema Sentral dalam Karya-karya Sugiarti Siswandi

Tema yang sering muncul dalam karya-karyanya tak jauh dari ideologi Lekra. Dalam Mukaddimah Lekra, disahkan dalam Kongres Nasional Pertama Kebudayaan Rakyat, dinyatakan bahwa rakyat merupakan pencipta dan pembangun kebudayaan Indonesia.

Kelahiran Lekra ditujukan untuk membantu tercapainya kemerdekaan tanah air, perdamaian antar bangsa, dan kebebasan kepribadian berjuta-juta rakyat. Lekra juga mengajak para pekerja kebudayaan untuk mengabdi bagi kemajuan, kemerdekaan, dan pembaruan Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, 2003: 186)

Sebagaimana ditulis Fairuzul Mumtaz (2016:64), tema yang diangkat cukup beragam. Namun , tema besar yang mendominasi dalam karya-karya Sugiarti Siswadi adalah tema perempuan dan anak. Sedang tema lainnya seputar partai, buruh, petani, revolusi, dan agama.

“Merespon landreform, Sugiarti menampilkan dua peristiwa penting yang terjadi di Jawa Tengah, Klaten dan Boyolali. Masing-masing dalam cerpen berjudul Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman,” tulis Fairuzul.

Cerpen Sugiarti Pengadilan Tani lahir dari rahim sejarah gerakan tani kala itu. Ketika itu kaum tani melakukan respon atas lambatnya pelaksanaan amanat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Dalam cerpen ini, Sugiarti berkisah tentang seorang tuan tanah yang melaporkan 130 orang petani. Mereka dianggap telah merampas kekayaannya. Namun, di muka pengadilan, 130 petani itu justru membongkar kejahatan tuan tanah: bagi hasil yang merugikan petani, memalsukan surat tanah, menjadi rentenir, dan lain sebagainya.

Sedang tentang anak, Sugiarti menyatakan bahwa sastra mempunyai tugas yang vital bagi anak-anak. Sastra anak bertugas menyiapkan anak-anak menjadi manusia zamannya. Karenanya, Lekra harus memberikan perhatian terhadap sastra anak. Hal ini, sebagaimana ditulis Fairuzul, disampaikan Sugiarti dalam presentasinya pada Konferensi I Lekra di Medan, 22-25 Maret 1963.

Dalam referatnya Sugiarti menyampaikan (Fairuzul Mumtaz, 2016: 50), “Pendeknja, literature kanak2 kita harus konsekwen mendjundjung pantja tjinta (tjinta tanah air, kerdja manusia, perdamaian dan orang tua) jang diabadikan pada tjinta sosialisme. Literatur kanak2 kita harus berwatak sosialis.”

Hal ini bisa dibaca dalam cerpen Sugiarti berjudul Sorga Dibumi. Dalam cerpen ini, ia memberi suguhan yang berbeda tentang surga. Surga bagi sang anak, tokoh dalam cerpennya, tidak hanya nanti ketika telah mati. Namun, juga bisa diwujudkan di bumi dalam bentuk lain, yaitu Sosialisme.

Puisi pembuka di atas, dapat membawa kepada apa yang dipikirkan Sugiarti tentang perempuan. Ia mengritik ketidakadilan yang kerap kali diterima perempuan. Baik yang disebabkan oleh feodalisme, patriarki, imperialisme, dan lain sebagainya. Melalui karyanya, Ia juga mengajak perempuan untuk turun ke lapangan perjuangan.

“…… /Kami bukan lagi hanya penabur bunga/Membaca doa dan meratapi kehilangan/ Kami adalah sebagian anggota pasukan yang terdepan//” tulis Sugiarti dalam puisinya, Kebebasan.

 

Sumber: http://bit.ly/SastrawanDamaira

Tuliskan komentar