Menu

Dokter Jaga Malam | Cerpen Javier Marías | Terjemahan Ilda Karwayu

“Kau masih terjaga. Ada apa?” Lega juga, akhirnya aku bisa mengekspresikan diri dalam bahasa sendiri.

“Ya, aku tak enak badan. Dokter akan datang.”

“Jam segini?”

“Ia dokter jaga malam, siap dipanggil selarut apa pun. Aku sering melakukannya.”

“Begitu? Kau tak pernah cerita tentang ini padaku.”

Claudia meredupkan nyala lampu yang ada di samping kursi, seolah-olah ingin ruangan tampak gelap sebelum ia menjawab, atau mungkin ia tak ingin aku menangkap ekspresi wajahnya; karena wajah kami, ketika berhadapan dan bicara, kerap menampakkan ekspresi yang tak terduga, tak pula disengaja.

“Bukan apa-apa. Masalah wanita. Sangat menyakitkan bagiku. Dokter akan memberikan injeksi untuk meredakannya.”

“Oh, aku mengerti. Injeksi. Tidak bisakah Hélie belajar melakukan itu untukmu?”

Claudia menatapku dengan waspada, kemudian merendahkan suaranya dan siap menjawab (padahal ia tak melakukannya pada pertanyaan sebelumnya).

“Tidak, dia tidak bisa. Tangannya selalu bergetar, jadi aku tak percaya padanya. Lagipula, kalau pun tangannya tidak begitu, tetap takkan optimal. Jika dia yang memberiku injeksi, aku malah curiga itu akan dicampur dengan zat lain, semisal, racun. Dokter yang dikirim kemari sangatlah baik dan, di samping itu, mereka semacam punya tujuan untuk mendatangi apartemen orang pada dini hari. Ngomong-ngomong, dia orang Spanyol. Dia akan berada di sini kapan saja.”

“Dokter Spanyol?”

“Ya, kupikir dari Barcelona. Dan kuasumsikan dia berkebangsaan Prancis, pasti karena praktik di sini. Dia sudah tinggal di sini bertahun-tahun.”

Claudia rupanya mengubah gaya rambutnya sementara aku meninggalkan apartemen untuk mengantar temannya pulang. Mungkin hanya mengurai rambut sebelum tidur, tapi bagiku itu nampak terlalu rapi, seperti sengaja ditata—bukan sekadar uraian rambut para wanita yang bersiap menutup hari.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

“Apa kau ingin aku temani menunggu dokter itu? Atau kau lebih suka sendirian sambil kesakitan?” Pertanyaan retoris mencuat dari mulutku karena, setelah mendapatinya masih terjaga, aku tak ragu untuk menunda tidurku demi memuaskan hasrat mengobrol dan mengistirahatkan lidahku dari bahasa-bahasa menjijikan itu, dan dari anggur yang kuminum sepanjang acara tadi. Sebelum ia sempat menjawab, aku menambahkan: “Temanmu sangat baik. Ia berkata bahwa suaminya sakit; dan para dokter setempat siap untuk malam yang sibuk.”

Claudia terlihat ragu-ragu menatapku, tapi beberapa saat kemudian ia menatapku lurus dengan waspada, tanpa mengatakan apa-apa. Lalu, dia membuka mulutnya, dan kali itu tanpa menatapku:

“Ya, dia juga punya suami—dia, bahkan lebih menyedihkan dari suamiku. Suaminya masih muda, hanya sedikit lebih tua darinya. Mereka sudah 10 tahun bersama dan para lelaki sama kejamnya. Seperti aku, dia tak dapat banyak uang dari pekerjaannya, dan mereka bahkan berbagi air panas untuk mandi. Suatu hari, dia menggunakan air mandinya yang lama untuk menyiram tanaman. Kau tahu? tanaman itu mati tak lama setelah disiram. Ketika mereka pergi bersama, suaminya bahkan tak mentraktirnya kopi, mereka membayar pesanan sendiri-sendiri; sehingga terkadang temanku itu pergi sendiri dan si suami pun menikmati sore sendirian di rumahnya dengan secangkir penuh teh. Temanku tak berpenghasilan banyak, dan sialnya, suaminya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berpikir bahwa, dalam perkawinan, orang yang berpenghasilan lebih rendah pasti mengambil keuntungan dari yang satunya. Suaminya terobsesi dengan itu. Dia memantau semua panggilan telepon temanku, teleponnya diberi perangkat yang otomatis memutus sambungan telepon luar kota, ke kota mana pun! Jadi, jika ingin bicara dengan keluarganya yang di Italia, temanku itu harus pergi ke warung telepon umum, menggunakan koin atau kartu.”

