Menu

Suatu Pagi di Stasiun Cikini | Cerpen Ben Ramadan

Kereta Commuter Line—lazim disebut KRL di Jabodetabek–berhenti di Stasiun Cikini. Para penumpang yang akan bekerja di perkantoran yang ada di sekitar Cikini berhamburan keluar KRL seperti semut. Ada bapak-bapak tua memakai kemeja lusuh dengan tas yang digendong di depan dadanya. Alasannya pasti karena takut dicopet, jadi dia menggendong tasnya di depan. Ada ibu-ibu pegawai rumah sakit yang memakai kardigan hitam dan bersandal jepit, alasannya  karena takut hujan. Sekarang sudah masuk bulan Desember. Hujan di Jakarta bisa semakin menggila. Sayang, jika memakai sepatu. Nanti basah.

Sedangkan aku sendiri?

Ya, aku adalah pegawai kontrak di sebuah perusahaan travel. Lulus kuliah dua tahun lalu dari sebuah universitas swasta di Bogor. Setelah didaulat menjadi sarjana ekonomi, aku menganggur satu tahun setengah lamanya. Tak terhitung sudah berapa ratus surat lamaran kerja kutulis di atas kertas. Tak terhitung sudah berapa puluh bolpoint yang  kubuang karena tintanya habis untuk menulis kata, “YTH HRD Perusahaan XXX”.

Lelah, tetapi hidup harus terus berlanjut. Untungnya, di saat aku sudah mulai putus asa, ada telepon dari perusahaan travel di daerah Cikini yang bersedia menerimaku. Ketika mereka menawarkan gaji yang mereka sanggupi, aku langsung setuju. Tak tahu diri jika aku melakukan nego gaji. Aku sadar bukan lulusan kampus ternama yang bisa dengan tinggi hati dan membusungkan dada melakukan nego gaji. Sudahlah, yang penting aku bisa menghilangkan tekanan batin karena selalu disindir oleh tetangga akibat menganggur terlalu lama.

Jam besar di Stasiun Cikini menunjukkan pukul 07.00. Aku turun dengan eskalator. Hari masih pagi dan dingin. Kemarin malam Jakarta diguyur oleh hujan lebat. Di luar para tukang ojek sudah berbaris menanti pelanggan. Berharap ada dari penumpang  yang menggunakan jasanya. Kalau aku tidak perlu pakai ojek. Jalan kaki lima menit saja sudah sampai. Beruntung  tempat kerjaku tidak jauh dari stasiun sehingga bisa menghemat uang.

Tidak bekerja di perusahaan besar tentu saja sudah dapat ditebak berapa gajiku. Pas saja dengan UMR. Kalau pagi aku sarapan di rumah dengan  telur orak-arik, kadang  nasi goreng. Semua buatan ibu. Dia memasak sarapan buatku setelah  solat subuh. Sedangkan ayahku seorang pensiunan pegawai rumah sakit. Uang pensiun tidak seberapa, mencoba menambah pemasukan dengan berjualan cakwe di depan rumah.

Bulan ini aku beruntung sekali, bisa menghemat sedikit uang karena sudah seminggu ini kantorku memberikan makan siang gratis. Lumayan, ada ayam goreng, tahu tempe, lalaban dan sambal terasi. Tidak lupa kerupuk juga. Tapi hanya seminggu ini saja nampaknya. Minggu depan aku akan pergi ke warung nasi lagi di samping kantorku untuk makan siang.

Masih di dalam Stasiun Cikini, aku selalu melihat toko roti sudah buka pagi-pagi buta. Setiap aku lewat, harum rotinya menggoda batang hidungku. Wanita yang  menjualnya menawan hati. Cantik dan penuh senyum ramah. Terlihat cantik karena dia memakai Face Shield, tidak memakai masker, jadi wajahnya masih terlihat jelas. Kali ini aku punya uang simpanan berkat menghemat makan siang. Aku masuk ke dalam toko roti itu. Wanita penjual roti itu menyapaku dengan senyum renyah.

“Selamat pagi, silahkan dipilih menunya, Kak,” sapa wanita itu sambil berdiri menatapku.

“Pagi juga,” aku mengambil menu dan duduk di meja yang tak jauh dari kasir.

Kemudian aku memesan roti panas isi blueberry. Tak lupa dengan cokelat panasnya. Wanita tersebut dengan gesit menyiapkan pesananku. Kalau dilihat dari usianya, dia nampak masih muda sekali. Tiga menit kemudian roti dan cokelat panas terhidang.

“Silahkan, ada yang bisa dibantu  lagi?” tanya wanita itu.

“Oh, tidak. Terima kasih” kataku sambil tersenyum. Aku pun membuka maskerku karena ingin makan.

Pagi itu aku hanya seorang diri yang duduk di sana. Orang-orang yang turun dari KRL hanya lewat saja dari toko roti tersebut. Mereka dikejar oleh waktu. Padahal hari masih pagi. Aku punya waktu setengah jam untuk menikmati roti panas dan cokelat. Wanita itu terlihat sibuk memanggang roti yang mengeluarkan bau harum.

“Sudah berapa lama kerja di sini?” tanyaku dengan santai.

“Sekitar empat bulan, Kak”

“Senang kerja di sini?”

“Ya, habis mau bagaimana  lagi. Aku butuh pekerjaan ini, Kak,” jawabnya dengan malu-malu.

“Sambil kuliah?”

“Susah, Kak, kalau sambil kuliah. Aku saja berhenti kuliah. Maklum ekonomi lagi susah. Bapak kena PHK. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti saja. Kalau ada uang, aku mau lanjut lagi.”

“Ah, aku paham. Maaf jadi sedikit membuatmu sedih,” kataku.

“Tidak kok. Aku tidak sedih. Justru aku senang bisa membantu orang tua.”

Mendengar jawabannya aku menjadi semangat pagi itu. Kedua orang tuaku bisa menyekolahkanku sampai sarjana. Yah, meskipun sekarang aku kerja di perusahaan bisa saja, gaji UMR, pas-pasan buat makan, sebulan hanya bisa menabung 300 ribu. Tapi aku bahagia karena aku punya pekerjaan. Aku yakin, wanita itu juga bahagia karena dia bisa mandiri. Suatu saat kelak ketika dia kembali kuliah, dia akan masuk gerbang kampusnya dengan wajah tegak karena sudah  pernah merasakan hidup mandiri.

(Bogor, 15 November 2020).

Tuliskan komentar