Menu

Resah | Cerpen Hikmatul Ika

Resah Cerpen Hikmatul Ika | https://www.liputan6.com/

 

Sejujurnya, di hari berikutnya pun aku masih resah dalam dilema. Berbagai pendapat Mbak Nining masih berputar-putar di kepalaku, bahkan hingga teringat lagi wejangan-wejangan si embok yang pernah bilang, “Calonmu itu orang baik, rajin dan pekerja keras.” imbuhnya sembari menanak nasi. Namun aku hanya bisa mencerna, tanpa sekalipun berniat menyanggah.

“Cari petunjuk dulu, Za. Salat istikharah. Sebab menikah bukan soal satu atau dua bulan, tapi selamanya,” lanjut Mbak Nining yang muncul di layar gawaiku. Ah!

Mbak Nining benar, dengan kegalauanku kali ini memang petunjuk-Nya yang paling berarti.

“Kanza minta waktu ya Mbak?” kutulis pesan itu dengan sangsi.

Dalam keheningan semesta, seperti halnya malam pertama aku mendengar sebuah permintaan itu, masih saja benak ini bergelut dengan pikiran. Pertanyaan-pertanyaan dan kilas balik tentang laki-laki yang mencoba melamarku muncul samar-samar. Antara disengaja atau kebetulan, memang terlampau sering kami berpapasan meski tanpa berkata-kata.

Bagaimana mau berbicara? Dalam riwayatku, belum sekalipun kuingat pernah menyapa bahkan sekadar basa-basi. Kami orang asing yang terasing, padahal kediamannya tak sampai satu kilo meter perjalanan. Perkiraanku siput pun bisa berkunjung tak lebih dari tiga puluh menit. Namun begitulah, kami tetaplah orang asing. Salah! Tetangga yang asing. Bisa jadi, bila kisah ini kuabadikan dalam sebuah karya mungkin akan berjudul “Jodohku Seorang Tetangga Asing” atau bisa jadi sejenisnya. Akan tetapi aku tidak ingin mengabadikannya, terlalu rumit dan pasti seklise FTV.

Dia bernama Jingga. Usianya lima tahun lebih dewasa dariku. Kepribadiannya tampan dan matang. Selain itu dia pekerja keras dan istikamah dalam beribadah. Kalau boleh jujur, sebenarnya Mas Jingga sudah termasuk calon menantu dengan paket komplit. Urusan akhirat dan dunia tidak timpang sebelah. Intelektualitasnya tak kalah tinggi dengan postur tubuhnya yang tegap. Kumis tipis dan janggutnya yang bergelantungan malah menambah kesan dewasa. Pekerjaannya mapan, meski tidak berpendidikan tinggi.

Lantas, bukankah Mas Jingga seharusnya bersanding dengan wanita berkualifikasi sama? Namun coba lihat aku, ibadah saja masih acak-acakan, perasaan yang belum sembuh, postur tubuh yang tidak semampai, tidak tren, pekerjaan masih serabutan. Kualifikasiku juga jauh dari standar sosial.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

Jikapun disejajarkan dengan Mas Jingga, aku tidak memiliki satupun kebanggaan. Ah, kecuali sikap bodoh amat dan pendiam yang entah akan menjadi nilai plus atau malah menjadi tambahan minus di matanya.  Sementara itu, ada satu hal yang paling membuatku gundah; mengenai separuh hati yang telah kuberikan kepada orang lain.

Benar, orang lain. Kami telah kenal lama. Dia adalah seseorang yang telah menemani masa remajaku di bangku SMA. Seorang teman dekat yang tanpa sengaja berhasil merenggut separuh duniaku. Seseorang yang tanpa sadar kuletakkan berjuta harap di hatinya, pun selalu kusebut dalam doa. Walaupun tidak selamanya doa itu baik. Sebab terkadang dia kusenandungkan ketika rasa ragu semakin menumpuk dan menggunung bak Mahameru. Dia orang lain yang menjadi dekat. Akan tetapi dalam seketika berubah menjadi lebih asing seperti akhir-akhir ini.

“Bagaimana pendapatmu tentang aku?”

“Kamu kenapa sih?”

“Aku ingin tahu kejelasan tentang kita.”

“Jalani saja dulu.” ungkapnya tanpa emosi.

Aku mencintainya, tapi tidak berkuasa. Tak mempunyai otoritas mengubah seseorang untuk membenci, apalagi mencintai dan tidak mampu membuatnya bertahan dengan segala yang terjadi. Lantas kini hanya bisa berserah dan pasrah dengan iringan doa yang kuamini. Sebab selain Tuhan, siapa lagi yang kumiliki?

Toh, bukanlah pertama kalinya aku berpamitan untuk pergi. Sudah bertahun-tahun lalu, tapi tak ada ujung dan kepastian yang datang. Aku seperti wanita bodoh yang mengharapkan dia tentang cinta dan masa depan. Ah! Sepertinya aku memang bodoh. Sebab entah berapa ribu kali terjatuh di lubang yang sama.

Kendati manusia tidak tahu akhir dari perjalanannya, tapi manusia bisa memilih jalan yang akan ditujunya, ‘kan?

***

Tuliskan komentar