Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2024 resmi ditutup (30/11). Hujan mengguyur sejak sore hingga penampilan terakhir. Sempat ingin mangkir untuk menyaksikan acara pungkasan itu, tapi saya meyakinkan diri. Dukungan paling sederhana yang bisa diberikan adalah kehadiran.
Di bawah rintik hujan, malam penghabisan FSY itu ternyata dijuduli “Malam Ini Joko Pinurbo Tidur di Matamu”. Doa-doa untuknya diumbulkan dan puisi-puisinya dibacakan, di antaranya oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, istri Jokpin Nurnaeni, Ramayda Akmal, Ni Made Purnama Sari, Saras Dewi, dan dinyanyikan pula oleh Oppie Andaresta sebagai penutup.
Meski sempat memindahkan lokasi pertunjukan karena hujan menggenangi panggung utama, penutupan gelaran yang dibuka sejak Kamis (28/11) itu berlangsung dengan lancar, meriah, tapi juga khidmat.
FSY 2024 merupakan penyelenggaraan yang ketiga. Setelah Mulih (2022), Sila (2023), FSY tahun ini ditajuki Siyaga. Bagi publik sastra Yogyakarta, festival ini tentu menggembirakan, siapa pun penyelenggaranya.
Tahun ke tahun, setidaknya perhatikan saja dari akun Instagram @festivalsastrayk, FSY bergerak ke arah kematangan, baik dari sisi penyelenggaraan maupun kuratorialnya. Keberadaannya pun mulai jadi sorotan. Awalnya semebar, lalu nebeng di Balai Bahasa Yogyakarta, kini di Taman Budaya Embung Giwangan. Pun kuratornya yang semula tunggal oleh penggagasnya sendiri kini lebih bervariasi.
Festival yang makin tampak megah itu sesungguhnya menyimpan kekhawatiran para penyelenggaranya. Sempat sebentar berbincang, penggagas FSY Paksi Raras Alit, sempat mengatakan, “Wali kotanya ganti ini!”
Dalam hati saya ingin nyeletuk, “Tapi, Gubernurnya tidak pernah ganti, tak perlu khawatir.” Namun, saya memberikan jawaban lain karena tidak berani menjamin. Saya menimpali dengan jawaban yang lebih ke arah optimistis lainnya. Maklum, pendukung utamanya adalah Pemerintah Kota Yogyakarta.
Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi Festival Sastra Yogyakarta, yang merujuk ke Kota Madya Yogyakarta, bukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival yang khusus membicarakan sastra, berdiri sendiri, dan bukan sebagai sisipan seperti pada Festival Kebudayaan Yogyakarta. Sebaliknya, FSY menjadikan lainnya sebagai sisipan.
Di antara Ubud Writers and Readers Festival, Makassar International Writers Festival, Jakarta International Literary Festival, dan lainnya, FSY patut kita sambut. Yogyakarta–di tingkat provinsi–sempat memiliki Jogja Literary Festival, tetapi tumbang dihantam Covid-19 tahun berikutnya. Tak ada lagi yang memperjuangkannya.
Ada banyak kegiatan sastra di Yogyakarta. Bahkan, nyaris tiap pekan ada komunitas yang menggelar acara sastra dengan berbagai variannya. Ini menandakan bahwa sumber daya dan infrastrukturnya sudah memenuhi atau bahkan berlebih. Tentu saja menjadi disayangkan jika setiap tahun tak dikumpulkan sebagai bentuk perayaan dan tukar gagasan bagi warga sastra Yogyakarta.
Merangkum dari berbagai penyelenggaraan gelaran sastra, bagi saya, FSY mendekati ideal. Itu karena tidak ada festival yang ideal bagi kita. Selalu saja ada yang kurang pada setiap mata.
Festival sastra setidaknya menyuguhkan apresiasi sastra, penghargaan bagi penulis dan karyanya, mendorong pertumbuhan literasi, menjalin pertukaran gagasan, menyuarakan keberagaman, menginspirasi generasi selanjutnya, dan promosi pariwisata. Kita dapat melihat ini dalam gelaran FSY.
Lomba Penulisan Puisi
Lomba penulisan puisi mengawali rangkaian FSY. Yang menyenangkan adalah jurinya muda dan menumbuhkan penulis puisi baru. Lomba ini memang tak memiliki pretensi sebagai lomba bergengsi, tetapi dewan jurinya menyampaikan pertanggungjawaban yang mantap. Tahun lalu, juri harus membaca 3700 lebih puisi, dan tahun ini, 4500 lebih puisi masuk ke meja dewan juri.
Gagasan yang Paling Utama
Gagasan FSY jauh dari ndakik-ndakik. Sebab festival ini diperuntukkan masyarakat luas. Bukan festival sastra yang diperuntukkan sastrawan. Ini mempertemukan sastra dengan masyarakat. Gagasannya pun sederhana dan mudah ditangkap.
Diskusi, Diskusi, Diskusi, Baru Panggung
Layaknya festival sastra, diskusi memang mesti lebih banyak digelar. Kira-kira 75% diisi diskusi dan workshop, sisanya pertunjukan, itu pun masih berbau sastra. Di sini banyak mempertemukan sastrawan, penulis, komunitas, dan sebagainya, dengan masyarakat umum.
Kemasan Menarik
Tidak ada keraguan atas panitia penyelenggara dalam mengemas event. Mereka sangat berpengalaman dalam mengelola event, dari hulu hingga hilir. Tidak heran jika festival ini tak seperti yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas. Bukan semata perkara dana, tetapi mereka memiliki standar event tersendiri.
Tidak Menjadikan Sastrawan Sebagai Sosialita
Masih ingat esai Anindita S. Thayf tentang sastrawan sosialita (Republika, 08/05/2016)? Nah, FSY tampak menghindari yang demikian. Atau mungkin karena budget sosialita tak tertanggung oleh FSY?
Berjejaring
Mencermati festival-festival sastra, mereka tampak berdiri sendiri dan tak berjejaring dengan festival lainnya. Masing-masing memiliki sumber pendanaan yang berbeda yang seolah-olah sungkan untuk saling bertegur sapa, meski mungkin ada niatan. FSY menjadi contoh betapa festival-festival itu ternyata terbuka untuk kerja sama dengan sesama penyelenggara festival serupa. Setidaknya kita melihat ada Palmerah, UWRF, dan MIWF.
Menuju Kematangan
Bentuknya sudah mulai kelihatan, kontennya berkembang, kemasannya bagus, jejaring mulai menggumpal. Apalagi? Dugaan saya, dua kali penyelenggaran lagi akan matang dan Kota Yogyakarta akan punya event sastra berkelas. Bisa, bisa. Namun apakah akan tumbang karena pergantian walikota? Tidak, Pak Hasto. Tidak, Pak Wawan!***