Angin pagi berembus kencang, menyusuri hijau pepohonan, sawah-sawah yang terberai daun padi dan nyiur yang melambai dengan lemah gemulai. Ia menyapu debu dengan simponi irama dan gerakan yang lentik. Burung-burung dan tupai yang sedang menikmati alam mimpi terbangun dari tidur pulasnya. Terkadang ia datang menghidupkan dan kadangkala memusnahkan. Bunga yang berkuncup pun bermekaran, angin membantunya untuk penyerbukan benang sari pada putik. Angin pagi ini menyambut suasana pedesaan yang permai dan penuh kemakmuran, meski penuh dengan kesederhanaan. Jejalan sawah yang penuh lumpur tak menghalangi para petani untuk memerankan tokoh dalam sandiwara kehidupan. Anak-anak kecil berlarian dengan riang seakan tiada lagi beban dalam hidupnya. Di sudut lapangan, dua bocah sedang bermain asyik dengan bola berbulunya.
“Argh, sialan!” celetuk Raka dengan raut wajah masam.
“Kenapa sih selalu saja gagal! Padahal aku sudah mengerahkan semua tenaga. Awas saja sedikit lagi akan melesat tepat!” gemingnya sedikit geram.
Bola kok yang berwarna putih kecoklatan melesat dengan kencang, sayangnya keberuntungan tak berpihak padanya. Bola itu berguling terbalik arah karena tertiup angin sehingga tergolek di bidang garis net Raka.
“Argh,” geramnya sekali lagi.
Untung saja angin tak berlangsung terlalu lama, lima detik terhitung dari jatuhnya bola, Raka melemparkannya ke arah Rika. Sekarang gilirannya untuk beraksi, bocah dengan mata binarnya yang sangat indah itu. Rika menampik tenang tanpa kerisauan, persis seperti yang diajarkan simbah. Akhirnya bola berguling tenang di atas net dan jatuh di area lapangan Raka. Gerakan yang memukau dan spektakuler!
“Yey, berhasil! Hore, pasti aku yang menang! Yang kalah harus keliling lapangan tujuh kali, gimana?” tantang Rika.
“Siapa takut, pasti jelas situ yang kalah bukan?” tawa Raka.
“Sekarang giliranku, rasakan ini!” ucapnya tegas.
“Jurus tapak suci!” teriaknya girang.
Bocah berhidung pesek itu melampiaskan kekalahan pada kesempatan awalnya. Tangan kanannya memegang raket dengan kuat, sedangkan tangan kirinya menepatkan bola kok yang akan ditampik. Ia berlagak sok yes seperti atlet badminton yang merebutkan Thomas Cup di acara stasiun televisi. Raka sangat geram dengan tantangan saudaranya itu. Bola menukik keras, bulu-bulunya beterbangan dan tersisa tiga helai saja.
Bola menukik dan berguling di udara, “Ctak,” suara bola yang mendarat di hidung mancung si gadis imut.
“Huhuhuhu, kuadukan kau!” tangis si gadis dengan marah dan raut kemerah-merahan.
“Awas, dasar si semprul!” isaknya marah.
“Hahaha lihatlah hidungmu yang terlihat seperti badut, merah kayak tomat!” ejek Raka.
Rika tak bisa menahan kesabarannya, keringat mengalir deras dari dahinya. Mukanya yang menyeramkan mulai muncul. Dengan geram ia memukul keras bola kok dengan kekuatan smash yang luar biasa.
“Ctak” suara kok jatuh tergeletak tepat di atas batu. Raka dengan cekatan menghindar sehingga selamat dari mangsanya hari ini. Ia berlari sembari mengejek Rika, “Yek, nggak kena!” tuturnya sambil menjulurkan lidah dan kedipan mata yang penuh ejekan.
“Lebih hebat aku, kan?” tambahnya membangggakan diri.
Kegeraman Rika belum usai, ia memetik chery tepat pada dahan yang lumayan pendek dan mudah diraih.
“Eits! Ga kena, ea!” ejek Raka melihatnya berjinjit dan mengambil sebuah chery.
“Bocah kurang ajar!” teriaknya sambil melemparkan chery ke arah Raka.
