Aku mengatakan apa yang Munir katakan, jika aku bohong, berarti Munir yang tidak jujur.
Di dalam rumah kecil, aku memiliki rumah yang lebih kecil yang bisa dipindah-pindah dimana saja. Aku tinggal bersama sepasang kekasih, Munir dan Solikah. Setiap subuh aku diajari cara berbicara seperti mereka. Aku menirukan apa yang mereka ucapkan. Seperti memanggil Munir dengan sebutan Ayah, atau memanggil Solikah dengan sebutan Ibu, aku ahli dalam hal meniru dan memang seperti itulah yang harus kulakukan untuk membuktikan bahwa aku sayang mereka berdua, ayah dan ibuku.
Aku baru saja bangun ketika Munir—ayahku—pulang dengan wajah sumringah namun matanya merah. Kulihat jam di dinding putih ruang tamu itu baru menunjukkan pukul 5 pagi. sudah berkali-kali Ayah pulang jam segitu. Namun baru kali ini aku bangun jam lima pagi. Aku sedikit menyesal, karena berarti aku melewatkan adzan subuh. Meskipun aku tidak melakukan ibadah seperti Ibu, tapi aku sebenarnya senang mendengarkan adzan subuh itu. Suaranya bagus. Kata Ayah itu adalah suara Pak Min, lelaki berusia 38 tahun yang tinggal di dekat mushola.
“Pagi Ramboo,” sapanya ketika mendapati mataku melek. Aku diam saja, masih mengantuk.
“Heh, kalau disapa itu harus balik nyapa!? Kecil-kecil kok nggak sopan…”
“Pagi juga Ayah Munir!?”
“Nah!? Bagus… kau mulai pandai, suaramu juga semakin oke,” katanya sambil tertawa. Aku senang melihatnya tertawa seperti itu. Seolah tugasku menjalani kehidupan tuntas begitu saja sebagai anak saleh.
Kemudian ia melesat ke dapur sebentar dan kembali dengan membawa segelas kopi panas. Ada asap mengepul di atas cangkir itu ketika mulut Ayah meniup dekat bibir cangkirnya.
“Ramboo!? aku punya cerita baru,” katanya dengan wajah girang sambil duduk di sofa memandangiku.
Ayah memang suka bercerita, terutama sejak Ibu pergi. Katanya Ibu pergi ziarah walisongo selama lima hari bersama rombongan musimat. Aku tidak tahu apa itu ziarah walisongo? pengajian pun aku tak tahu. Ayah tak pernah menjelaskan secara rinci padaku.
Aku hanya tahu sejak Ibu pergi ziarah, Ayah juga sering pergi. Dia tidak pernah cerita hendak kemana, namun dia akan cerita begitu ia pulang. Selama empat hari ini, cerita-ceritanya membuat dirinya sendiri menangis, kadang mengamuk. Mungkin karena ceritanya memang menyedihkan dan menakutkan.
Pagi ini mungkin Ayah akan menceritakan tentang kesenangan. Aku tahu sebab wajahnya begitu sumringah. Aku sedikit lega. Setidaknya aku terlepas dari beban menjadi pelampiasan atas kesedihan dan kemarahannya seperti saat dia pulang dengan muka babak belur karena dikeroyok orang tak dikenal. Hampir mati kena cekik gara-gara ia memperagakan bagaimana ia dikeroyok.
“Tenang, Ramboo … kali ini ceritanya bahagia, kok,” ujarnya sambil menyerutup kopi yang kelihatannya sudah tak panas lagi. “Begini… aku baru saja dari rumah Marni. Tetangga kita yang rumahnya berwarna hijau, yang suaminya minggu lalu pergi ke Sumatera jadi pekerja sawit, hehehe,”
Ayah meringis. Aku memang tahu rumah Marni, tapi aku belum pernah lihat Marni. Dulu Ayah pernah menunjukkan rumah itu ketika kami berdua sedang berjemur di halaman rumah. Soal kepergian suami Marni ke Sumatera, Ayah baru cerita. Mungkin dia lupa.
“Nah, sebenarnya aku sama Marni tadi malam pergi ke pasar malam. Marni yang duluan sms aku. Dasar.. wanita kesepian.. hahaha…”
Kepala Ayah geleng-geleng sambil ketawa, tangan kanan meraba saku celananya, mengambil handphone dan menunjukkan isi sms dari Marni.
