Menu

Cerita dari Kota | Cerpen Firman Fadilah

 

Barangkali cinta juga tumbuh umpama jamur di musim hujan akibat terbiasa oleh aroma lembab dan udara yang begitu nyaman untuk berkembang. Kurir itu telah terbiasa mengantar paket kepada Anita, hingga ia hafal bahwa setiap hari Minggu ia akan bertemu gadis itu, hingga ia menyimpan nomornya, saling bercakap-cakap, dan begitu akrab.

Gadis itu sangat manis dengan lesung pipi yang sanggup menghipnotis. Rambutnya tergerai mengikuti liuk angin. Siapa pun tak akan sanggup menatap lama-lama mata bulat sempurnanya sebab yang menatapnya, akan segera jatuh hati. Orang-orang akan mengabaikan kejadian di sekitarnya sebab wajah wanita rupawan itu.

Kebanyakan orang menyebutnya kembang desa dan betapa beruntungnya kurir itu bisa kenal dekat dengan wanita itu. Ia amat bersyukur dengan pekerjanya, sebab pekerjaan itu mempertemukannya dengan tambatan hati. Wajar saja, ia adalah seorang pekerja keras. Ia jarang bertemu dan bergaul dengan orang-orang. Barangkali, hanya satu-dua wanita yang ia kenal.

Demikian, hari berganti begitu cepat dan dua orang itu makin dekat, sangat dekat, hingga terlontarlah kata-kata cinta di antara mereka. Hari, bulan, dan tahun, mereka sangat yakin akan cinta. Mereka saling berkunjung ke rumah, bergantian, seperti layaknya pasangan kekasih lainnya. Mereka berkencan, jalan-jalan, membunuh hari-hari yang sepi, bahkan merencanakan masa depan. Namun, siapa yang peduli dengan masa depan yang belum jelas itu? 

Seperti ada kata-kata berat yang tersangkut, wanita itu, Anita, sesosok jelita, tiba-tiba terbata-bata mengabarkan tentang kepergiannya ke negeri Belanda. Bahwa ia harus melanjutkan pendidikannya. Bahwa ia harus mengembangkan bisnis fashion milik ayahnya. Kurir itu, seorang lelaki yang malang, harus menanggung kesepian lagi.

Sejak saat itulah, kurir itu selalu menunggu di sebuah taman, berharap kekasihnya datang, menepuk pundaknya dari belakang atau merentangkan sepasang lengan di dadanya seperti yang dulu dilakukan wanita itu di kala rindu sudah menggelora. 

“Tidak lama, kok. Cuma empat tahun,” kata wanita itu terakhir kali, di sebuah taman bunga. Empat tahun terasa seperti empat abad. Siapa yang sanggup menanggung rindu selama itu? 

“Tapi kamu pasti pulang setiap tahun, kan?”

“Agaknya tidak. Terlalu berat di ongkos. Aku ingin cepat-cepat lulus.”

Kesepian merambat. Kesunyian mendengung di kepala. Nyatanya, tidak ada kabar dari wanita itu hingga bertahun-tahun lamanya, hingga empat tahun tak terasa hampir datang menjemput tubuhnya yang kesepian sedangkan Anita, kekasihnya, belum juga menampakkan wajah bulannya. 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal sering melayang-layang dalam benaknya. Apakah Anita sedang sakit di sana hingga menghambat proses belajarnya? Apakah ia sedang mengerjakan proyek besar untuk karya ilmiahnya? Atau, apakah mungkin ia sudah menemukan lelaki lain dan melupakan kekasihnya yang jauh? Ia tahu bahwa Belanda adalah negara yang sangat liberal. Apa pun bisa terjadi. Pertanyaan-pertanyaan itu kerap membuatnya sakit. Maka ia berusaha melupakan dugaan yang berlebihan itu. 

Apabila Anita benar-benar telah lupa kepadanya, apa yang harus ia lakukan? Ia sendiri berusaha menjaga mati-matian cinta yang telah dibangun sedemikian megah itu. Ia yakin, Anita tidak akan pernah melupakannya. Barangkali ia sengaja ingin menguji kesetiaan dan rindu adalah ujian yang paling berat. Lelaki itu dengan kesetiaannya, masih menanti di taman hingga batas waktu yang tak terhitung.

***

Udara panas. Matahari tergelincir ke arah barat. Beberapa orang telah meninggalkan taman. Keluarga yang menggelar tikar piknik di bawah pohon beringin di samping jalan itu sudah pulang. Angin berkesiur membawa aroma jalan dan debu-debu. Udara pada siang hari membuatku ingin pergi. Namun, aku merasa malas sekali untuk meninggalkan bangku ini. Aku akan duduk sebentar lagi di bangku taman ini seperti seseorang yang sedang menunggu. 

Kata orang-orang, senja di taman ini sangat indah. Di depan sana, gundukkan bukit akan menjadi tempat bersemayam matahari sore yang indah. Matahari akan meninggalkan segalanya dan ia akan terbit di belahan Bumi yang lain. Daun-daun akan menguning. Burung-burung pulang ke dahan. Serangga malam bermunculan. 

Matahari hampir tenggelam. Cahaya senja berkilauan. Aku rasa, aku sudah menyaksikan senja ini berkali-kali. Aku duduk di sini, sendirian, setiap hari Minggu di mana aku harus bekerja mengantarkan paket-paket ke pemiliknya. Aku rasa ini seperti déjavu dan aku bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Mataku sebak, dadaku bergemuruh, dan matahari perlahan-lahan tenggelam. Angin membelai jaket kimonoku, seolah menjemputku untuk segera pulang. Udara mulai dingin. 

Sudah empat tahun aku menunggu seseorang di taman ini. Rindu sudah berkerak. Jika lembayung tipis itu telah pergi dan engkau belum kembali, itu tandanya kamu boleh untuk tidak mencintaiku lagi, Anita.[]

No Responses

Tuliskan komentar