Menu

Dialog dan Kolaborasi Membangun Perdamaian Dunia | Esai Albertus Agung Cahyo Putro

https://www.startribune.com/nationalism-is-not-the-only-threat-to-peace/331474891/

https://www.startribune.com/nationalism-is-not-the-only-threat-to-peace/331474891/

Termuat di salah satu kolom koran Kompas edisi Rabu, 11 November 2020 tentang ajakan para menteri luar negeri ASEAN kepada AS. Mereka mengajak Presiden Amerika Serikat menjaga perdamaian di Asia Tenggara. Ajakan para Menlu tersebut tidak lain adalah sambutan hangat kepada presiden dan wakil presiden AS yang baru saja terpilih. Mereka secara implisit menyampaikan optimisme perubahan yang dibawa oleh kepemimpinan yang baru. Isu perdamaian antar negara selalu saja muncul ke permukaan. Komitmen–komitmen untuk mewujudkannya terus dibangun dari waktu ke waktu. Setiap negara mengambil peran tersebut dengan menerapkan berbagai kesepakatan antar negara. Kolaborasi dibangun dalam meningkatkan keamanan kawasan sehingga meminimalisir konflik yang merugikan. Persahabatan negara–negara dalam mengupayakan kedamaian juga terwujud dalam perbaikan kesejahteraan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perjanjian–perjanjian bilateral dan multilateral mewujud sebagai tanda kesepakatan yang disetujui setiap negara bersangkutan. Dalam prosesnya, menjalin relasi dan komunikasi antar negara tidak selalu berjalan dengan mudah. Berbagai kepentingan seringkali beradu dan bertentangan satu sama lain. Beberapa saat lamanya, ketika Amerika Serikat masih dipimpin oleh presiden Donald Trump, banyak mencuat kritik-protes dari berbagai negara terhadap kebijakan–kebijakan yang diambilnya. Keputusan yang diambil oleh Trump seringkali bersifat kontroversial, seperti mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, mencekal kedatangan orang–orang  dari tujuh negara di Timur Tengah ke Amerika, perang tarif, dan mengeluarkan AS dari WHO.

Sikap Trump telah menimbulkan gejolak geopolitik dan ekonomi dunia. Dominasi dan cuitannya di media sosial kerap membubarkan suasana kolaborasi antar negara. Bukannya membangun situasi damai, Trump justru merangsang situasi konflik dan ketegangan dunia. Meski menerima banyak kritik, Trump seolah tidak menjadi goyah. Ia tetap percaya diri bahwa keputusan yang dibuatnya tepat.

Kepemimpinan Trump menjadi salah satu contoh kepemimpinan yang unilateral. Kebijakan yang dibuatnya bernuansa egoistik dan mengarah kepada keuntungan sendiri. Dialog yang ramah dan bersahabat  tidak banyak diwujudkan oleh Trump. Narasi kebencian dan ujaran–ujaran yang bernada menghina menjadi ciri khasnya. Akibatnya bukan damai yang dituai melainkan konflik. Stabilitas dan perdamaian dunia menjadi terganggu oleh sikap dan kebijakannya di negeri paman Sam.

Dialog merupakan salah satu cara dan alternatif untuk membangun perdamaian dunia. Melalui kegiatan berdialog, para pemimpin bangsa bisa menemukan kesadaran baru tentang sebuah era yang bebas dari perang. Setiap pengampu kebijakan dapat melihat dunia dari perspektif pihak lain dan juga dapat memperluas wawasannya. Dengan demikian keputusan–keputusan yang  diambil oleh masing–masing negara menjadi lebih bijaksana sehingga dapat terjalin kerjasama dan kolaborasi antar bangsa. Sebab hadirnya dunia yang damai tidak dapat diwujudkan oleh sebuah negara saja. Kekuasaan mutlak yang otoriter tidak akan bisa menghadirkan kedamaian di dunia. Sebaliknya, kolaborasi di antara negara–negara yang saling mengutamakan dialog akan merintis dunia yang adil, sejahtera dan damai.

 

Damai

Damai merupakan salah satu terminologi yang akrab dengan kehidupan manusia. Seringkali kata damai diucapkan dan menjadi bahan pembicaraan. Orang menyebut tentang perdamaian, cinta damai, perdamaian dunia, agama damai,  negara damai, politik damai dan kedamaian hati. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) damai memiliki arti 1). Tidak ada perang; tidak ada kerusuhan; aman 2) tenteram; tenang 3) keadaan tidak bermusuhan; rukun. Dengan demikian damai merujuk pada sebuah tatanan atau suasana yang ideal bagi perikemanusiaan.

Secara kodrati manusia memang menginginkan kondisi yang damai tanpa adanya kekerasan. Sejak semula, manusia yang dikandung di rahim perempuan selalu membutuhkan perhatian dan cinta bagi perkembangan dirinya. Kasih dan atensi sungguh menghadirkan sebuah perasaan damai di dalam batin. Kelembutan ibu dalam mengasuh sang buah hati membuat sang janin merasa tenang dan tenteram. Seperti ini juga kehidupan manusia akan terus berlanjut, ia senantiasa menghendaki suasana damai dimanapun ia berada. Tidak ada satu pun manusia yang mengingkari keindahan damai.