“Hah.. percuma sih.. kau kan belum bisa baca! Huh merepotkan saja. Yasudah, kubacakan saja!?” Gerutunya sambil menarik kembali handphone yang layarnya sempat kuintip dari rumah kecilku.
“Mas Munir, nanti malam ke pasar malam yuk, bosan di rumah nih.” Kata Ayah ketika membaca sesuatu dari handphone-nya, suaranya dikecilkan dengan sedikit manja, seperti suara Ibu ketika merayu Ayah.
Aku hanya bisa diam, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mau ketawa pun aku tak tahu bagian mana yang lucu sehingga Ayah bisa ketawa sekeras itu. Selain itu aku sudah yakin bahwa Ayah tak akan mengerti kalau aku tertawa. Mau bertanya juga takut, Ayah tak pernah mengajariku cara bertanya.
“Jadi gini, Mboo Ramboo… setelah dari pasar malam, kami pun akhirnya pulang ke rumah Marni. Katanya dia punya sesuatu yang ingin dia berikan ke aku. Pergilah kami… berdua… hehe…”
Kali ini Ayah menaikkan alisnya beberapa kali, membuat mata besarnya semakin besar dan bibirnya senyum mengembang. Melihat wajahnya membuatku ingin tertawa, tapi kuurungkan. Takut Ayah marah. Aku memilih menatap matanya sambil pura-pura hanyut daam ceritanya.
“Kau tahu apa yang terjadi?”
Aku menggeleng sebisaku.
“Ah… aku bingung sebenarnya mau kuceritakan atau tidak. Kamu masih terlalu kecil untuk cerita ini, Mboo… tapi, aku tidak tahan ingin membagikan kebahagiaan yang aku dapat pagi ini! Haduh, gimana ya…”
Aku tahu Ayah hanya pura-pura. Selalu seperti itu, menganggapku masih kecil dan tidak pantas mendengar ceritanya. Namun ujung-ujungnya dia cerita juga, seperti ketika dia berhasil membunuh dengan sadis orang gila di kampung itu. Aku ingat betul bagaimana ia menceritakan kejadian itu, ia memotong tubuh orang gila itu dan membuangnya ke sungai kampung tetangga. Aku juga ingat alasan ia membunuh orang gila itu.
“Yasudahlah.. kuceritakan saja. Aku tidak tahan… Hahaha..”
Sudah kuduga, dia akan melanjutkan ceritanya.
“Aku kawin dengan Marni, Mboo!” bisiknya mendekati kepalaku. “Ah… aku kira dia hanya wanita lemah, ternyata dia binal sekali kalau di ranjang! Justru aku yang kewalahan! Tubuhnya benar-benar….seksi! Aku bahkan merasa baru saja merawanin dia! Masih sempit! Ah.. beruntung sekali Mulyono… tapi aku tetap saja lebih beruntung! Hahahaha…” tawanya menggelegar setelah cerita panjangnya.
Berkali-kali Ayah mengulang kata merawani dan sempit. Panjang lebar ia cerita dan diiringi dengan tawa yang terlihat puas. Sementara aku sama sekali tak tahu apa yang ia maksud. Terutama soal kata yang dia ulang-ulang. Seingatku, Ayah tak pernah mengucapkan kata-kata itu, apaagi mengajariku.
“Aku jadi curiga, Mboo. Jangan-jangan Mulyono belum pernah merasakan tubuh Marni! Pantas mereka tidak punya anak! Padahal mereka sudah empat tahun menikah. Hahaha. Atau, jangan-jangan Mulyono mandul?”
Aku tetap tidak paham apa yang Ayah katakan. Mungkin inilah yang ia maksud aku masih terlalu kecil untuk mendengar ceritanya itu. Sehingga apa yang ia katakan tidak aku pahami sebagaimana pemahaman Ayah. Mungkin aku harus sebesar Ayah?
Semoga Ayah bersedia menjelaskan detail tentang apa itu merawani seperti ketika ia menjelaskan padaku apa itu membunuh. Paling tidak biar aku ikut merasakan kebahagiaan Ayah seperti aku merasakan kebengisan cerita pembunuhan orang gila itu.
Tapi tidak, ternyata Ayah menyudahi ceritanya dengan tawa yang begitu lama hingga ia tertidur. Aku hanya diam. Namun sebenarnya isi kepalaku sedang berisik-berisiknya. Aku ingin bertanya pada Ayah, tapi aku tak tahu cara bertanya yang baik. Lagipula, sekarang Ayah sudah terlelap.
