Dimensi fakta dan fiksisontak mengemuka di khalayak umum sebagai polemik atas respons dalil Rocky Gerung di Indonesia Lawyers Club (ILC). Beragam pendapat bermunculan. Media sosial menjadi tempat apik untuk menggelar pendapat personal. Sebagian besar opini publik itu setidaknya bisa terbagi dua cabang: mengutuk dan mengapresiasi.
Tulisan ini tak hendak meneruskan adu pendapat seperti kebanyakan orang. Apalagi mendukung salah satu perspektif di antara mereka. Namun, catatan singkat ini ingin berusaha menerka duduk perkara polemik berdasarkan kecenderungan argumen yang disodorkan banyak pihak. Dari sana kemudian ditarik benang merah epistemologis polemik yang dicorongkan publik.
Setidaknya terdapat dua kubu berhadapan sengit manakala menyoal kitab suci sebagai obyek pokok permasalahan. Topik ini sebetulnya hanya cipratan analogis dari durasi dialog ILC. Rocky, dosen filsafat UI itu, tergelitik memberi sketsa yang rawan mengundang pro dan kontra untuk mendedah kedudukan kata benda fakta dan fiksi berikut kata sifatnya—aspek faktual dan fiksional.
Topik fakta dan fiksi sebetulnya lazim di ruang dialog akademik. Tapi ia tak lagi umum tatkala dikontekstualisasikan ke dalam situasi politik yang mulai sengit menjelang 2019. Rocky mafhum situasi ini, namun ia terjebak pada arus diskusi yang meniscakan perluasan topik. Sayangnya ILC bukan kelas filsafat yang bebas mendedah wacana dialog setelanjang-telanjangnya.
Tempat diskusi ILC yang kecil itu sesungguhnya biasa. Akan tetapi, ia tak lagi lazim karena jutaan orang menyaksikan. Terutama topik yang digelar di sana rawan diserbu gunjingan hingga delik. Kondisi demikian wajar karena hukum rimba jagat maya tak kenal ampun. Semua berhak mengalamatkan pendapat selama punya media sosial. Resepsi pembaca (komentator) biasanya lebih naif ketimbang esensi diskusi itu sendiri.
Yang dominan dari beragam pendapat itu adalah seputar ucapan sinis warganet terhadap sikap Rocky mengenai kefiksian kitab suci. Komentator langsung memberi predikat macam-macam atas dasar perspektif moral. Sedangkan versi komentar lain cenderung menitikberatkan ujaran Rocky melalui perspektif ilmu pengetahuan.Dua pendapat itu sebetulnya menarik karena secara implisit merepresentasikan konstruksi berpikir komentator.
Di tengah peta psikologi komentator di media sosial hari ini perkara apa pun akan lebih seksi karena direspons secara instan. Pepatah arkais Jawa menyebutnya sebagai “…kagetan”karena sejumlah argumentasi yang disemprotkan. Warganet kaget dan sontak membubuhi predikat beraneka rupa. Ia tak menelusuri duduk perkara secara matang—apalagi menggunakan analisis kritis.
Mengharapkan analisis kritis dari warganet serupa mencari intan diliang lumpur kental. Bukan mustahil menemukan intan itu tapi perlu kesabaran ekstra. Pada kasus fakta dan fiksi, baik ditekankan berdasarkan sudut pandang moral maupun ilmiah, sama-sama memiliki kadar “kebenaran” masing-masing. Mempertentangkan atau memperdebatkan dua pendapat itu terasa sia-sia bila tak mengacu pada etika diskusi yang sehat dan penuh rendah hati.
Memperkarakan argumen Rocky untuk diadili di meja hijau bukan sikap bijaksana. Pertama, Rocky mengeksplanasikan pendapatnya di forum terbuka dan bertumpu pada dalil-dalil indiosinkrasi versinya sendiri. Kedua, mempolisikan Rocky atas dasar penistaan agama karena menggeneralisasi kefiksian kitab suci sama saja merupakan tindakan politis. Yang terakhir ini, apalagi, didasarkan atas Pasal 28 Ayat 2 dan Pasal 45 Ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang problematis karena dikategorisasikan pasal karet.
Arena diskusi, sebebas apa pun, mesti ditanggapi secara proporsional dengan argumentasi lain. Di sini tradisi debat semakin mengikis bila sedikit-sedikit mempersoalkannya ke muka pengadilan. Ini mirip dengan kasus pengadilan pikiran kreatif yang pernah dialami H.B. Jassin dan Salman Rushdie. H.B. Jassin diduga ikut bertanggung jawab karena meloloskan cerpen Ki. Panji Kusmin—nama samaran—berjudul Langit Semakin Mendung. Sedangkan Salman dituduh menista agama Islam dan difatwa mati oleh Ayatollah Khomeini karena novelnya bertajuk Satanic Verses.
Walau perkara Rocky, Salman, dan Jassin relatif berbeda konteks, ketiganya sama-sama mendapatkan tanggapan yang tak semestinya. Dimensi kreativitas dan kebebasan pikiran, dengan demikian, menjadi bukti masih rawan dipolisikan oleh mereka yang tak memposisikan aspek fakta dan fiksi secara setakar. Kedua hal ini ternyata tak diberi tempat khusus di benak jamak orang.
Jika Galileo Galilei dulu dibunuh karena penyimpangan pikiran oleh otoritas gereja, kini inkuisisi bersalin rupa bukan oleh institusi keagamaan, melainkan kesempitan berpikir banyak orang. Problematika kesempitan memandang obyek menjadi salah satu PR terbesar manusia dari dulu hingga sekarang. Tanpa sikap kebijaksanaan meneropong lapis-lapis kebenaran tiap orang, pertumpahan darah niscaya tak terelakan. Walau pertumpahan darah itu kini menyelinap di balik ujaran kebencian.
Rony K. Pratama, Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2011.
Ilustrasi oleh Mathorian Enka.