Menu

Pergulatan Dua Penulis | Cerpen Ramli Lahaping

https://depositphotos.com/

https://depositphotos.com/

 

Aku semakin tak mengerti perihal pandangan orang terhadap nilai cerpen. Sedari dahulu, sampai saat ini, aku sering kali menemukan cerpen-cerpen yang menurutku rendah mutu di media massa. Cerpen yang sama sekali tak menyajikan cerita yang mengesankan. Hanya sekadar kumpulan kata-kata yang merangkai kebetulan-kebetulan yang klise, atau malah tidak masuk akal sama sekali.

Kukira, permasalahan cerpen tersebut terjadi karena para penulis terkesan muluk-muluk. Mereka melalaikan esensi cerpen sebagai satu jenis tulisan yang bertujuan untuk menyampaikan cerita secara sederhana dan menyenangkan. Karena itu, muncullah cerpen dengan pendekatan puisi, karya ilmiah, atau opini bebas. Akibatnya, lahirlah cerpen penuh majas yang sulit dimaknai, cerpen penuh teori ilmiah yang sulit dipahami, atau cerpen penuh nasihat pribadi yang sulit disepakati.

Di tengah kegusaranku menyaksikan cerpen-cerpen semacam itu menyesaki media massa, aku pun menjadi seorang komentator anonim. Setiap kali ada cerpen yang dimuat di media daring, aku akan membubuhkan pendapatku di kolom komentar. Aku akan menanggapi cerpen-cerpen tersebut berdasarkan pandanganku tentang kriteria cerpen yang baik.

Sampai akhirnya, kekesalanku memuncak dua puluh hari yang lalu, setelah aku membaca sebuah cerpen surealis di sebuah media daring yang terkenal sebagai patron penulisan cerpen. Pasalnya, cerpen dengan nama penulis Angkasa Bumi itu, sama sekali tak jelas juntrunganya. Sebuah cerpen yang mungkin dianggap sebagai cerpen sufi bagi para panjaga redaksi media tersebut, tetapi bagiku sama sekali tak berharga. Sebuah cerpen yang hanya sekadar kumpulan kepingan citra imajinatif yang berserakan, kemudian dirangkai sang penulis dengan sebab-akibat yang tidak bisa dinalari. 

Tanpa menunda waktu, aku pun mengomentari cerpen absurd itu dengan kritik bernada cacian. Seketika pula, warganet turut memberi komentar yang sebagian besar jauh lebih kasar daripada komentarku. Atas kenyataan itu, aku pun merasa senang, sebab aku menemukan fakta bahwa banyak di antara para pembaca cerpen yang merasakan keresahan yang sama sepertiku. Mereka juga gerah atas cerpen-cerpen arus utama yang sok imajinatif tetapi sama sekali tidak mengandung nilai cerita.

Keresahan yang kualami perihal cerpen masa kini, kuyakin juga menjadi keresahan Hasram, teman karibku dalam dunia penulisan. Apalagi, aku tahu bahwa ia merasakan kekecewaan yang sama sepertiku, bahwa kami telah berusaha menembus redaksi media, tetapi kami tak juga berhasil. Kami senantiasa harus menerima kenyataan bahwa naskah cerpen kami hanya menganggur di meja redaksi hingga masa tunggu pemuatannya berakhir. 

Hingga akhirnya, sembilan belas hari yang lalu, aku dan Hasram kembali bertemu di sebuah kafe favorit kami atas ajakannya. Pada awalnya, kukira kami hanya akan mengkritisi dan menggunjingkan cerpen orang-orang yang senantiasa membuat kami geram sekaligus prihatin. Tetapi seketika, aku menyaksikan kesedihan di wajahnya, seolah-olah ia telah kehilangan semangat untuk berbagi cerita dan bertukar pendapat.

“Kamu kenapa? Kok murung begitu? Ada masalah hati?” tanyaku, setengah bercanda.

Ia pun memanyunkan bibirnya, lantas mendengus keras. “Ternyata ketenaran itu penuh dengan cobaan,” balasnya, tanpa benar-benar menjawab.

“Maksudmu?” tanyaku, terheran.

Ia kembali mendengkus. “Kemarin, cerpenku terbit di sebuah media daring. Tetapi seketika, cerpenku itu mendapatkan celaan-celaan yang keras.”

“Itu memang risiko. Anggap saja sebagai kritikan,” tanggapku, dengan perasaan yang terkesan atas keberhasilannya mencatatkan nama sebagai penulis cerpen di media massa. “Memangnya, cerpenmu terbit di mana? Coba lihat.”

Ia lalu mengetik di ponselnya, kemudian mengirimiku alamat laman internet melalui pesan Whatsapp.

