Menu

HARI BERSASTRA YOGYA #7 | RAME PANGGUNG SEPI DUNUNG

 

Sabtu, 26 Oktober 2019

Ruang Seminar

Taman Budaya Yogyakarta

Pukul 13.00-23.00 WIB

 

Tikar telah digelar, dekor telah dibentangkan, teh kopi jahe siap dituang, kacang pisang rebus disajikan, buku-buku sastra boleh dipinang, senyum sapa dan jabat tangan jangan enggan, lalu duduklah beradu lutut siku, berbincanglah dengan siapa pun yang duduk di sampingmu.

Dalam rangka tasyakuran 19 tahun Studio Pertunjukan Sastra dan 14 tahun Bincang-Bincang Sastra, Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Hari Bersastra Yogya #7. Acara bertajuk “Rame Panggung Sepi Dunung” ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 26 Oktober 2019 pukul 13.00—23.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Ada dua rangkaian acara, Sarasehan Komunitas Sastra DIY pada pukul 13.00—16.00, bersama Bernando J. Sujibto (Komunitas Kutub), Hamada Adzani (PKKH UGM), Taufiq Hakim (Komunitas Jangkah), Baiq Intan Cahaya (Klub Buku Yogyakarta), serta penampilan dari Unstrat UNY dan Teater JAB. Sementara malam hari, akan diadakan Bincang-Bincang Sastra edisi 169 pada pukul 20.00—23.00 bersama Eko “Ompong” Santosa, Muhidin M. Dahlan, dan Kedung Darma Romansha. Akan tampil di sini Komunitas Sakatoya, Komunitas Ngopinyastro, dan Mukhlis Melayoe.

“Acara Hari Bersastra Yogya merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan oleh Studio Pertunjukan Sastra. Kali ini akan kami mengedepankan serba-serbi komunitas sastra dalam sarasehan bersama komunitas-komunitas sastra DIY dan refleksi kritis terhadap maraknya aktivitas pertunjukan sastra di Yogyakarta,” ujar Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.

“Kita tahu bahwa tegur sapa budaya menjadi satu jembatan dialektika komunalitas antarkomunitas sebagai bagian penting bagi terselenggaranya kehidupan sastra di Yogyakarta. Komunalitas sebagai basis kreativitas merupakan satu nilai kebudayaan khas Yogyakarta. Dalam hal komunitas sastra kita pun bertemu dengan sejumlah problema keberadaan masyarakat yang berdiri dengan dua kaki, menjadi sastrawan atau pegiat sastra,” imbuhnya.

“Tidak sedikit yang berpandangan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang paling ajeg menggelar peristiwa sastra. Namun, sifat sastra yang integral dan tingginya intensitas penyelenggaraan acara kadang justru membuat esensi sastra tertindih. Belum lagi dengan banyaknya aktivitas seni yang datang silih berganti tak henti-henti di daerah istimewa ini,” tegas sastrawan kelahiran Kotagede itu.

Segenap dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta itulah yang akan diperbincangkan sebagai refleksi keberadaan Studio Pertunjukan Sastra di belantika sastra Yogyakarta. Selama 14 tahun menggelar acara Bincang-Bincang Satra rutin sebulan sekali tanpa henti tentu telah banyak hal dijumpai oleh Studio Pertunjukan Sastra. Perubahan dan perkembangan iklim kehidupan bersastra di Yogyakarta selama satu dekade terakhir tentu tidak lepas dari peran Studio Pertunjukan Sastra dan semestinya menjadi renungan bersama.

Sukandar selaku koordinator acara menambahkan, “Sarasehan Komunitas Sastra DIY diharapkan dapat menjadi ajang pertemuan gagasan, berbagi pengalaman, dan mengurai persoalan-persoalan lika-liku luka laku komunitas sastra di Yogyakarta. Setiap komunitas dengan beragam peranan dalam proses pembelajaran dan pengembangan dialektika dan estetika merupakan fondasi dinamikaarena sastra Yogyakarta. Satu usaha kecil yang coba diwujudkan oleh Studio Pertunjukan Sastra ialah menghimpun profil komunitas sastra di Yogyakarta dalam sebuah buku kecil sebagai dokumentasi “rujukan referensial” keberadaan komunitas sastra Yogyakarta.”

“Bincang-Bincang Sastra dengan tajuk ‘Rame Panggung Sepi Dunung’ mencoba membabar banyak hadirnya karya sastra berpadu dengan kesenian di sekitarnya yang justru mencemari kemurnian karya sastra. Karya sastra tergradasi nyaris tertindih sehingga yang hadir adalah bentuk kesenian baru sama sekali, sementara karya sastra sebagai inti justru tidak tampak adanya. Melalui topik perbincangan ini para tokoh sastra dan pertunjukan diharapkan bisa berbagi wawasan demi mengembalikan sastra kepada khitahnya,” terangnya.

“Satu hal yang juga tidak bisa dipisahkan dari acara Hari Bersastra Yogya adalah adanya lapak buku. Buku dan karya satra merupakan satu bagian penting dari keberlangsungan kehidupan kesastraan. Semoga acara ini dapat hadir sebagai sebuah percik permenungan bersama mengenai kreativitas bersastra di Yogyakarta. Hal yang coba ditempuh tetaplah sama, jalan belajar, upaya merawat tegur sapa,” pungkas Sukandar.

Tuliskan komentar