Menu

Uban Nenekku Bercahaya | Cerpen Akhmad IlhamCahyono

Masih jam tiga pagi. Tiket di tanganku tergenggam erat. Rokok baru saja kunyalakan. Bangku-bangku besi hijau yang dingin ini bergeming, sesekali membisikkan hal yang sudah lama terjadi dan terkadang itu menyakitkan hati.

Aku melihat ada seorang penjaga pos penitipan barang di sebelah toilet yang tertidur. Mungkin ia lelah seharian melayani orang-orang yang terburu-buru ingin kencing juga diburu jam kerja pagi hari. Bangku besi hijau itu banyak jumlahnya, ada sekitar lebih dari sepuluh. Empat di depanku terpisah dengan ukuran masing-masing sepanjang tubuh orang dewasa. Tiga dibelakangnya adalah tempatku menunggu sekarang. Sisanya ada di belakangku dengan di tiap celanya ada satu pot tumbuhan pakis agak besar.

Tiket aku masukkan saku. Aku mengambil buku di tasku. Buku karya sastrawan besar. Antologi puisi Rendra, Blues Untuk Bonie. Buku itu tipis dan sangat ringan. Tapi ada satu hal yang membuatku masih seperti di angan-angan. Nenekku. Wanita dengan usia tujuhpuluh tahun. Sangat keriput, ubannya banyak, iris matanya memudar, dan tangannya selalu gemetaran. Aku menutup buku puisi itu.

Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya lewat hidung sembari kutatap bara di ujung rokok itu. Lalu aku mendongak, menoleh sana-sini. Stasiun ini sepi. Ingatanku kembali pada orang tua itu, nenekku.

***

“Nenek dulu ingat ketika usiamu menginjak tujuh tahun. Masih bisa dibilang polos padahal usia itu seharusnya pikiranmu sudah agak kotor seperti bocah zaman sekarang. Mungkin dulu alam masih mengenergimu dengan belas kasih dan sayang.”

Ternyata getar tangan nenekku tak mengindikasikan kemampuannya dalam berceramah dan berbicara berkurang. Sungguh aku terhenyak. Mungkin karena telah hampir sembilan tahun aku pergi dari desa semenjak bapak ibuku mati.

“Waktu kamu pergi sehabis layatan orang-orang itu, nenek sama sekali tak khawatir siapa yang akan merawatku dan kakekmu. Tapi nenek khawatir bagaimana nasib mentalmu nanti di kota besar. Sungguh takut.” Aku terhenyak lagi.

“Buktinya setelah bertahun aku meninggalkanmu, nek, aku masih kembali.”

“Bibirmu hitam sekarang, tak merah lagi. Semoga hatimu tetap merah le.

Di dipan bambu hitam yang masih kududuki, aku merasa udara sore hari begitu bersahabat dan sedikit menyayat. Nenek beranjak mengambil air panas yang dimasaknya—tentu saja masih menggunakan tungku api yang bahan bakarnya adalah kayu. Nenek menolak kubantu untuk berdiri.

”Nenek masih kuat berdiri le. Yang bergetar hanya tangan saja. Mbah kakung mu itu yang sudah tak kuat lagi bangun.”

Aku menoleh ke kamar sebelah, nampak kasur yang sudah sangat tipis. Kakekku terbaring lemah. Mengucap dan komat-kamit. Membaca doa.

Di gubuk yang agak reot ini. Di dapur yang masih kental akan nuansa asri. Kepulan asap tungku terlihat menari-nari disibak angin sepoi dan disorot cahaya matahari senja. Nenek masih sibuk menuang air panas ke dalam teko. Menyiapkan dua buah gelas. Teh untuknya dan kopi untukku.

“Kalau kamu mau merokok tinggal nyalakan saja le, nenek maklum. Dunia memang sudah seharusnya begini.”

“Di sana-sini rumah mewah dan gedung perbelanjaan menjulang nek. Kenapa nenek masih suka tinggal di tempat ini?” Tukasku tanpa mengindahkan omongan nenek tadi.

“Nenek sudah lama hidup di sini. Tahu mana yang baik dan tidak. Lebih tahu daripada orang-orang yang hanya mengejar dunia. Hidup sudah di dunia tapi masih mengejar dunia. Nenek lebih tahu.”

