Menu

Ode: Antara Cinta, Puisi, dan Penyair | Esai Afaf LK

Cinta merupakan persoalan yang tak akan pernah tuntas untuk dijadikan perbincangan di setiap kalangan. Cinta merupakan alasan terbesar dipertemukannya Adam dan Hawa setelah sekian lama berpisah. Dan karena cintalah Qois menjadi gila.

Cinta tak ubahnya makhluk halus yang bisa menjadikan manusia gila, dan puisi adalah salah satu jalan untuk menuju cinta itu sendiri. Jadi jangan heran jika banyak orang sedang jatuh cinta tiba-tiba menjadi puitis, tiba-tiba menyukai puisi, tiba-tiba menulis puisi, tiba-tiba menjadi penyair.

Barangkali akan timbul pertanyaan besar: ke-napa harus melalui puisi? Karena puisi adalah imajinasi penyair dalam bentuk lirik-lirik yang bermakna, puisi adalah bahasa yang padat, puisi adalah dunia-dunia penuh mak-na, bahkan menurut Abdul Hadi WM dalam Ayat-Ayat Sastra (Junaedhi, 2013) puisi merupakan sarana untuk mencari kebenaran atau memahami hidup dan juga merupakan sarana ekspresi atau sebagai media untuk mewujudkan hidup.

Sebagai manusia normal, setiap orang pasti mengalami kegelisahan, rindu, bayang-bayang, angan-angan percintaan dengan kekasih dan lain sebagainya. Dalam hal ini perlu adanya pemahaman mendasar (sebagaimana perkataan Abdul Hadi WM mengenai pemahaman hidup) bahwa perasaan-perasaan semacam itu tidak cukup jika hanya dirasakan oleh dirinya sendiri tanpa harus adanya wujud pengekspresian dari perasaan-perasaan tersebut dan puisi adalah jalan paling benar untuk mengekspresikannya.

Hal demikian saya jumpai dalam puisi Gunawan Tri Atmodjo yang berjudul “Ode”.

aku kekosongan yang mencintaimu dengan ketiadaan
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya
tapi aku ada

dan kian berada ketika kau percaya
cintailah aku sebagai kehampaan
yang di dalamnya kau tak akan pernah ke-hilangan
barangkali sesunyi doa
yang meski diam namun menolak sia-sia

Solo, 2013

Kalau kita perhatikan, puisi di atas telah mengekspresikan rasa cinta yang berada dalam diri penulisnya. Bagaimana penyair menyampaikan secara detail mengenai rasa cintanya yang tidak menuntut simbol-simbol keberagaman sebagaimana kebanyakan cinta yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang yang pada akhirnya rela mati hanya demi cinta itu sendiri. Namun, ketika saya baca berulang-ulang penyair memainkan logikanya di dalam menuliskan puisi ini, sehingga cinta yang ia sampaikan tidak terkesan melankolis dan lebay.

Bahasa yang digunakan pun sederhana, mudah dipahami, bukan bahasa yang muluk-muluk dan juga bukan bahasa yang bersifat artifisial. Akan tetapi bahasa yang nyata dan dapat ditemukan dalam komunikasi kita sehari-hari. Sehingga tidak akan menimbulkan kebosanan dalam diri pembaca untuk selalu membacanya berulang kali dan pada akhirnya mengerti bahwa cinta tidak harus selamanya dengan air mata.

Cinta bisa membuat seseorang menjadi se-galanya. Kadang menjadi baik, kadang gila, kadang romantis dan terkadang juga menjadi agamis. Namun yang sering kita jumpai cinta bisa membuat seseorang menjadi penyair. Dari Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, Qois, sampai pada akhirnya Gunawan Tri Atmodjo. Sudah beribu-ribu puisi cinta tercipta dari tangannya. Semua itu karena cinta.

Wallahua’lam.

____

Karya ini dimuat dalam Sastra Tempel Edisi #4.

Sastra Tempel merupakan zine yang kelola oleh Bangun Sastra KMSI FBS UNY di bawah asuhan An Ismanto.

Penanggung Jawab: Rizky Wahyu | Pemimpin Redaksi: Ikhsan Abdul | Artistik: Surya L | Staf Redaksi: Suntama, Sepa, Rihaf, Syafiq, Budiman, Lusiana, Alfian | Redaksi menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esai, atau resensi buku. Naskah dikirim ke sastra.tempelkmsiuny@gmail.com atau WA +6289-699-881-489

Silakan download link Sastra Tempel di sini. 

Tuliskan komentar