Menu

Pelita Harapan | Cerpen Salvianus Sariyono

https://harvestcommunity.net/a-lamp-lit/

sumber: https://harvestcommunity.net/a-lamp-lit/

 

Angin bertiup sepoi-sepoi, menelisik dedaunan, meniarapkan rumput yang mungkin sudah tinggi. Suara kicau burung mengalun indah,  tanda siang akan menjelma menjadi malam. Di penghujung hari itu, Sony duduk di beranda rumahnya.

Lelaki 15 tahun itu duduk gelisah sambil menatap senja yang kian lama kian kelam. Hari itu, ia teringat akan kisah yang diceritakan neneknya tentang dirinya. Cerita yang menggores luka dan menabu tangis. Tak ingin cerita itu menua dalam lisan lalu mungkin akan menjadi sirna, ia mau menulisnya dalam sebuah kertas. Di kertas  itulah, ia menulis bait demi bait cerita tentang dirinya yang telah diwasiatkan neneknya.

Ia menulis: 

*****

Di zamannya, malam ditemani pelita, bunyi jangkrik dan binatang lainnya. Tak ada cahaya selain pelita. Tapi baginya cahaya pelita itu adalah harapan. Dan asapnya adalah perjuangan. Adalah Dini yang kumaksud dalam kisah ini. Saban malam, ia menatap cahaya harapan dan menghirup asap perjuangan. Di hadapan cahaya kecil itu, ia membuka lembar demi lembar buku catatannya. Ia mengerjakan semua tugas sekolahnya dengan sangat baik. Sebelum pelita itu padam sang ibu berkata, “Lihatlah, Sayang, wajahmu yang cantik ini saban malam dipenuhi asap hitam. Pun pula matamu yang indah. Belajarlah yang tekun, Nak. Niscaya cahaya pelita ini menjelma menjadi cahaya matahari, menerangi semua kegelapan.” Usai ibunya berpesan, padamlah  pelita itu dan  Dini memejamkan mata untuk menjemput pagi, sedang ibunya mengucap doa.

Dini, siswa SMA kelas 12 yang memiliki paras cantik dan akal baik juga mengenal cinta.  Ia menyemai cinta yang ditaburkan kekasihnya bernama Joni. Lelaki itu tampan dan juga kaya untuk ukuran kampung kecil itu. Surat menyurat menjadi ritual harian. Menulis surat sama pentingnya dengan mengerjakan tugas sekolah. Di hadapan cahaya pelita yang samalah, Dini membaca dan menulis surat untuk Joni. 

Untuk surat-surat itu pun sang ibu berpesan, “Nak, hati-hatilah dalam menyemai cinta. Jangan sampai cinta yang kausemai akan kautuai dalam tangis dan luka.”  

Dengan santun yang menjawab, “Tentu, Ibu”. Santunan Dini menyiratkan kepercayaan pada hati sang ibu.

Cinta yang disemai Dini semakin hari semakin besar. Dirinya tergila-gila karena cinta. Ia  dan Joni semakin dekat bahkan tanpa sekat. Pun orang tua mereka sudah tahu kalau mereka sedang kasmaran. Sama seperti ibu Dini, orang tua Joni pun hanya berpesan, “Hati-hati.”

Dalamnya cinta membutakan pikiran. Dini dan Joni menanam cinta eros. Mereka melakukan hal yang tak pantas. Dan mereka sangat menikmatinya. Tak hanya sesekali mereka melakukan itu, tapi berkali-kali. 

Menjelang ujian, Dini merasa dirinya sakit. Sang ibu panik. Dia bertanya-tanya dalam hatinya. Seribu pertanyaan yang hendak ia tanyakan pada Dini. Namun, ia tak kuat. Sebagai seorang ibu, dia tahu gejala apa yang dialami Dini. 

Dari sudut tempat tidur, Dini berkata, “Ibu saya sudah ternoda.”  

Ibunya hanya terdiam. Seribu pertanyaan menjelma menjadi seribu rasa. Hanya diam yang tampak. 

Dini berbadan dua. Ia menyesal. Memang rasa sesal selalu datang usai peristiwa menjadi usang. “Kenapa bukan hari itu aku menyesal?” sesalnya. 

Seandainya saja Dini mengingat baik-baik pesan ibunya, mungkin petaka ini tidak akan menimpa. Namun, semua telah terjadi. Dini tidak memiliki harapan, selain Joni. Ia meletakkan semua harapannya pada Joni. Tapi Joni pun telah tiada. Ia berkelana entah kemana. 

Siang itu, Dini kembali menyalakan pelitanya. Cahayanya tak seterang waktu di malam hari. Namun asapnya tetap saja sama. Selalu mensyaratkan perjuangan yang entah kapan akan berakhir. Wajah cantiknya menjelma menjadi kusam karena beban berat yang sedang dipikulnya. 

Sedang ia duduk di depan pelita, tiba-tiba seorang lelaki uzur umurnya mengetuk pintu dan melepaskan selembar kertas di atas beranda tanpa mengulum senyuman untuk Dini. Dini membuka kertas itu yang hanya sepotong dan di dalamnya tertulis, “Bunuh anak itu, dan aku akan kembali.” 

Tetesan air mata berlinang sambil diiringi dengan gelengan kepala. Dini menolak. Sang ibu menatapnya dari jauh dan menangis. Apa ibunya menjauh? Tidak. 

Tiba saatnya, Dini diambang dua pilihan yang berat. Antara mati atau hidup. Hanya ditemani oleh ibu dan tiga orang tetangga, Dini melahirkan bayi laki-laki. Itulah Aku. Ibuku tak sempat menatapku lama-lama. Ia kembali kepada yang empunya kehidupan. Dini Andini telah meninggal, menitipkan terang pada ibunya. Dan Akulah terang itu. Akulah pelita dan kematian ibuku adalah asapnya. Cahaya ibuku adalah datangnya aku. Wajahnya menjadi pucat usia berjuang mengadakan aku.

 

Kisah ini kutulis di malam Natal 

Dikala aku meratapi luka ibuku yang telah tiada

Yang selalu bermalam dengan pelita

Menatap harapan yang … ?

 

24 Desember 1996

 

*****

Demikian Sony menulis kisahnya. Menggantungkan satu pertanyaan yang belum terjawab. Barangkali itu adalah retorik. Entahlah. Hanya dia yang tahu. 

“Ah, mudah-mudahan kisahku ini abadi,” harapnya. Dia kembali menatap senja yang telah menjadi malam. Tanpa ia sadari, kakinya menjadi keram. Dengan langkah tertati-tati, ia berjalan menuju dapur tempat sang nenek sedang menanak nasi. Dengan tenang ia mendekati neneknya dan berkata, “Cahaya matahari telah terbit.”

No Responses

Tuliskan komentar