Baudelaire dan Bunga-Bunga Iblis: Diskusi Buku Puisi di JBS

Baudelaire dan Bunga-Bunga Iblis: Diskusi Buku Puisi di JBS

Baudelaire dibicarakan dengan asyik di halaman kecil Kedai JBS (Jual Buku Sastra) di Keloran, Tirtonirmolo, Bantul, Yogyakarta pada sore yang dinaungi langit mendung, Rabu, 27 November 2024. Dipandu Tofa dan ditemani Abdillah Danny, keduanya dari Susastra KMSI UNY, Naning Scheid memaparkan segi-segi hayat dan karya “penyair terkutuk” itu.

Walaupun merupakan nama sehari-hari dalam kesusastraan dunia, khususnya puisi, karyatama Baudelaire yang terhimpun dalam Le Fleurs de Mal belum pernah hadir secara utuh di Indonesia. Khalayak hanya menjumpai terjemahan beberapa puisi yang diambil dari kumpulan itu oleh, antara lain, Wing Kardjo dan Iwan Simatupang.

Baudelaire dan Bunga-Bunga Iblis: Diskusi Buku Puisi di JBS
Foto: An. Ismanto

Mbak Naning mencoba menghadirkan karya-karya Baudelaire itu secara lengkap dalam terjemahan bahasa Indonesia melalui Bunga-Bunga Iblis (Pustaka Jaya, 2024). Bukan kerja yang mudah karena, bagaimanapun juga, renik-renik bahasa Prancis yang menjadi bahan untuk menciptakan keindahan puitis berbeda dari bahasa Indonesia.

Mbak Naning mencontohkan betapa peliknya ketika hendak mempertahankan persajakan puisi Baudelaire yang ditulis dalam bentuk soneta dan aleksandrina khas perpuisian Prancis. Aspek bunyi dan rima mungkin bisa disiasati, tetapi aspek semantik bisa kedodoran. Misalnya, bahasa Prancis membedakan antara kata bersifat maskulin dan feminin, sementara bahasa Indonesia tidak mengenal perbedaan jantina semacam itu.

Dalam bahasa aslinya sendiri, kemerduan bunyi dalam puisi-puisi Charles Pierre Baudelaire (1821-1867) harus diselaraskan dengan aspek semantik, sintaktik, dan aspek-aspek kebahasaan yang lain. Sehingga, kerja menulis puisi pada masa hidup Baudelaire adalah perkara berat.

Tantangannya bukan saja pada segi teknis pengolahan bahasa atau bentuk, melainkan juga pada segi isi. Alih-alih meneruskan ratapan dan kerinduan kaum Romantik yang antipati terhadap dampak-dampak industrialisasi dan urbanisasi, Baudelaire justru merayakannya. Maka, ia menjadi flaneur atau pejalan yang menjadikan pemulung, pengemis, seksualitas, dan gejala urban lain sebagai bahan puisinya.

Mbak Naning menjelaskan, Baudelaire memandang bahwa gejala-gejala urban itu, dan juga gejala-gejala lain, sebenarnya merupakan simbol bagi jiwa manusia. Karena itulah ia sering dianggap sebagai pelopor simbolisme dalam puisi modern, yang kemudian akan memengaruhi para penyair generasi berikutnya seperti Arthur Rimbaud.

Mbak Naning melengkapi buku terjemahan puisi Baudelaire dengan sebuah buku esai, yang menjadi semacam companion untuk memahami Baudelaire dan diberi judul Puisi sebagai Autobiografi (Mengurai Bunga-bunga karya Charles Baudelaire) (JBS, 2024).

Dengan hadirnya Bunga-Bunga Iblis karya Naning Scheid ini, berarti karyatama dua orang penyair besar Prancis telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang satu lagi adalah Semusim di Neraka terjemahan An. Ismanto. Tentu masih ada penyair Prancis lain yang diharapkan bisa dihadirkan di Indonesia melalui terjemahan.***