Lagi-lagi bidikannya melesat. Chery itu berhasil diraihnya dan dimakan persis endorse di toko selai, “Makasih banget, Boy!” ejeknya lagi.
“Siapa yang kau katain Boy?” geram Rika.
“Rika Denok Geboy,” jelas Raka.
“Emang dasar adik semprul!” tambahnya lagi.
“Kau juga kan. Mbak. Kita kan kembaran. Adik kakak kembar koplak,” tawanya sambil memakan chery.
Rika memanas, ibarat sebuah gunung yang memuntahkan lavanya. Begitu juga dengan Raka. Raka yang suka jail memang tiada usainya memancing kemarahan saudara sulungnya.
Kepulan asap putih tebal memenuhi lapangan. Dua bocah terperangkap hingga ke tengah lapangan bersama asap itu. Tiba-tiba suasana tenang, mereka terdiam hanya mengeluarkan suara batuk dan bisa mengucek mata yang sedikit terkena kepulan asap.
“Dik, kau di mana? Kau tak apa kan?” cemas Rika.
“Uhuk, uhuk, uhuk,” suara batuk Raka.
“Mbak, kau di mana? tuturnya gelisah.
Perhelatan duo bocah tak berlangsung lama, mereka saling mengkhawatirkan satu sama lain. Lalu mereka berhasil kembali ke pekarangan rumah dan disambut oleh simbah dengan baik,” Loh kenapa adikmu, Rik?”
“Mabuk asap dia,” tuturnya risau.
“Kok bisa anak kecil zaman sekarang,” sangkal simbah.
Simbah membantu Rika dan mendudukkannya di atas kursi yang mulai lapuk, bercat biru yang mulai terkikis ”Kratak,” simbah duduk di atas kursi. Tiba-tiba datang Bu Rukemi. ”Kok kelihatan lemes banget, sakit ya?” cemasnya.
“Iya, Bu. Tadi barusan ngirup asap dan sempat terjebak di dalamnya,” tutur Rika.
Dengan bergegas Bu Rukemi menyiapkan sarapan pagi dan berbagai cemilan untuk dinikmati pada dinginnya pagi. Nasi tiwul, sayur lompong teri, sambal, sayur bayam, dan tempe goreng. Layaknya restaurant yang menyiapkan menu spesial. Mereka segera mencuci tangan dan makan bersama di atas meja bundar dengan alas pelepah pisang dan air putih di sebuah kendi yang terlihat gendut. Mereka makan dengan lahapnya hingga habis tak tersisa. Simbah tampak lebih segar dibandingkan hari sebelumnya. Kurang lebih tiga hari lamanya berada di atas amben dan tak pernah beranjak untuk sedikit merebahkan badan.
“Ayo kalian tambah lagi biar cepet gede!” tutur simbah.
“Simbah udah sembuh, ya. Kok udah seger aja,” ujar Rika dengan senyuman.
“Makanya kalian jangan suka berantem mulu biar Simbah ga cepet tua dan sakit-sakitan,” tutur simbah.
Duo bocah itu tak ada hentinya berhelat, ada saja permasalahan yang dimunculkan, apalagi keduanya saling menguatkan pendapatnya sendiri, mengakibatkan perdebatan yang cukup panjang lebar.
“Asyik, berarti besok udah bisa tanding lawan simbah dong!” girang Raka seketika.
“Katanya sakit ko tingkahnya gak karuan,” celetuk Rika sinis.
“Kan otomatis mbak Boy, efek senang,” sangkalnya.
“Awas kau bilang lagi bisa kulumuri sambel!” geram Rika.
“Udah-udah makan kok rame sendiri, nanti kalau tersedak mati gimana? Kalian mau mati seumuran bocah?” tutur Bu Rukemi menakut-nakuti.
Mereka terdiam tanpa sepatah kata dan melanjutkan sarapan pagi dengan tenang. Sepuluh menit berlalu, matahari setengah siang tak mengucurkan sedikit keringat, sebiji jagung pun. Cuaca hari ini sangat dingin, meski terik matahari mulai merekah. Simbah duduk dengan tenang, memandangi satu per satu dari mereka, kecuali Bu Rukemi.
