Kontes Ayam Tercantik | Fabel Nuraisah Maulida Adnani

 

Dia adalah Ayam Kate, ayam kecil dengan bulu warna-warni yang mengilap, berbadan pendek dan montok, dan suka berkokok di pagi hari. Sejak kedatangannya bulan lalu, aku menjadi terganggu karena kokokannya yang tak enak didengar. Pemilik bilang bahwa Ayam Kate cantik dan menggemaskan, sedangkan aku melihat Ayam Kate seperti kotoran. Kalau kupikir-pikir, lebih bagus buluku dari pada bulunya, lebih bagus suaraku dibandingkan suaranya yang kecil melengking. Seharusnya semua ayam berukuran seperti aku. Jika ukurannya kecil seperti Ayam Kate, pasti mudah ditabrak kendaraan yang lalu-lalang.

Seusai Ayam Kate berkokok, pemilik akan membuka kunci kandang, memberi para ayam makanan di halaman depan, membiarkan kami berjalan ke mana pun, asal tidak begitu jauh dari rumahnya. Halaman depan menjadi tempat favorit kami untuk melakukan apa saja, di sana terdapat beberapa batang pohon yang nyaman untuk berteduh. Pemilik membuang nasi sisa di sana, kadang aku juga menemukan biji-bijian, dan jika beruntung aku akan menemukan cacing. Jika sudah kenyang, aku suka melihat ke atas, melihat awan-awan bergerak perlahan. 

“Ayam Jago, siapa ayam kecil itu? Aku baru melihatnya,” ucap Burung Bondol dari atas pohon yang dekat denganku. 

“Ayam Kate,” jawabku malas.

“Wow, aku suka bulunya yang mengilap, ekornya juga bagus.”

“Buluku juga mengilap.”

“Tapi yang kecil lebih bagus. Kemarin aku melihat orang-orang sedang mengadakan kontes ayam tercantik. Awalnya aku tak begitu tertarik, tapi setelah mendengar ayam-ayam itu bersuara merdu dan melihat bulunya yang indah, aku menontonnya sampai selesai. Mereka mengadu suara ayam-ayam kecil. Mungkin para manusia sedang tergila-gila pada Ayam Kate,” lanjut Burung Bondol sambil menunjuk Ayam Kate yang sedang memakan nasi sisa.

Aku yakin kesukaan tergantung pada selera, dan selera memang beraneka ragam. Tapi percakapan kali ini membuatku semakin tak suka pada ayam kecil itu. Dia sedang duduk tak jauh dariku. Aku pernah mengikuti lomba adu ayam, berkelahi dengan ayam lain. Tapi karena sering kalah, aku menjadi ayam biasa, mungkin karena aku sudah semakin tua. Dulu pemilik senantiasa meletakkanku di kandang kayu yang bagus, mengelapku dengan kain basah sambil menyanyikan lagu, memastikan buluku tetap mengilap, dan memberiku makanan yang banyak. Walaupun hal tersebut sudah berlalu, pemilik tetap baik padaku, meski aku tidak seistimewa dulu. 

Gumpalan awan saling menyatu, membuat langit terlihat kelabu. Beberapa kali suara gemuruh terdengar seperti tabrakan kendaraan. Burung Bondol mendongak, merasakan angin yang berembus kencang. “Aku pergi dulu,” ucap Burung Bondol sambil mengepakkan sayap, melanjutkan perjalanannya.

Rintik-rintik jatuh perlahan seperti anak-anak berlarian membuat tanah menjadi basah dan lembab. Aku dan ayam-ayam lain yang sempat kehujanan, segera menuju ke tempat teduh, yang tak lain adalah teras rumah pemilik. Aku menghangatkan diri, memeluk badan dengan sayap, tubuhku jadi terlihat kecil, tapi masih ada yang lebih kecil dariku; Ayam Kate yang basah terlihat jelek sekali, ekornya yang panjang kotor oleh lumpur, bulu-bulunya yang basah membuatnya terlihat semakin kecil. 

Langit makin gelap tertutup gumpalan awan, petir sesekali terlihat diikuti dengan suara guntur. Angin berlalu kencang ke arah kami, para ayam -termasuk aku- semakin mendekat satu sama lain. Karena tubuhku semakin dekat dengan Ayam Kate, aku berusaha memberi jarak, tak mau jika buluku sampai terkena lumpur yang menempel di bulunya.