“Kenapa tidak tinggalkan saja?”

Claudia tidak menjawabku secara langsung:

“Aku tak tahu; untuk alasan yang sama, aku tak melakukannya, meskipun situasiku tak seburuk dirinya. Aku pikir dia jujur tentang penghasilannya yang rendah, kupikir dia mengambil keuntungan juga dari suaminya; kupikir orang-orang benar, para suami ini terobsesi pada uang yang mereka habiskan sendiri, dan punya kendali penuh terhadapnya sekaligus terhadap pasangannya yang berpenghasilan rendah, yang tak punya peluang menabung ini; tapi inilah pernikahan, semua punya kompensasi tiada akhir juga.”

Claudia semakin meredupkan nyala lampu di dekatnya, sehingga kami duduk dalam kegelapan yang hampir sempurna. Gaun tidur berkimono itu nampak bersinar merah, efek dari minimnya cahaya di sekitaran. Ia mengecilkan volume suaranya lebih rendah dari yang tadi, sampai ke titik di mana suaranya lebih terdengar seperti bisikan kemarahan. “Kau pikir, kenapa aku sampai mengidap penyakit ini, kau pikir, kenapa aku sampai harus memanggil dokter untuk memberiku injeksi, bahkan obat penenang? Ini pun hanya terjadi pada malam hari, ketika kami mengadakan acara makan malam, atau pesta, ketika suamiku makan banyak dan mabuk semabuk-mabuknya dan asyik dengan dirinya sendiri. Ketika dia mendapati orang lain menatapku, ia membayangkan para lelaki itu, ia membayangkan tatapan mereka, juga apa-apa yang tak diketahui oleh mereka, atau yang dia asumsikan sendiri tentang mereka. Kemudian ia ingin mewujudkannya, ia tak ingin itu selesai sebagai imajinasi. Tak cukup baginya jika hanya membayangkan!” Ia terdiam sesaat lalu menambahkan, “Pria raksasa itu hanyalah siksaan belaka.”

Meskipun telah lama bersahabat, kami belum pernah seterbuka itu dalam berbagi cerita. Dan, bukannya itu menggangguku, sebaliknya, aku sungguh senang menyimak rahasia penting seperti itu. Akan tetapi, aku tidak terbiasa jika dengan Claudia, mungkin wajahku sedikit memerah (bukan karena ia menatapku) dan aku menimpalinya secara canggung; semacam mencegahnya untuk lanjut bercerita, tindakan yang jelas bertentangan dengan keinginan terdalamku:

“Aku mengerti.”

Bel pintu berdering pelan, tapi cukup kencang untuk sampai ke telinga, seperti yang biasa terjadi jika si tuan rumah sudah tahu atau mengharapkan kedatangan tamu.

“Ini dia, dokter jaga malam,” kata Claudia.

“Aku akan meninggalkanmu kalau begitu. Selamat malam, dan kuharap kau segera baikan.”

Kami bersama-sama meninggalkan ruang kerja, ia pergi ke ruang tamu dan aku melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan dengannya: menuju dapur—tempat di mana aku mungkin bisa membaca koran sebentar sebelum tidur—karena pada malam hari di sanalah ruang terhangat di apartemen itu. Namun, sebelum berbelok di sudut koridor yang akan membawaku ke sana, kuhentikan langkah dan melihat ke pintu depan yang sedang dibuka Claudia, pintu itu menutupi punggungnya yang berwarna salmon, sama halnya dengan sosok dokter yang baru saja tiba. Terdengar suara Claudia berbahasa Spanyol kepada dokter itu: “Buenos noches,” dan nampak pula di mataku tangan kiri si dokter, yang mencuat dari balik tubuh teman Italiaku itu, membawa tas jinjing hitam khas dokter, sama seperti yang pernah kulihat di rumah wanita muda, teman Italia Claudia—yang namanya tak kunjung dapat kuingat. Dokter itu pasti datang dengan mobil, pikirku.

Mereka menutup pintu depan dan berjalan menyusuri koridor tanpa melihatku, Claudia memimpin langkah mereka; kemudian aku menuju dapur. Di sana aku duduk dan menuang gin sendiri (sesungguhnya gin tanpa campuran itu terasa konyol!) lalu membuka koran Spanyol yang kubeli siang hari—sebenarnya koran kemarin lusa dari hari itu, tapi bagiku berita di dalamnya masih segar.

 

Tuliskan komentar