Aku lantas mengeklik tautan tersebut, hingga aku pun menyaksikan sebuah cerpen atas nama Angkasa Bumi, yang telah kubaca dan kukomentari dengan kritikan kasar sehari sebelumnya. Karena itu, aku berusaha bertingkah biasa dengan menatap kosong pada layar ponselku, seolah-olah aku baru membaca cerpen tersebut.

Sesaat kemudian, aku pun menuturkan pendapat, “Bagus, kok. Kau jangan terlalu memikirkan komentar-komentar orang di balik akun anonim. Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang iri kepadamu karena mereka tak mampu menembus redaksi media daring ternama sepertimu.”

Ia pun tersenyum simpul. “Tetapi komentar-komentar itu, terkesan ada benarnya juga. Aku kini menduga-duga bahwa barangkali, pendapatkulah yang salah tentang kriteria cerpen yang baik.”

Sontak, aku tergelak menyaksikan perubahan sikapnya. Ia seolah telah kehilangan daya kritik. “Berhentilah memusingkan soal itu. Yang perlu engkau lakukan adalah kembali menulis karya-karya secara konsisten, hingga mereka sadar perihal nilai cerpen yang baik.”

Ia lantas mengangguk pelan dan mengembuskan napas yang panjang.

“Tetapi aku sedikit heran, kenapa kau menulis cerpen dengan genre surealis seperti ini? Bukankah kau membenci cerita-cerita yang absurd?” tanyaku, tak habis pikir.

Ia pun tertawa pendek. “Ya, aku coba-coba saja untuk menanggalkan idealismeku sebagai penulis cerpen realis sepertimu. Dan kuyakin, karena alasan itulah cerpenku diterima, meski ternyata aku hanya bisa menjadi penulis cerpen surealis yang memprihatinkan.” Ia lantas merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Aku kadang berpikir untuk fokus saja menekuni genre surealis, hingga aku mahir dalam genre itu, dan aku jadi penulis yang tersohor.”

Seketika, aku tergelak mendengar sikapnya yang tidak berpendirian. Aku lantas menggeleng untuk menunjukkan ketidaksetujuanku. Aku tetap berpandangan bahwa cerpen-cerpen harus menghadirkan cerita-cerita yang realistis, agar memiliki arti dan dampak yang signifikan bagi kehidupan nyata sebanyak mungkin pembaca.

Akhirnya, setelah percakapan kami itu, aku tetap pada idealismeku untuk menjadi seorang penulis cerpen realis. Aku terus melatih diriku untuk menghasilkan karya cerita yang nyata dan logis. Hasilnya, kemarin, aku berhasil mencatatkan namaku di media daring tempat Hasran telah mencatatkan namanya.

Tetapi kenyataan yang kualami atas pemuatan cerpenku, persis pula yang dialami oleh Hasram. Sesaat setelah cerpenku itu terunggah di laman media tersebut, orang-orang lantas mengirimkan komentar yang lebih banyak terbaca sebagai cacian ketimbang kritikan. Dan secara khusus, aku pun menaruh kekesalan yang mendalam kepada seorang komentator anonim yang mencaci cerpenku dengan bahasa yang sangat kotor.

Atas kekalutanku memusingkan pendapat orang-orang terhadap cerpenku, hari ini, aku pun mangajak Hasran untuk kembali bertemu di kafe favorit kami. Aku ingin berkeluh kesah kepadanya demi menenangkan perasaanku.

Tak lama berselang, ia pun datang menghampiriku dengan wajah yang tampak berseri. Ia lantas duduk di sampingku sambil melayangkan senyuman. “Eh, kau sudah baca tidak sebuah cerpen terbaru di pena-saran.id untuk edisi mingggu ini?”

Sontak saja, aku menelan ludah di tenggorokanku. Aku lalu menggeleng dan menjawab dengan kebohongan, “Belum. Memangnya kenapa?”

Ia lantas berseru. “Menurutku, itu adalah salah satu cerpen terbaik yang penah kubaca. Realis dan logis,” Ia kemudian melepas tawa. “Tetapi demi membalas kekesalanku atas komentar-komentar orang terhadap cerpenku, akhirnya aku mengirimkan komentar pedas dengan akun anonim untuk cerpen tersebut, hingga beberapa orang turut menambahkan komentar yang senada.”

Seketika, aku tertawa lega mendengar pujiannya yang terselubung untuk karyaku.

“Kini aku sadar, Kawan, bahwa komentar-komentar miring memang sebaiknya tak dihiraukan, sebab banyak di antaranya yang hanya merupakan ekspresi emosional ketimbang ekpresi apresiasi,” katanya, tampak penuh keinsafan.

“Ya, kau benar,” tanggapku.***

Tuliskan komentar