Menu

Bebukitan yang Serupa Gajah Putih | Ernest Hemingway | Terjemahan Bunga Damai Prasasti

“Dan jika aku setuju melakukannya, kau takkan pernah cemas lagi?”

“Aku tidak mencemaskan soal itu, karena prosedurnya sangat sederhana.”

“Baiklah. Aku bersedia melakukannya, karena aku tak menyayangi diriku.”

“Maksudmu?”

“Aku tidak peduli soal diriku.”

“Tapi aku peduli,”

“Oh, memang. Tapi aku tidak. Karena itu aku bersedia mengikuti permintaanmu lalu keadaan akan baik-baik saja seperti semula.”

“Aku tidak mau melakukannya kalau kau merasa seperti itu.”

Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan pelan menuju ujung stasiun. Di seberang stasiun terbentang ladang gandum dan pohon-pohon berderet di sepanjang tepi sungai Ebro. Jauh dari sana, melewati sungai, terdapat pegunungan. Bayangan awan berarak melintasi ladang gandum dan dia melihat sungai melalui celah-celah pepohonan. 

“Kita bisa memiliki semua ini,” katanya. “Kita bisa saja memiliki segalanya dan bahagia. Tapi seiring hari berganti kita membuatnya semakin tidak mungkin.”

“Kau bilang apa barusan?”

“Kubilang kita bisa saja memiliki semuanya”

“Kita memang bisa memilikinya.”

“Tidak, tidak bisa.”

“Kita bahkan bisa menguasai dunia ini”

“Tidak.”

“Kita bisa pergi kemana saja”

“Tidak. Kita tidak bisa. Dunia ini bukan punya kita lagi.”

“Dunia ini masih milik kita.”

“Tidak lagi. Sekali mereka merampasnya, kita tidak akan pernah mendapatkannya kembali.”

“Tapi mereka belum mengambilnya”

“Ya, kita lihat dan tunggu saja.”

“Ayo kembali ke tempat teduh,” bujuk lelaki itu. “Jangan berprasangka seperti itu”

“Aku tak berprasangka apapun,” ujar gadis itu. “Aku mengetahui beberapa hal yang mungkin tidak kau ketahui.”

“Aku tak mau kau melakukan sesuatu jika hal tersebut tidak ingin kau lakukan—”

“Atau tidak baik untukku,” kata gadis itu memotong. “Aku tahu. Bolehkah kita minum bir lagi?”

“Baiklah. Tapi kau harus mengerti bahwa —”

“Aku mengerti, kok,” kata si gadis, “Bisakah kita berhenti bicara dulu?” 

Mereka duduk kembali di kursi dan gadis itu memandangi bukit-bukit di sisi lembah yang gersang, sementara si lelaki memandang kekasihnya. 

“Kau harus mengerti,” ujar lelaki itu, “ bahwa aku tidak ingin kau melakukannya karena terpaksa. Aku sungguh, benar-benar akan menjalani sesuatu  jika hal itu berarti buatmu” 

“Apakah hal itu tidak berarti untukmu? Kita bisa menjalaninya bersama-sama.”

“ Tentu saja berarti. Tapi aku tidak menginginkan siapapun kecuali dirimu. Tak seorangpun selain dirimu. Dan aku juga tahu kalau prosesnya sangat sederhana.”

“Ya, prosesnya sederhana, sudah kau katakan berkali-kali.”

“Terserah kalau kau tidak percaya, tapi aku tahu itu benar.”

“Maukah kau lakukan sesuatu untukku sekarang?”

“Aku akan melakukan apapun untukmu”

“Kalau begitu bisakah kau untuk, please, please, please, berhenti bicara?”

Pemuda itu seketika terdiam dan menatap tumpukan tas yang disandarkan pada dinding stasiun. Pada tas-tas itu tersemat label dari berbagai hotel yang pernah mereka singgahi.

“Tapi aku tidak mau kau berhenti bicara,” katanya, “kau bisa bicara tentang apa saja, dan aku tidak masalah dengan itu”

“Aku ingin berteriak,” kata gadis itu.

Wanita pelayan bar keluar dari balik tirai membawakan dua gelas bir pesanan mereka, dan meletakkannya bersama tatakan yang sudah lembab di atas meja. “Keretanya akan tiba lima menit lagi,” katanya.

“Apa katanya?” Tanya si gadis.

“Keretanya sampai lima menit lagi.”

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

No Responses

Tuliskan komentar