Menu

Bebukitan yang Serupa Gajah Putih | Ernest Hemingway | Terjemahan Bunga Damai Prasasti

 

“Dengan tambahan air atau tidak?”

“Kamu mau ditambahkan air?”

“Entahlah,” jawab si gadis. “Apakah rasanya enak jika begitu?”

“Ya, tetap enak.”

“Jadi, minumannya ditambah air?” Tanya pelayan itu. 

“Ya, ditambah air.”

“Rasanya seperti permen licorice,” komentar gadis itu setelah menyesap minumannya, lalu meletakkan gelasnya di atas meja. 

“Semua minuman begitu.”

“Ya,” kata gadis itu lagi. “Segalanya terasa seperti licorice. Apalagi kalau itu adalah minuman yang ditunggu-tunggu sejak lama, seperti absinthe.”

“Oh, sudahlah jangan dibahas,”

“Kau yang memulai duluan,” kata si gadis. “Aku cuma bercanda. Aku hanya berusaha menikmati suasana.” 

Well, kalau begitu, mari kita buat suasana jadi menyenangkan.”

“Baiklah, aku sudah mencobanya mencairkan suasana dari tadi dengan mengatakan padamu bahwa bukit-bukit di sana terlihat seperti gajah putih. Tidakkah itu menakjubkan?”

“Itu menakjubkan,”

“Aku juga ingin mencoba minuman yang asing bagiku ini. Itulah yang kita lakukan selama ini, bukan? Menikmati berbagai hal dan mencoba minuman baru.”

“Ya, betul.”

“Bukit-bukit itu tampak indah,” ujar si gadis, “Tentu saja bentuknya tidak sama persis seperti gajah putih. Yang kumaksud mirip adalah warnanya, seakan-akan merekalah yang ada diantara pepohonan itu. 

“Mungkin kita harus minum lagi,”

“Ide bagus.”

Angin yang hangat meniup tirai manik-manik ke arah meja mereka.

“Bir ini enak dan menyegarkan,” ujar pemuda itu. 

“Ya, enak sekali” timpal si gadis. 

“Jig, operasi itu cuma operasi biasa yang sangat sederhana,” ujar si pemuda. “Bahkan bukan seperti operasi sungguhan.”

Gadis itu menunduk, memandangi lantai tempat kaki-kaki meja berpijak. 

“Kurasa kau tidak akan keberatan, Jig.  Sama sekali bukan apa-apa. Hanya seperti ditiup angin saja.”

Gadis itu diam tak menanggapinya. 

“Aku akan ikut dan menemanimu sepanjang waktu. Mereka hanya akan meniupkan sedikit angin, dan segalanya kembali seperti semula.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan setelah itu?”

“Kita akan baik-baik saja, seperti sebelumnya.”

“Apa yang membuatmu beranggapan demikian?”

“Karena cuma itu yang mengganggu kita. Satu-satunya hal yang membuat kita tidak bahagia.”

Si gadis memandang tirai, meraihnya dan menggenggam dua untaian manik-manik. 

“Menurutmu setelah itu kita akan tenang dan bahagia.”

“Aku yakin begitu. Kau tak perlu takut, aku tahu banyak orang yang telah menjalaninya.”

“Sama,” gadis itu menimpali. “Kemudian mereka semua diliputi kebahagiaan.” 

Well,” kata pemuda itu, “kau tidak harus melakukannya jika kau enggan. Aku tidak akan memaksa. Tapi yang aku tahu prosesnya sangatlah sederhana.”

“Bagaimana denganmu, apakah kau mau aku melakukannya?”

“Kurasa itulah jalan terbaiknya, tapi jangan lakukan kalau kau tidak ingin,”

“Jika aku setuju kau akan senang, segalanya akan membaik seperti sedia kala, dan kau akan mencintaiku lagi?”

“Saat ini pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”

“Ya, aku tahu. Tapi jika aku melakukannya, kita tidak akan sering bertengkar lagi? jika aku mengatakan banyak benda terlihat mirip gajah gajah putih, dan kau tidak akan marah?

“Ya, aku akan senang mendengarnya, begitu juga saat ini. Tapi aku sedang tidak bisa memikirkan hal semacam itu. Kau tahu kan bagaimana sikapku ketika sedang cemas.”

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

No Responses

Tuliskan komentar