Rasanya aku tidak bisa membalas apapun dari perkataan nenek. Begitu terasa memang, pematang sawah pinggir jalan yang dulunya adalah tempatku memancing belut kini berubah jadi halaman toko. Anginnya tak seperti dulu lagi, sorot merah matahari kehilangan tempat singgahnya di sore hari. Ketika aku berjalan menyusuri jalanan itu, jalanan menuju tempat nenek—waktu aku baru sampai dan jalan kaki dari stasiun—anak kecil sudah berubah pola tingkahnya. Berkumpul melingkar memainkan telepon genggam. Dulu, aku begitu senangnya mencari belut ramai-ramai bersama temanku. Tak ada yang merusak kesenangan kami. Tak ada sama sekali. Mataku hampir menggenang mengingat itu. Masa kecil indah yang kini hilang dipikiran anak kecil seperti mereka.

“Sebenarnya nenek sedih. Tapi kesedihan nenek tak berati dan tak mungkin lagi bisa dirasakan orang-orang sekarang. Yang tertinggal hanya beberapa petak sawah dan kebun. Dulu kebun dan sawah seperti surga, menjadi tempat bermain anak kecil. Menjadi tempat perbincangan para petani. Menjadi tempat burung berkicau. Menjadi tempat segala susila beradu dan menyatu.” Nenek menyeruput tehnya, dengan gemetar. Cangkir kopiku tak bergeser dari tempatnya. Masih terdiam di sana.

Sore habis, adzan berkumandang. Nenek menyuruhku sembahyang. Asap rokok di asbak masih mengepul tebal. Kakek terlihat masih komat-kamit. Membaca doa.

***

Bangku biru kini di segala penjuru. Samping kanan dan kiri. Saling berhadapan. Kebetulan atau memang sepi. Gerbong kereta tujuan Yogyakarta ini sama saja dengan stasiunya. Sepi dan mengugah sunyi. Keberangkatanku memang subuh dan itu yang membuat kereta sepi—menurutku. Lagipula ini kereta jurusan jauh, tidak ada pekerja kantor yang terburu-buru apalagi sampai tertidur karena kurangnya jatah istirahat mereka karena lembur. Di depanku hanya bangku empuk berwarna biru. Kosong. Hanya tasku yang ada di sebelahku.

Semalam aku tak tidur karena memang perjalanan dari desa ke stasiun memakan waktu yang cukup lama. Aku ingin tidur tapi rasanya sayang sekali melewatkan perasaan yang belum selesai ini. Di satu gerbong hanya ada aku dan satu penjaga yang telah pulas. Lagi-lagi sepi. Buku Rendra diam-diam mengintip dari dalam tas. Aku mengambilnya, membaca dan berharap bisa tertidur. Melupakan rasa yang belum selesai. Tetap tak bisa. Buku tertutup dan kuletakkan di depanku, di bangku kosong berwarna biru. Mataku menyaut sinar matahari di luar jendela.

Perjalananku sudah tigapuluh menit. Terhampar pematang sawah yang hijau. Terlihat petani membungkuk di antara kabut-kabut yang yang terjalin di dedaunan padi. Matahari begitu sayu, bercengkerama dengan syahdunya kabut abu. Sesekali aku tersenyum dan menghela napas. Gerbong tentu saja sepi, aku menoleh ke belakang ketika petugas jaga itu bangun dan melemper senyum padaku. Sekejap aku lupa perasaan yang belum selesai ini. Sekejap itu juga aku kembali sepi. Menatap lamat-lamat matahari dan hamparan padi. Suara khas kereta berjalan mengiringi. Gerbong tetap sepi.

***

“Bangun le, cuci muka atau mandi dulu sana. Nenek buatkan kopi. O ya, subuh sudah terlewat. Nenek tak berani membangunkanmu. Kamu kelihatan lelah sekali.”

”Hmmm..” Aku menguap dan mengucek mata.

Aku memutuskan tak banyak bicara kali ini. Aku memberikan kesempatan pada nenek untuk ceramah lagi. Sepertinya dia masih punya banyak hal untuk diceritakan.