“Merapatlah sedikit, kamu bisa kedinginan,” ucap Ayam Kate. 

“Jika aku mendekat, aku bisa terkena lumpur yang menempel di ekormu,” ucapku sambil melihat sisa lumpur yang menetes dari ekornya.

Ayam Kate terdiam, tetap menjaga jarak. Semua ayam berkokok, bersuara menggigil kedinginan. Beberapa dari mereka saling melihat satu sama lain.

“Ayam Kate, bagaimana bisa ekormu menjadi lebih panjang?” tanya Ayam Kampung dengan tatapan kagum, matanya berkaca-kaca dan bersinar seperti air terkena cahaya matahari. Ayam Kate tersenyum sambil memperlihatkan ekornya, mengayunkan ekor ke arahku.

“Aku membiarkannya tumbuh sendiri,” ucapnya bangga. Lumpur yang ada di ekornya menempel di bulu sayapku. Aku memelototinya, namun dia tetap bangga memperlihatkan ekornya yang kotor itu.

“Aku juga membiarkan ekorku tumbuh sendiri, tapi tak pernah sepanjang milikmu. Bulumu mengilap, suaramu juga bagus, aku ingin menjadi sepertimu,” ucap Ayam Kampung. Bulu Ayam Kampung berwarna hitam dan ekornya pendek, aku pernah mendengar pemilik berucap bahwa tak ada yang menarik dari Ayam Kampung selain rasa dagingnya yang lezat.

“Ha-ha-ha, tak usah. Tetaplah menjadi dirimu sendiri,” Ayam Kate tertawa lebar, tidak menyadari kemarahanku. Aku yakin dia sedang menyombongkan diri. Hanya karena dia terlihat indah di mata seekor ayam, bukan berarti dia terlihat indah di mata semua ayam.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

“Ayam Jago, kenapa kamu melotot?” tanya Ayam Kampung membuatku seketika mengubah ekspresi.

“Kupikir ada masalah dengan penglihatanku,” jawabku berpura-pura.

“Ya, kamu memang sudah tua. Penglihatanmu sudah rabun. Itu pernah dialami oleh ayahku,” ucap Ayam Kate.

Aku merasa ada api yang meluap dalam jantungku, perlahan merambat ke kepala. Aku memang semakin tua, tapi aku masih sehat. Apakah sedari tadi dia tak menyadari kemarahanku ini? 

“Kamu melotot lagi,” ucap Ayam Kampung keheranan. “Seburuk itukah penglihatanmu?” lanjutnya.

Dasar ayam-ayam tak peka, ayam-ayam bodoh. Lebih baik aku menjauh sebelum api dalam diriku menyebar ke seluruh tubuh.

Hujan mulai reda, awan-awan putih bagaikan gulali mulai muncul. Kudengar suara pintu terbuka, pemilik keluar rumah sambil membawa makanan. Ayam-ayam mengikuti langkah pemilik, menyuarakan kokokan semangat. Mereka lapar sekali. Ketika pemilik menuangkan makanan pada wadah, ayam-ayam saling berebut, saling mendorong satu sama lain. Aku sengaja mendorong Ayam Kate dengan kasar, membuat dia terjungkal ke dalam lumpur, bulunya yang mengilap menjadi jelek, berwarna kecoklatan seperti tahi. Ayam-ayam tak peduli dengan hal itu, mereka sibuk dengan makanannya. Aku berusaha menahan tawa, namun tiba-tiba pemilik menangkap Ayam Kate, kemudian menggendongnya seperti bayi. Ayam tercantik.

“Lihat, kamu jadi kotor jika kubiarkan bersama ayam-ayam jelek ini. Aku akan mengikutkanmu di kontes ayam tercantik minggu depan,” ucap pemilik sambil tertawa. Dia menaruh Ayam Kate di kandang kayu yang bagus, mengelap Ayam Kate dengan lap basah sambil menyanyikan lagu.*** []Tulungagung, Desember 2020

By Nuraisah Maulida Adnani

Lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Saat ini bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Tuliskan komentar