Menu

BEDAH DAN LAUNCHING BUKU PUISI DONGENG SUATU ZAMAN DAN RIWAYAT YANG TERLUPA

 

Dongeng Suatu Zaman dan Riwayat yang Terlupa (Quark Books, 2018) merupakan buku kumpulan puisi karya Andrian Eksa dan Shodiq Sudarti. Buku ini memuat 33 puisi pilihan dari proses penulisan puisi keduanya sejak 2013 hingga 2018.

 

Quark Books bekerja sama dengan Warung Bjongngopi akan menggelar bedah dan launching buku puisi: “Dongeng Suatu Zaman dan Riwayat yang Terlupa” pada Selasa, 18 Desember 2018 pukul 15.00-18.00 WIB di Warung Bjongngopi, Nologaten, Yogyakarta.

 

Acara akan dikemas dalam diskusi santai bersama Muhammad Qadhafi (Penulis) dan Yona Primadesi (Penulis) dengan moderator Permadi Suntama (Mahasiswa FBS UNY). Selain itu, akan ada pertunjukan musik dan pembacaan puisi oleh Bisothewas, Anik Setiyaningrum, Ahmad Hayya Aulia Shidiq, dan Shodiq Sudarti.

 

Buku puisi ini sebagai anak hasil kolaborasi pikiran dan batin kedua orang tuanya (Andrian-Shodiq). di satu sisi, ada puisi-puisi yang terang perbedaan gaya dan cara pandang dalam merespon hal atau tema yang sama. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu usaha untuk menyajikan pengalaman-pengalaman personal sebagai pengalaman universal. Di sisi lain, ada satu puisi yang di dalamnya–perbedaan gaya dan cara pandang Andrian-Shodiq melebur jadi satu keutuhan, menjadi semacam dwi-tunggal.

 

Puisi-puisi di buku ini memperlihatkan suatu pola, suatu siklus yang melanda jiwa manusia. Perubahan siklus tersebut hampir selalu terkait dengan perubahan relasi yang dijalin aku-lirik: “aku” dengan kekasih, “aku” dengan keluarga, “aku” dengan alam, “aku” dengan Tuhan, hingga “aku” dengan dirinya sendiri. Bagi “aku”, relasi-relasi tersebut tidak pernah bisa memberi kepuasan dan pengetahuan yang utuh, sehingga meninggalkan sebuah ruang kosong di dalam jiwa “aku”.

 

Ruang kosong inilah yang kemudian menjadi tempat mempertanyakan dan merenungkan, tempat untuk menajamkan pikiran dan perasaan, sekaligus tempat segala bentuk pencarian, tempat segala usaha pemenuhan diri yang tak pernah selesai.

 

Entah disadari aku atau tidak, yang dapat memenuhi ruang kosong itu hanyalah ibu. Ibu menjadi metafora bagi keutuhan yang terus dicari, meskipun tidak akan pernah benar-benar dicapai. Karena jiwa aku dan ibu mustahil untuk menyatu, lantas “aku” menghandirkan ibu lewat perantara dongeng, mimpi, Tuhan, maupun dunia setelah kematian. Usaha tersebut sering kali diwarnai dengan kesenduan dan ironi–yang tampaknya juga menjadi warna umum puisi-puisi dalam buku ini.

Tuliskan komentar