“Mau dongengin kita ya?” celetuk Raka.
“Hush, kau ini tau aja simbah baru sakit!” potong Rika.
“Timun emas, tutur tinular, mak lampir, atau apa terserah simbah deh!” tuturnya lancar.
“Ish, dilarang malah kayak disuruh ae nih anak,” geming Rika.
“Sudah, sini, sini!” rayu simbah lembut.
Mereka berdua berduyun, segera duduk di sebelah simbah. Bu Rukemi menyiapkan hidangan lagi, seteko teh hangat dan sepiring singkong bakar kesukaan mereka. Simbah mengalirkan teh ke dalam cangkir kecil yang terbuat dari gerabah itu. Ia sesekali mengalirkannya pada lemper kecil dan meniupnya. Kemudian meneguknya penuh kehangatan, membuang sisa daun teh yang tersangkut di gigi pasangannya.
Duo bocah menikmati singkong bakar dengan lahap. Tak terasa sisa kulit singkong yang belum sepenuhnya hilang menempel di kedua pipinya.
“Lihat pipimu yang cantik!” tawa Rika.
Tanpa mengucapkan kalimat apa pun Raka ikut tertawa dengan lagaknya yang sangat menggemaskan.
Simbah melihat mereka damai dengan penuh kebahagiaan. Simbah ingin cucunya melestarikan dan menjaga budaya. Salah satunya tembang macapat yang menjadi tembang puisi Jawa dengan berbagai nasehat kehidupan yang tersirat di dalamnya. Tembang yang akan diajarkan adalah tembang pucung. Ia melantunkan dengan merdu. Duo bocah melongo melihat kepiawaian simbahnya menyanyikan tembang.
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku,
lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani,
setya budya pangekese dur angkara.”[efn_note]Tembang pucung, salah satu jenis dari 12 tembang macapat yang singkat. Dinamakan pucung karena diambil dari kata”Pocong” yang berarti menandakan taraf kehidupan manusia pada tingkatan kematian. Artinya “ menuntut ilmu itu ditempuh dengan sungguh-sungguh, diawali dengan tulus dan menjaga keikhlasan hati dengan harapan bisa membahagiakan/menyejahterakan pemilik ilmu itu sendiri dan masyarakat yang bissa menghindarkan dari perbuatan keji dan mungkar.”[/efn_note]
Simbah menyanyikannya sambil menggelengkan kepala layaknya seorang sinden[efn_note]Seorang pengiring nyanyian pada musik gamelan.[/efn_note] yang sedang manggung. Dua bocah terpesona mendengarkan alunan yang dibawakan. Akhirnya mau tak mau mereka menirukan lafal yang dilantunkan simbah meski tak karuan tingkahnya. Gerakan mulut tanpa suara.
Raka selalu bertingkah konyol, meski Rika berkelakukan sepertinya tapi tetap kalah konyol dengan si bungsu berhidung pesek itu.”Aku tak kalah lihai dengan simbah, mataku melirik dengan mesra, bulu mataku juga lentik seperti perahu,” candanya. Rika menertawakannya, ia menyambung “Hm, kalau aku lihai juga memainkan lirikan mata,” tuturnya sambil memperagakan lirikan matanya itu.
Bu Rukemi mengamati mereka berdua yang ramai dan bertingkah sendiri “Loh simbah ngajarin kok malah kalian mainan sendiri?” tanyanya agar mereka serius belajar. Simbah menghentikan tembangnya sejenak menyimak percakapan menantu dan kedua cucunya.
“Lagian sekarang hari libur, kenapa musti belajar?” tanya si bungsu itu.
“Belajar itu tak pandang waktu dan tempat, di sekolah atau tidak, libur atau tidak. Di mana pun dan kapan pun bisa belajar, Le,” tutur Bu Rukemi.
“Meski kita orang yang berkecukupan, bukan seorang konglomerat namun setidaknya kita tak mudah dibodohi oleh mereka,” tuturnya lagi.
“Tapi apa kita bisa lanjut SMP? Padahal SPP SD pun masih nunggak, ups!” tutur Rika keceplosan.