Johan Galtung seorang sosiolog dari Norwegia memaknai perdamaian dalam kaitannya dengan stuktur sosial dan budaya. Ia dapat membagi dua jenis perdamaian yang ada tengah komunitas manusia. Galtung mengistilahkan dua jenis perdamaian itu sebagai perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif memiliki ciri tidak adanya kekerasan, pesimis, kuratif dan tidak menunjukkan damai dalam arti yang sebenarnya. Perdamain negatif merupakan buah dari sikap acuh tak acuh dengan sesama. Akibatnya tidak terjadi konflik di tengah masyarakat.  Namun perdamaian ini rapuh dan dapat hancur dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, perdamaian positif memiliki ciri integrasi struktural, optimis, preventif, dan mengarah kepada damai yang sejati. Pada taraf damai yang positif terdapat relasi dan konflik yang sehat di tengah masyarakat.

Meskipun damai menjadi dambaan bagi banyak orang, tetapi tidak semua orang mengusahakan terwujudnya perdamaian. Salah satu alasannya adalah perbedaan pengertian terhadap damai. Menurut Armada Riyanto konsep tentang damai yang dimiliki masing–masing orang  kerapkali bertentangan. Ada orang yang menganggap damai itu sebuah produk dari kegiatan perang, yang lain menganggap damai itu kesederajatan. Beberapa orang berpendapat damai bertautan dengan hidup pribadi sementara juga ada yang berpendapat damai itu berkaitan dengan tata relasi dengan sesama.

Perbedaan tentang makna damai memang dapat menimbulkan konflik. Sebab setiap orang berusaha mewujudkan damainya sendiri. Perpecahan di antara manusia tidak dapat dihindarkan. Masing–masing pribadi saling menghalang–halangi agar dapat memperoleh  kedamaian seturut konsepnya sendiri. Contoh nyata dari peristiwa ini adalah sikap Trump yang bercorak egoistik dalam memimpin negaranya. Bagi dirinya kebijakan yang dibuatnya adalah tepat dan menghadirkan kedamaian. Namun kedamaian itu mungkin hanya bisa dirasakan oleh dirinya dan pengikutnya tetapi tidak dirasakan oleh yang lain.

 

Dialog dan Kolaborasi

Damai tidak dapat dipisahkan dari prinsip relasionalitas. Corak karakteristik damai yang sejati adalah relasional. Menurut Levinas, damai haruslah merupakan sebuah damai dalam relasiku dengan liyan, dimana kehendak dan kebaikan diriku senantiasa dijaga dan dilestarikan tanpa egoisme. Oleh sebab itu, perwujudan tata damai tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sepihak oleh seorang atau sebagian orang. Maka invasi atau agresi bukanlah produk damai. Penjajahan dan perang lebih mengarah kepada upaya untuk menguasai dan menindas sesama bukan uasaha membangun perdamaian.

Dialog dan kolaborasi merupakan bentuk upaya membangun tata damai. Melalui dua metode tersebut seorang manusia menyatukan dirinya dengan kehadiran liyan. Ia menjadi bagian dari orang lain dan komunitasnya. Manusia menjadi manusia yang bersahabat dengan manusia yang lain (being socius). Perdamaian dapat dibangun diatas dua pondasi ini. Sebab dialog dan kolaborasi mengindikasikan adanya sikap terbuka dan rendah hati.

Dialog adalah kegiatan yang sederhana. Disana dua orang atau lebih saling berbagi pengetahuan, informasi, wawasan dan pengalaman melalui percakapan. Kegiatan dialog akan membuka kesadaran keduabelah pihak akan pluralitas. Orang–orang yang berdialog mengetahui bahwa ada sesama di luar dirinya yang berbeda dengannya. Orang yang berdialaog paham akan konsep keberagaman. Ia memiliki wawasan yang luas sehingga tidak mendeskriminasi atau menindas orang dari latar belakang yang berbeda.

Kolaborasi merupakan sebuah bentuk kerjasama. Orang tolong menolong mengerjakan sesuatu. Dengan berkolaborasi, pekerjaan yang berat dapat diselesaikan dengan lebih efektif. Sebab beban dari pekerjaan tersebut dipikul dan dikerjakan oleh banyak orang. Kolaborasi mensyaratkan kerelaan untuk berbagi peran dan tugas demi tercapainya sebuah tujuan bersama. Kolaborasi menjadi sebuah hubungan rekan sejati dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain, dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-masing, saling menjaga kepentingan setiap orang dan memiliki tujuan bersama yang diketahui kedua belah pihak.

Perdamaian Dunia

Perdamaian dunia harus senantiasa diupayakan oleh semua negara. Di dalam dialog lintas negara dan kolaborasi diantara persekutuan bangsa–bangsa, tata damai bisa diperjuangkan. Kesadaran akan keterkaitan yang erat antara satu negara dengan negara yang lain dan hubungan timbal balik yang tidak mungkin dihindari mendorong negara–negara untuk bekerjasama. Setiap negara dapat bahu–membahu mewujudkan stabilitas dan keamanan dunia dengan selalu berlandaskan pada prinsip keadilan dan menjunjung tinggi perikemanusiaan. Maka nafsu–nafsu egois untuk menjadi penguasa tunggal tidak selaras dengan perdamaian dunia.

 

 

 

Daftar Pustaka

Riyanto, Armada. 2013. Menjadi Manusia Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius.

Grewal, Baljit Singh. 2013. John Galtung: Positive and Negative Peace. Auckland: School Of Social Science.

Mada, Kris. ”ASEAN Ajak AS Menjaga Kawasan” Kompas, Rabu, 11 November 2020.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

No Responses

Tuliskan komentar