***
Dari jendela ruang tamu, terlihat cuaca di luar sudah terang. Orang-orang lalu lalang lewat depan rumah. Kata Ayah, mereka sedang bekerja mencari uang, ada yang pergi ke sawah, ada juga yang pergi ke pasar.
Aku ingin keluar rumah, menyapa orang-orang yang mencari uang itu. Tapi tak bisa keluar tanpa ijin dari Ayah. Aku harus menunggunya sampai bangun, atau menunggu Ibu pulang nanti. Biasanya Ayah yang membawaku keluar sambil bersiul. Menyanyikan lagu-lagu terkini. Aku mendengarnya juga di radio tua milik Ayah. Setelah itu aku akan dimandikan dan diberi sarapan buatan Ibu.
“Assalamu’alaikum, Ramboo…”
Aku setengah terkejut. Itu suara Ibu.
“Wa’alaikumsalam Ibu Solikah…” Jawabku sigap. Aku senang ada ibu di rumah.
“Duh-duh, makin pinter aja kamu..” katanya sambil menenteng tas besar. Ibu baru pulang dar ziarah walisongo.
“Mana Mas Munir?” tanyanya.
“Tidur..tidur..” jawabku.
“Mas… aku pulang…”
Ibu berusaha membangunkan Ayah, tapi gagal. Ayah terlalu pulas. Dengan wajah letih Ibu melesat ke kamar lalu kembali dengan membawa selimut untuk Ayah. Aku diajaknya keluar, menikmati mentari yang sudah agak tinggi.
“Aku ganti baju dulu ya, Mboo..” Ibu masuk ke dalam. Tidak lama kemudian Ibu keluar lagi membawa sapu, ia menyapu halaman rumah yang kotor.
“Duh, Mas Munir tu gimana sih.. halaman kotor begini kok ya dibiarkan saja, apa saja kerjaan dia selama kutinggal ziarah..”
Aku dengar Ibu menggerutu.
“Semalam habis ngapain sih kok jam segini baru tidur?” Ibu bergumam agak keras sehingga aku bisa mendengarnya.
Ibu masih menyapu halaman yang lebih luas dari kamarku itu.
“Pasar malam..” kataku.
“Apa? Pasar malam?” tanya Ibu terkejut sambil sedikit tertawa.
“Pasar malam.. pasar malam..” kataku lagi.
“Ayah yang bilang seperti itu?” didekatinya aku, dengan senyuman yang lembut ibu bertanya lagi. Ia selalu senang mendengarku mengucap kata-kata baru.
“Sama siapa? Sampai jam berapa?”
“Marni.. Marni… Marni…”
“Ha? Marni?”
“Marni.. Marni…”
“Ngapain sama Marni ke pasar malam?”
“Merawani… Merawani…”
“Apa?”
“Sempit…sempit…”
Ibu semakin mendekatkan wajahnya ke arahku. Matanya yang semula teduh kini berubah melotot. Bibirnya yang semula tersenyum ditariknya lagi sehingga lebarnya sejajar dengan lebar hidung. Mungkin ibu terlalu senang mendengar aku mengatakan itu. Tapi kurasa kali ini ada yang salah. Aku tak berani melihat ibu.
“Apa? Katakan yang jelas!”
Aku mengulangi apa yang aku tahu dan ingat. “Pasar malam! Marni! Kawin! Merawani! Sempit! Mandul!”
“Astaghfirullah, Maaaaaas!!” Teriak ibu sembari lari ke dalam. Dilemparnya sapu yang ia pegang itu ke halaman yang belum selesai disapu.
Beberapa saat kemudian, ada suara gaduh di dalam rumah. Aku tak tahu kenapa Ibu dan Ayah saling berteriak, menjadi ribut. Samar-samar aku mendengar namaku disebut. Aku berusaha keluar dari rumah kecilku, namun gagal, jeruji sebesar lidi ini menahanku.
“Kau percaya pada Ramboo? Burung beo kita itu?!”
“Burung beo kita tidak mungkin bohong! Dia berkata apa yang Mas katakan!”
Benar kata Ibu, aku seekor burung dan hanya mengatakan apa yang Munir katakan, jika aku bohong, Munir lah yang tidak jujur.
Magelang