“Hehehe maaf, Bu,” tambahnya.
“Memang kita kekurangan dalam segi ekonomi, Nduk. Tapi Gusti Allah mboten sare rezekinya sangat luas untuk kita semua. Maka kita patut bersyukur dengan keadaaan demikian. Toh besok kalau kalian akan nglanjutin ke sekolah berikutnya bisa ko. Kambingnya bapak juga masih banyak,” ujar Bu Rukemi dengan senyum.
Kesederhanaan adalah kekayaan bagi sesiapa yang menerima dengan lapang dan penuh kebahagiaan sedangkan keglamoran justru kemiskinan bagi sesiapa saja yang tamak dan selalu merasa kurang. Kebahagiaan itu sederhana dan kesedihan pun sederhana pula tergantung bagaimana seseorang menempatkan pada porsinya masing-masing.
“Aku juga masih bisa mainan kelereng di lapangan, mencari ikan di sungai, aku pun bahagia, Bu,” sahut bocah mungil berambut ikal.
“Tapi jangan suka main ke sungai kalau lagi hujan, nanti ada buaya. Kamu bisa dimakan!” gurau Simbah.
Wajah Raka terlihat pucat pasi seketika mendengarkan pernyataan Simbah.
“Simbah bercanda kali, Prul!” tawa Rika.
Bu Rukemi menyela mereka dan memberikan nasehat pada keduanya
“Iya, berarti kebahagiaan tak didapatkan dari materi, tapi rasa. Bagaimana rasa dalam diri seseorang menyikapi keadaan dengan bijak maka disitulah dia menemukan kebahagiaan,” sela Bu Rukemi sambil mengelus dan melihat rambut anaknya.
“Aku juga Bu, masih bisa bermain petak umpet di kebun, pencolotan pake karet, ayun-ayun di pohon, nah satu lagi main gong-gongan sama anak-anak di sekolah atau pas liburan gini di lapangan Desa sebelah,” tutur Rika girang.
“Iya Nak, masih banyak yang berada di bawah kita makanya kita harus bersyukur!”
“Ada semut, rayap, orong-orong, itu ya, Bu?” celetuk Raka.
“Hahahhahaha,” mereka bertiga tertawa seketika mendengar pernyataan si bungsu itu.
Percakapan itu berlangsung dengan hikmat dan penuh canda tawa. Hari menjelang sore, burung-burung berkicau merdu. Mereka pulang ke rumah peraduan dan menyuap makanan pada anak-anak mereka di pohon cengkih. Para petani pulang bersimbah peluh dan membawa beberapa hasil tanaman yang mulai berbuah hari itu. Pak Dasemo pulang dengan menenteng umbi jalar dan beberapa bengkuang. Tak lupa ia membawa sebuah anggrek yang ia dapatkan dari hutan tempatnya mencari pakan kambing. Tak jarang yang menemukan tanaman indah di sana, karena alam yang asri dan terjaga di sanalah tempatnya.
Pak Dasemo pulang dengan kaki penuh lumpur dan tangan sedikit berdarah pada ibu jarinya. Keningnya penuh keringat sebesar biji jagung menetes mengalir pada pipinya yang mulai keriput. Duo bocah menyambut kedatangannya dengan riang. Bu Rukemi pun menyambutnya dan menyiapkan makan sore. Nasi jagung, ikan asin, telur dadar, dan sambal. Ia membuat dua cangkir kopi dengan bubuk kopi asli yang ia tumbuk dengan tangannya sendiri. Sore itu keluarga Pak Dasemo menikmati menu sore hari penuh lahap, tiada tersisa satu duri ikan pun, karena duri ikan dimakan kucing dan dimakan ayam peliharaan mereka, hahaha.
***
Sederhana itu mudah saja, tapi tak semua orang sanggup melakukannya. Karena di dalamnya memiliki nilai kesabaran yang luar biasa meski tak semua kesabaran hanya dalam kesederhanaan. Kesederhanaan bukan kerendahan dan bukan pula kehinaan bila yang menjalaninya penuh lapang tanpa kata “seharusnya begini” dalam kehidupannya.
1