Kami duduk berdua. Saling berhadapan. Kali ini di luar rumah. Di teras beralas tanah.

“Lihat, sawah tak sedap lagi dipandang gara-gara bangunan itu. Padi-padiku jadi tak cukup cahaya matahari. Menguning sebelum waktunya. Hama dimana-mana.”

Muka nenek selalu datar, tapi nada suaranya yang kadang membuat aku hanyut dalam kedukaan seseorang yang telah tua dan renta sepertinya.

“Sebenarnya nek, aku kemari karena ingin tahu keadaan desa ini. Tapi sepertinya kita sama. Sama-sama kecewa.”

“Ya begitulah le.” Nenek beranjak ke dalam. Sepertinya mau mengurusi kakek.

Beberapa hari di sini lengkap buatku. Buat menelan seluruh kekecewaan yang tumpah di keriput nenek. Di doa-doa kakek. Suatu hari aku sengaja berjalan-jalan, mencari tahu suasana. Sungguh berbeda. Sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana meluapkan kekecewaan. Seharusnya kesenangan masa kecilku yang murni terwariskan pada mereka, para perjaka-perjaka kecil itu.

Dulu ketika musim angin tiba, layang-layang beradu di langit sana-sini. Anak kecil berlarian mengejar layang-layang yang putus. Berlari di pematang sawah tanpa mengindahkan teriakan ancaman para petani yang takut padinya rusak gara-gara jejak kecil anak-anak. Tetap saja itu satu kenangan indah bagiku. Sekarang berbeda. Anak kecil lebih suka bermedia sosial. Entah apa yang mereka lakukan sebenarnya.

Dari jauh rumah nenek terlihat asri meskipun rusak sana-sini. Satu-satunya surga untuk bernostalgia. Aku lega.

“Nek, nenek.” Tak ada suara. Angin sore dan gelombang dedaunan padi sedang menari. Hanya itu saja yang terasa dan terlihat.

Aku memutuskan membuat kopi sendiri. Agaknya cuma ini yang membuat suasana makin tenteram.

“Nek, kopi bubuknya nenek taruh mana?” Aku berjalan menuju kamar kakek. Biasanya nenek memijat-mijat kaki kakek.

Aku terdiam. Terhenyak. Sepi. Angin masih damai. Kamar ini terasa nyaman sekali. Aku melihat kakek tidak komat-kamit lagi. Tidak membaca doa lagi. Di samping kakek, nenek terbujur, kepalanya di dada kakek. Tak ada gerakan. Ubannya seperti bercahaya. Sunyi dan sepi sekali. O Tuhan! Nenek dan kakek telah mati!

***

Tiba di stasiun Yogyakarta. Kali ini ramai. Telepon genggamku berdering. Ada pesan masuk dari kekasihku, Nur.

“Baja, kamu sudah tiba di Jogja? Bisa temui aku di kedai kopi seperti biasa?”

Sekejap itu juga aku langsung menuju kedai kopi. Dalam perjalanan aku melamun. Nenek sudah tenang kali ini. Setidaknya tak perlu memikirkan hiruk pikuk masalah padi-padinya yang terserang hama dan menguning sebelum waktunya. Kakek juga sepertinya sudah tenang dan tetap membaca doa, kali ini di alam sana.

“Nur, sudah lama menunggu?”

“Tidak juga, aku baru saja sampai. Bagaimana perjalan panjangmu?”

Tanpa basa-basi. Otakku meledak memikirkan kata-kata nenek yang terakhir. Ya begitulah, le.

Rencana yang dadakan dan begitu berani. “Nur, besok kita pergi ke bapakmu. Aku akan melamarmu. Sudah, aku begitu mencintaimu. Setelah kita menikah, kita akan pergi ke desa nenek dan hidup di sana sampai kita tua. Akan aku ceritakan apa saja yang aku rasakan dalam perjalan panjang ke desa.”

Nur terhenyak. Pelayan mengantarkan kopi. Hari mulai meredup. Kami berdua masih saling pandang. Lagi-lagi, kedai kopi itu tiba-tiba sepi.

 

Akhmad Ilham Cahyono, lahir di Pasuruan, 28 Juni 1998. Tercatat aktif sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY.

Tuliskan komentar